SuaraJogja.id - Dosen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Gadjah Mada, Aditya Revianur menjadi salah satu pihak yang menyoroti rencana pemasangan chattra di Candi Borobudur. Menurutnya pemasangan itu berpotensi membahayakan masyarakat.
Pasalnya tidak hanya umat Budha saja yang datang ke Candi Borobudur. Melainkan juga masyarakat umum yang berkunjung sekadar untuk wisata edukasi dan sejarah.
"Ada masyarakat awam, ada umat budha. Jadi yang ke Borobudur kan tidak semua orang Budha. Tapi juga masyarakat yang sudah membeli tiket," kata Aditya dalam acara 'Diskusi Permasalahan Rencana Pemasangan Cattra Borobudur' di Auditorium Soegondo FIB UGM, Kamis (12/9/2024).
Chattra yang akan dipasang di puncak stupa induk Borobudur itu perlu diperhatikan benar-benar. Termasuk dengan potensi ancaman bencana di sekitar Borobudur.
Baca Juga:Dari Rafael Alun ke Kaesang: Mampukah KPK Buktikan Taji Lawan Gratifikasi 'Orang Dalam'?
"Permasalahan itu menahan angin atau juga ada ancaman petir. Kalau sekarang itu ada penolak petir. Nah kalau dipasang chattra bagaimana kalau nanti ada angin, ada petir," ucapnya.
Belum lagi, dikatakan Aditya, batu yang chattra yang akan dipasang sendiri tidak sekuat dulu. Mengingat batu tersebut berumur sekitar 100 tahun lebih.
Jika nekat dipasang maka sangat berpotensi untuk membahayakan pengunjung. Apalagi ditambah dengan ancaman bencana dan fenomena alam yang akan terjadi.
"Kemudian batu yang dipasang chattra sudah lapuk karena batu van Erp itu usianya sudah 100 tahun ya kalau tidak salah itu sudah lama sekali," ujarnya.
"Kemudian ada batu yang dikumpulkan van Erp di sekitar candi dan itu kalau dipasang lagi kan tidak sekuat dulu. Kalau gempa gimana, pasti akan jatuh ke bawah dan akan membahayakan pengunjung yang ada di bawah yang ada sekitar teras atas candi," tambahnya.
Baca Juga:Bantul Kukuhkan Agen Keselamatan untuk Kampanyekan Tertib Lalu Lintas
Rencana pemasangan chattra di Borobudur itu, Aditya bilang perlu kajian mendalam lagi. Tidak bisa dilakukan secara gegabah atau serampangan begitu saja.
"Kemudian ternyata teknik pemasangan dari chattra itu sudah mengalami kualitas penurunan juga dan itu akan membahayakan strukturnya itu sendiri. Jadi memasang chattra itu memang butuh kajian lagi," tandasnya.
"Kalau kita bersikukuh memasang chattra yang disusun van Erp itu apakah akan kuat dan kalau membahayakan pengunjung itu bagaiamana," imbuhnya.
Ditegaskan Aditya, pemasangan chattra itu harus memerhatikan konservasi dan keselamatan harus diutamakan. Sehingga tidak bisa asal-asalan.
"Karena dari saat dipasang itu sudah berbeda. Dia tidak pas, sehingga itu istilahnya harus disemen dan itu kan jelas akan membahayakan. Belum kalau tersambar petir, belum kalau gempa bumi, belum kalau ada erupsi merapi itu jelas akan sangat membahayakan kalau dipasang chattra dengan batu-batu yang sudah lapuk," pungkasnya.
Rencana Pemasangan Chattra Borobudur
Diketahui belum lama ini pemerintah merencanakan untuk memasang batu cattra di Candi Borobudur. Rencana itu menuai penolakan dari sejumlah pihak termasuk para peneliti dan akademisi.
Chattra merupakan payung bertingkat tiga yang dulunya diduga pernah terpasang di puncak Borobudur. Chattra juga dipercaya sebagai pelindung sehingga ditempatkan di puncak stupa.
Dugaan ini mulanya datang dari seorang insinyur Belanda, Theodore van Erp yang memimpin pemugaran Borobudur pada 1900-an. Saat itu van Erp menemukan kepingan – kepingan batu yang jika direkonstruksi diduga kuat merupakan sebuah chattra.
Namun, chattra tersebut kini hanya disimpan di Museum Cagar Budaya Borobudur karena dianggap tak memenuhi kriteria rekonstruksi secara arkeologis. Para arkeolog menganggap tidak pernah ada chattra di puncak Borobudur.
Informasi terbaru rencana pemasangan tersebut akhirnya batal dilakukan usai pro kontra yang muncul.