SuaraJogja.id - Gubernur DIY, Sri Sultan HB X menggelar pertemuan dengan para rektor dari 10 perguruan tinggi di Yogyakarta di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Minggu (31/8/2025) malam.
Pertemuan yang digelar bertujuan untuk menyamakan persepsi terkait dinamika aksi mahasiswa yang akan ramai digelar di DIY.
Sultan menyatakan, dirinya tidak mempermasalahkan mahasiswa menyampaikan aspirasi melalui unjuk rasa. Hal itu merupakan hal yang wajar dalam iklim demokrasi.
Namun Sultan meminta aksi tersebut dilakukan dengan cara yang baik, sopan, dan tidak menggunakan kekerasan atau anarkis.
Baca Juga:Tragis! Mahasiswa Amikom Meninggal Usai Ikut Aksi Unjuk Rasa, Kampus Berharap Penjelasan Polda DIY
"Menyampaikan aspirasi boleh, tidak ada yang melarang. Tapi bagaimana demokrasi dibangun dengan itikad baik tanpa harus ada perusakan maupun tindakan anarkis. Itu yang penting," ungkapnya dikutip Senin (1/9/2025).
Sultan pun berharap para rektor dan pimpinan kampus bisa mengarahkan mahasiswanya untuk tetap menjaga ketertiban.
Sebab kampus memiliki peran penting untuk memastikan gerakan mahasiswa tidak keluar dari koridor demokrasi.
Semua pihak diharapkan menjaga keamanan dan kenyamanan masyarakat.
Dengan demikian aksi-aksi yang akan berlangsung ke depan tetap damai dan tidak mengganggu ketertiban umum.
Baca Juga:Arahan Sultan Pasca Ricuh: Kurangi Seremoni, Pejabat Utamakan Empati, Jaga Daerah dari Instabilitas
"Tahapannya hanya itu saja. Semoga aman, nyaman, dan masyarakat juga merasa tenang. Aspirasi boleh disampaikan, karena itu dimungkinkan," ungkapnya.
Terkait keterlibatan pelajar SMA dan SMP dalam aksi demonstrasi.
Sultan menilai mereka seharusnya tidak perlu bolos sekolah demi ikut aksi. Sebab tugas utama mereka adalah belajar.
"Kalau mahasiswa menyampaikan aspirasi, sudah waktunya. Tapi kalau anak-anak SMA, SMP, sebaiknya tetap di sekolah, tidak perlu membolos," tandasnya.
Sementara terkait munculnya kebijakan beberapa sekolah di DIY yang mulai menerapkan kembali pembelajaran daring, Sultan menegaskan tidak ada instruksi langsung dari pemerintah daerah.
Menurutnya, kebijakan tersebut dikembalikan kepada masing-masing sekolah atau universitas sesuai kondisi yang ada.
Namun Sultan mengingatkan agar keputusan meliburkan sekolah dipikirkan dengan bijak. Sebab jika semua sekolah dan kampus diliburkan, maka justru bisa menimbulkan kesan negatif di masyarakat.
"Saya tidak mengatakan harus tutup atau tetap belajar. Silakan sekolah menimbang sendiri. Tapi kalau ditutup, konsekuensinya apa? Apakah siswa benar-benar di rumah atau malah ikut demonstrasi, kan kita tidak tahu. Lebih baik kampus tetap buka supaya masyarakat tidak melihat semua kampus meliburkan. Memangnya ada apa? Itu kesannya tidak bagus," imbuhnya.
Komitmen Rektor Kampus
Mengantisipasi gelombang demonstrasi mahasiswa yang kian meluas, para pimpinan perguruan tinggi di Yogyakarta mengingatkan mahasiswa agar tetap menjaga tradisi damai dalam menyuarakan aspirasi.
Namun mahasiswa harus menarik diri bila aksi berubah anarkis.
"Silakan demonstrasi, tidak ada larangan. Ini negara demokrasi, mereka punya alasan untuk aksi. Tetapi tolong hindari dan cegah kekerasan. Sekarang potensi anarkis gede banget, lebih sistematis dari sebelumnya,," papar Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni UGM, Arie Sujito usai bertemu Gubernur DIY, Sri Sultan HB X di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Minggu (31/8/2025) malam.
Arie menyebut, kampus mendukung aksi sebagai bagian dari hak konstitusional warga negara.
Namun yang perlu dihindari bukan sekadar kericuhan, tetapi juga manipulasi dari pihak luar.
Jangan sampai aksi yang digelar mahasiswa justru menciptakan horor baru.
Sebab, hal itu bisa menjadi alasan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mereproduksi simbol-simbol kekerasan.
"Kita akan melindungi mahasiswa, warga Jogja, tapi pada saat yang sama kita harus saling memperkuat agar potensi manipulasi tidak bisa jalan," tandasnya.
Terkait banyaknya kasus pembakaran dan penjarahan dalam aksi demo kali ini, Arie mendesak pemerintah menyelidiki dalang provokasi yang memanfaatkan situasi hingga berpotensi menjerumuskan mahasiswa menjadi korban.
Arie menilai, kondisi saat ini berbeda dengan demonstrasi 1998.
Jika pada 1998 , krisis ekonomi memicu krisis politik, maka yang terjadi saat ini krisis politik dipertajam dengan krisis ekonomi.
"Eskalasi percepatan ini luar biasa, pembakaran dan lain-lain. Saya yakin ada sesuatu yang harus diantisipasi. Jangan sampai rakyat jadi korban provokasi. Terlalu mahal kalau rakyat harus berkorban darah dan nyawa. Nah, tradisi Jogja di mana pun aspirasi selalu damai, ini harus kita jaga. Kalau ada anarkisme, biasanya kita langsung bertanya-tanya siapa di belakangnya," ungkapnya.
Arie menambahkan, sebagai langkah konkret, UGM memutuskan perkuliahan daring hingga 4 September 2025. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir risiko.
UGM juga membuka Crisis Center sejak Sabtu (30/8/2025) siang.
Pusat krisis ini ditujukan untuk memantau situasi, menerima laporan bila ada mahasiswa terdampak, serta menjadi sarana koordinasi antar-kampus.
"Toh kita bisa memanfaatkan teknologi. Dosen tetap di kampus, tapi perkuliahan daring agar mengurangi risiko. Kami berharap tetap damai, tetapi tidak boleh abai. Karena itu UGM membuka crisis center. Kampus lain juga sepakat saling menopang," jelasnya.
Sementara Rektor Universitas Islam Indonesia (UII), Fathul Wahid menyatakan, pemerintah harus hadir mengusut dalang yang memanfaatkan gerakan mahasiswa.
Hal ini penting agar aparat tidak hanya mengamankan mahasiswa di jalanan.
"Kalau ada provokator yang menyusup dan memicu kekacauan, itu harus diusut tuntas oleh pemerintah. Jangan sampai mahasiswa menjadi korban politik praktis atau agenda tersembunyi kelompok tertentu," paparnya.
Fathul menambahkan, Negara tidak boleh membiarkan kekerasan menjadi pola. Aparat harus tegas menindak provokator.
"Jangan sampai mahasiswa yang menanggung akibatnya," ujarnya.
Koordinasi antaruniversitas pun menjadi penting agar mahasiswa tidak menghadapi risiko sendirian.
Termasuk mengantisipasi bila terjadi tindakan anarkis di lapangan.
"Kampus-kampus di Jogja sepakat saling melindungi, tidak bekerja sendiri-sendiri. Itu semangat yang kita rawat," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi