Stop Saling Tuding! Begini Cara Dosen UGM Sederhanakan Proses Perceraian di Indonesia

Dosen UGM dorong perceraian tanpa kesalahan (non-fault-based) di Indonesia. Fokus ke perkawinan yang "pecah" bukan mencari siapa yang salah, mitigasi konflik.

Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 03 November 2025 | 18:25 WIB
Stop Saling Tuding! Begini Cara Dosen UGM Sederhanakan Proses Perceraian di Indonesia
Ilustrasi perceraian suami dan istri. (Unsplash/Elnur)
Baca 10 detik
  • Dosen UGM memberikan masukan bahwa perceraian tak seharusnya menunjuk siapa yang salah
  • Dalam hal ini ada aturan yang lebih memudahkan kedua belah pihak dalam proses sidangnya
  • Bahasan soal hak asuh anak juga bisa diselesaikan tanpa harus bertele-tele

SuaraJogja.id - Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Hartini, mendorong penerapan sistem perceraian tanpa kesalahan atau non-fault-based divorce di Indonesia.

Konsep ini memungkinkan pasangan berpisah tanpa harus saling menuding siapa pihak yang bersalah.

"Jadi, sistem perceraian itu kalau di dunia khasanah hukum perkawinan itu kan memang dikenal ada dua ya. Sistem perceraian berbasis kesalahan dan sistem perceraian tidak berbasis kesalahan atau non-kesalahan," kata Hartini saat dihubungi, Senin (3/11/2025).

Di Indonesia sendiri, berdasarkan UU Perkawinan Tahun 1974, membuat negara ini menganut sistem yang lebih condong ke arah sistem perceraian berbasis kesalahan (fault-based divorce).

Baca Juga:Rayakan HUT Balairung ke-40, Kagama Persma Soroti Bahaya Algoritma dan Krisis Kepercayaan Media

Salah satu asas penting yang ditekankan adalah mempersulit perceraian dengan ditetapkannya perceraian harus diajukan ke muka sidang pengadilan dan harus disertai dengan alasan-alasan perceraian.

Padahal, menurut Hartini, undang-undang perkawinan dan peraturan turunannya sudah memberi ruang untuk menafsirkan perceraian sebagai kegagalan hubungan tanpa harus menunjuk pelaku kesalahan.

Salah satu alasan dalam aturan yang ada yakni disebutkan bahwa perselisihan dan pertengkaran terus-menerus. Hal itu dinilai sudab bisa menjadi dasar penerapan perceraian tanpa kesalahan.

"Sebetulnya pembentuk undang-undang sendiri itu tanpa disadari itu sudah membuka peluang untuk diterapkan sistem perceraian tidak berbasis kesalahan," ungkapnya.

Hartini menjelaskan bahwa bagaimana yurisprudensi Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) telah memperluas makna Pasal 19 huruf f.

Baca Juga:Setahun Prabowo-Gibran: Kedaulatan Energi Nol Besar! Pengamat: Kebijakan Setengah Hati

Bergeser dari mencari kesalahan menjadi lebih fokus pada pembuktian bahwa perkawinan sudah pecah atau broken marriage.

SEMA terbaru No. 03 Tahun 2023 bahkan mewajibkan pembuktian pisah tempat tinggal minimal enam bulan secara kumulatif dengan perselisihan dan pertengkaran terus-menerus.

Hartini bilang bahwa hakim seharusnya menilai apakah hubungan benar-benar sudah retak bukan mencari siapa penyebabnya.

"Dalam proses pemeriksaan perkara [perceraian] itu, hakim itu tidak lagi fokus pada siapa bersalah, tapi apakah perkawinan ini sudah betul-betul pecah atau belum," ujarnya.

Sebagai indikator pecahnya hubungan, Hartini mengusulkan agar pasangan yang ingin bercerai menjalani masa pisah rumah lebih lama, minimal satu hingga dua tahun atau bahkan lebih.

"Kalau mau mengakomodir perceraian tidak berbasis kesalahan, ketika tadi diterapkan model pisah rumah yang saya usulkan 1-2 tahun, pokoknya yang penting jangan hanya 6 bulan, di atas itu," tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini

Tampilkan lebih banyak