Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Muhammad Ilham Baktora
Senin, 18 November 2019 | 18:18 WIB
Sekjen Gerakan Masyarakat Melawan Intoleransi (Gemayomi) Lilik Krismantoro Putro berbicara pada awak media di Kantor Bupati Bantul, Senin (18/11/2019). - (SUARA/Baktora)

SuaraJogja.id - Kisruh pemahaman soal bangunan ibadah milik paguyuban Padma Buana, penganut Hindu di Dusun Mangir Lor, Desa Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul ditanggapi Gerakan Masyarakat Melawan Intoleransi (Gemayomi). Menurut Gemayomi, bangunan tersebut merupakan sanggar pamujan (tempat persembahyangan) yang pendiriannya tak memerlukan izin.

Sekjen Gemayomi Lilik Krismantoro Putro mengungkapkan, bangunan ibadah yang dipersoalkan warga merupakan tempat sembahyang layaknya langgar bagi kepercayaan Islam, sehingga umat yang menggunakannya tidak perlu membuat izin pembangunan.

"Bangunan itu sebenarnya bukan pura seperti yang dipahami warga. Jadi sanggar pamujan itu merupakan tempat ibadah pribadi, sehingga keberadaannya tidak perlu izin," kata Lilik kepada wartawan, Senin (18/11/2019).

Bangunan persembahyangan itu, lanjut Lilik, adalah jenis bangunan di bawah pura. Menurut keterangannya, dalam pemahaman Muslim, sanggar pamujan layaknya langgar, yang biasa digunakan orang Muslim dalam beribadah.

Baca Juga: Ngaku Pecinta Celana Cingkrang, Menag Fachrul: Pakai Sarung Takut Jatuh

"Salah satu contohnya musala yang dibangun di rumah pribadi. Nah itu (sanggar pamujan), tidak jauh berbeda seperti itu," terang dia.

Bupati Bantul Suharsono (tengah) memimpin audiensi di Kantor Bupati Bantul pada Senin (18/11/2019) terkait peristiwa pembubaran upacara piodalan di Dusun Mangir Lor, Sendangsari, Pajangan, Bantul. - (SUARA/Baktora)

Lilik menambahkan, dalam kegiatan Piodalan tersebut, memang tradisinya menghadirkan saudara serta keluarga dan kerabat dekat untuk memperingati wafatnya para leluhur.

"Nah salah satu kegiatan Piodalan itu, memang mendatangkan banyak tamu, keluarga, saudara, dan lainnya. Hal itu masih awam dipahami warga sekitar," terang dia.

Menurutnya, penolakan yang terjadi di dusun setempat disebabkan kesalahan persepsi warga yang tidak tahu cara beribadah Utiek Suprapti. Untuk itu, hal ini perlu disosialisasikan kembali.

"Nantinya kami akan melakukan pertemuan dengan warga serta Ibu utiek. Untuk waktunya masih kami rencanakan. Yang jelas dalam waktu dekat kami ingin memberi pemahaman ini agar kejadian (pembubaran) tidak terjadi lagi," ungkap dia.

Baca Juga: Pemerintah Myanmar Jamin Keamanan Repatriasi Etnis Rohingnya, Tapi...

Sebelumnya, sejumlah warga Dusun Mangir Lor membubarkan ritual Piodalan, yang dilakukan salah seorang warganya, Utiek Suprapti, pada Selasa (12/11/209). Warga meminta pembubaran karena izin kegiatan upacara tersebut tidak ada.

Kegiatan tersebut dihadiri sejumlah tamu undangan dari berbagai kepercayaan, seperti Hindu, Budha, serta kepercayaan lain dari luar Jawa seperti, Bali, Talaud (Sulawesi Utara), Jawa Barat, dan provinsi lainnya.

Load More