Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Sabtu, 18 Januari 2020 | 14:32 WIB
Dosen UGM memberikan keterangan soal kasus antraks di Gunungkidul, Sabtu (18/1/2020). - (Suara.com/Putu)

SuaraJogja.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menetapkan Kejadian Luar Biasa (KLB) antraks atau penyakit sapi gila di Kabupaten Gunungkidul pasca-meninggalnya sejumlah ternak dan 27 warga dinyatakan positif antraks beberapa pekan terakhir. Karenanya, penanganan kasus yang terus berulang tersebut harus ditangani secara komprehensif.

Dekan Fakultas Peternakan UGM Ali Agus di kampus setempat, Sabtu (18/1/2020), mengungkapkan, penanganan kasus antraks di Gunungkidul harus dilakukan secara komprehensif. Sebab, antraks bisa menyebar luas bila tidak ditangani bersama-sama.

“Perlu ada strategi pemberantasan dan pengendalian penyakit antraks khususnya zoonotik lainnya secara komprehensif dan berkesinambungan di seluruh DIY,” ungkapnya.

Selain pemusnahan ternak yang positif antraks, pengawasan lalu lintas ternak, pakan, dan pupuk kandang harus diperketat, terutama ternak dan pakan yang berasal dari daerah kasus dan berisiko antraks.

Baca Juga: Hingga Sabtu Siang, Sejumlah Wilayah di Jakarta Masih Tergenang Air

Penjualan hewan sakit pun harus segera dihentikan, termasuk menyembelih hewan sakit atau mati mendadak.

“Penularan penyakit antraks bisa terjadi karena kontak langsung dengan hewan yang sakit atau daging hewan yang terkontaminasi. Selain itu juga dari mengonsumsi daging hewan yang terkontaminasi spora antraks,” jelasnya.

Pembatasan mobilisasi orang dan ternak di Gunungkidul pun diharapkan bisa mengurangi risiko penularan. Yang tak kalah penting, ada langkah-langkah strategis lainnya terkait biosecurity.

“Yang paling sederhana, bagaimana orang yang keluar dan masuk kandang itu diberi disinfektan,” jelasnya.

Sementara, pengajar Fakultas Peternakan UGM, Riris Andono Ahmad, mengungkapkan, penularan penyakit antraks terhadap manusia sendiri dapat termanifestasi ke dalam tiga macam, yakni antraks kulit akibat kontak langsung dengan binatang yang sakit atau mati, antraks pencernaan jika mengonsumsi daging yang terkontaminasi antraks, atau antraks pernapasan melalui spora antraks yang terhirup.

Baca Juga: Ombudsman RI Ungkap Amburadulnya Jajaran Direksi Jiwasraya

“Yang paling banyak antraks kulit, yang memiliki gejala demam, bengkak, serta luka yang memunculkan kopeng menghitam tebal. Antraks jenis ini relatif tidak fatal, lebih berbahaya antraks pernapasan dan pencernaan,” paparnya.

Karenanya, masyarakat diharapkan memiliki kesadaran yang lebih tentang antraks. Apabila seekor ternak telah menunjukkan gejala antraks, seperti demam tinggi, gelisah, tidak mau makan, mati dengan keluarnya darah hitam dari lubang tubuh, atau mati secara mendadak, maka pemilik ternak perlu menghubungi puskeswan atau petugas kesehatan hewan terdekat.

“Jangan justru menyembelih hewan tersebut untuk dijual atau dikonsumsi,” ujar Riris.

Sebab, yang sering terjadi di DIY, sebagian besar kasus dipicu kebiasaan di mana ketika seekor ternak sakit atau mati, masyarakat merasa tidak rela untuk memusnahkannya begitu saja. Daripada mati sia-sia, maka sapi yang sakit itu justru disembelih untuk dijual dengan harga murah atau diberikan kepada masyarakat sekitar.

“Justru hal ini akan meningkatkan risiko penyakit karena dengan menyembelih hewan. Itu akan menyebarkan spora ke lingkungan,” imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More