Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Kamis, 21 Mei 2020 | 19:38 WIB
Ilustrasi korban kekerasan atau pelecehan seksual - (Pixabay/Anemone123)

SuaraJogja.id - Munculnya sejumlah kasus besar tentang pelecehan seksual yang terjadi di kampus Jogja tak bisa dimungkiri merupakan fenomena gunung es.

Seperti dikutip dari channel Youtube Kanal Pengetahuan Fakultas Hukum UGM, Guru besar Fisipol UGM, Prof Muhadjir Darwin, menyebut bahwa secara garis besar, kejadian pelecehan seksual tak hanya terjadi di kampus Jogja saja, melainkan juga terjadi hampir di semua kampus di Indonesia.

Tak hanya di kampus-kampus yang berbasis umum, bahkan peristiwa pelecehan seksual juga tak sedikit ditemukan di kampus-kampus yang justru berbasi keagamaan.

Ia menyebut masalah pelecehan seksual yang terjadi di kampus itu sangatlah kompleks. Ketua Tim Perumus Kebijakan PPKS UGM ini menyebut dominasi rape culture lah yang mendorong pelecehan seksual tumbuh subur di lingkungan kampus.

Baca Juga: Lebaran di Tengah Pandemi, Jasa Penukaran Uang di Jogja Sepi Peminat

Ia menyebut diakui atau tidak universitas belum mampu melepaskan diri dari rape culture ini. Sementara itu, consent culture atau budaya di mana si pelaku tidak berani melakukan jika tidak ada persetujuan dari pihak penerima, itu belum tumbuh.

"Rape culture ini masih mendominasi baik di kalangan masyarakat bahkan hingga ke lingkungan kampus," terangnya beberapa waktu lalu.

Selain adanya kultur tersebut, ketiadaan aturan yang mapan dan tegas untuk menindak pelecehan seksual turut memicu masalah pelecehan seksual di lingkungan kampus sulit untuk diselesaikan secara tuntas.

"tidak ada aturan yang tegas terkait ini. Banyak aturan yang bolong untuk memayungi penanganan pelecehan seksual. Termasuk level kampus itu sangat terbatas. Belum lagi rendahnya kesadaran pengelola kampus bahwa kejadian itu pidana dan harus dilakukan tindakan tegas yang kemudian membuat kasus-kasus pelecehan seksual sulit diselesaikan secara tuntas," jelasnya.

Terkait kasus pelecehan seksual yang terjadi di UII dan UGM, Muhadjir menyebut kedua lembaga pendidikan tersebut dinilainya masih kurang greget dalam menyikapi adanya pelecehan seksual yang terjadi di kampus masing-masing.

Baca Juga: Curhat Buruh Gendong Jogja, Bawa Barang 50 Kg Hanya Dibayar Rp 5 Ribu

"Di UII belum greget menangani itu, di UGM juga belum greget. Sebetulnya UGM sudah ada perangkat aturannya tapi kan belum ada implementasinya sejauh ini lantaran ada pandemi ini. Mungkin bisa dipantau bersama nanti setelah Juni," terangnya.

Sementara itu, Dosen Hukum Pidana dan Ketua LGS Fakultas Hukum UGM, Sri Wiyanti Eddyono menerangkan secara hukum pidana pelecehan seksual dan eksploitasi seksual itu tidak dikenal. Padahal potensinya sangat besar, termasuk pelecehan seksual lewat daring.

"Konstruksi hukum pidananya sangat menyulitkan banyak dimensi kekerasan yang tidak masuk di dalamnya. Sistem pembuktian di dalam hukum pidana kita masih terbatas. Ini yang kemudian membuat para korban tak berani atau bahkan malas melapor karena tak ada jaminan hukumnya," tambahnya.

Liputan khusus tentang kasus pelecehan seksual di kampus Jogja ini ditulis tim Suarajogja.id, Muhammad Ilham Baktora dan Nurhadi

Load More