Scroll untuk membaca artikel
Rima Sekarani Imamun Nissa | Amertiya Saraswati
Jum'at, 11 September 2020 | 14:10 WIB
Aksi sosial komunitas Perempuan Tattoo Indonesia (PTI) di tengah pandemi Covid-19. (Kolase Instagram/@perempuantattoo.ind)

Selain aktif di Omah Kreatif, Agustin Yustina juga aktif menjadi narasumber atau ikut kegiatan diskusi. Bahkan di tengah pandemi Covid-19, Agustin masih menjadi narasumber meski lewat live streaming atau Youtube.

Penggagas komunitas Perempuan Tattoo Indonesia (PTI), Agustin Yustina, saat ditemui tim Suarajogja.id di kediamannya, wilayah Mergangsan, Yogyakarta, Kamis (10/9/2020) kemarin. (Suara.com/Sulityo Jati)

Mematahkan rantai stigma

Sepintas, tato tidak terlihat sebagai fokus utama kegiatan di komunitas ini. Meski terlibat dengan komunitas tato lainnya, hal tersebut tidak menjadi aktivitas rutin.

"Kami kan membawa nama tato, pasti akan terlibat dengan komunitas yang memang khusus berbicara tato," jelas Agustin yang pernah berpatisipasi sebagai juri untuk Miss Tato Indonesia di Blitar.

Baca Juga: Program Community Accelerator dari Facebook Dukung Komunitas Tumbuh

Namun, kegiatan yang tidak berhubungan dengan tato jauh lebih banyak. Saat pandemi Covid-19 berlangsung, Agustin sempat turun tangan untuk membantu lewat pembentukan dapur umum.

Salah satu kegiatan mereka saat itu adalah mendonasikan susu untuk membantu gizi anak-anak yang keluarganya terdampak Covid-19. Agustin juga melakukan donasi sembako di kampung pemulung dan kampung pinggir sungai.

Kemudian, Agustin sendiri memberikan fasilitas internet gratis untuk belajar online. Kala itu, Agustin rela mengantar-jemput anak-anak yang membutuhkan jaringan internet untuk belajar di teras rumahnya sendiri.

Tidak hanya itu, Perempuan Tattoo Indonesia adalah penggagas Festival Dolanan Anak selama dua tahun berturut-turut. Banyak panitia saat itu adalah orang-orang dengan tato. Mereka pun sering mendapat pertanyaan, kenapa PTI malah membicarakan soal anak-anak?

"Tujuan mengampanyekan tato bukan kriminal, tidak hanya pada orang dewasa. Sedangkan stigma itu, kan, diterima dari pola pikir anak kecil. Anak kecil diwariskan dari pikiran-pikiran orangtua. Kenapa aku dan teman-teman fokus ke anak-anak? Kami ingin mematahkan rantai stigma itu," jelas Agustin.

Baca Juga: Badan Penuh Tato Jadi Kepala Desa, Ini 3 Foto Hoho Alkaf Bikin Merinding

"Jadi kami bertato, tapi kami cenderung berbicara tidak dengan tato. Anak adalah salah satu generasi pemutus rantai stigma: bahwa tato itu buruk, tato itu kriminal, tato itu sangat dibenci orang-orang. Tapi saat masih kecil kita kenalkan, bahwa kami bertato tapi kami tidak sesuai dengan apa yang orangtua ajarkan atau terlihat di media, ini tindakan langsung," tegasnya.

Hal serupa diungkapkan oleh Flo, admin komunitas PTI. Meski dirinya tidak bertato, Flo juga tidak menyukai stigma yang sering beredar di masyarakat.

"Kalau saya mikirnya orang bertato itu nggak bisa langsung kita nilai 'kowe bertato jauhi dia' (kamu bertato, jauhi dia-red). Kalau biasanya, kan, ada ibu-ibu, bawa anak, yang pikirannya masih kolot langsung nge-judge gitu," kata Flo.

"Contohnya PTI sendiri, dia berkegiatan, dia langsung turun untuk membuat contoh nyata bahwa tato bukan kriminal yang sering masyarakat dengar. Itu sebagai jawaban untuk menghantam omongan-omongan orang yang langsung nge-judge," lanjut Flo.

Agustin Yustina bersama Flo Putri Arum, anggota komunitas Perempuan Tattoo Indonesia (PTI). (Suara.com/Sulityo Jati)

Bukan sekadar perempuan dan tato

Meski nama komunitas mereka adalah Perempuan Tattoo Indonesia, Agustin tidak memberi batasan untuk anggota. Siapa pun, perempuan atau laki-laki, bertato atau tidak bertato, boleh bergabung.

Load More