Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Selasa, 06 Oktober 2020 | 09:36 WIB
Suasana di Ruang Sidang Paripurna menjelang pengesahan RUU Cipta Kerja. (Suara.com/Novian)

SuaraJogja.id - Pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi Undang-Undang pada Senin (5/10/2020) ramai ditanggapi kecaman dari banyak pihak. Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) pun turut membagikan pandangan terkait permasalahan Undang-Undang yang rancangannya dinilai tidak pro buruh ini.

Dalam utas yang dibagikan pada Senin sore, @PUKAT_UGM menyoroti tiga permasalahan RUU Cipta Kerja, "baik secara proses, metode pembentukan, dan substansinya."

Utas tersebut pun viral dan telah di-retweet hampir 40 ribu kali serta disukai lebih dari 50 ribu akun.

Pada poin pertama, menurut Pukat UGM, perumusan RUU Cipta Kerja tidak transparan serta minim keterbukaan dan partisipasi publik.

Baca Juga: Koar-koar Budayakan Baca Omnibus Law, Orang Ini Malah Blunder Bikin Kesal

Bahkan, selama proses penyusunan berjalan, tak ada akses bagi publik untuk menilik draft RUU Cipta Kerja. Oleh sebab itu, publik kesulitan memberi masukan.

Pembahasannya pun dilangsungkan dalam rapat-rapat yang digelar secara tertutup, dan tak pernah ada distribusi perkembangan draft pembahasan RUU Cipta Kerja terhadap publik.

Setelah RUU tersebut selesai dirancang pemerintah dan diserahkan ke DPR, publik baru mendapat akses terhadap dokumen itu.

Utas Pukat UGM soal permasalahan RUU Cipta Kerja - (Twitter/@PUKAT_UGM)

BACA UTASNYA DI SINI.

"Minimnya keterbukaan dan partisipasi publik membuat draft RUU Cipta Kerja rawan disusupi oleh kepentingan tertentu yg hanya menguntungkan segelintir pihak saja," cuit Pukat UGM.

Baca Juga: 6 Pasal Kontroversial dalam UU Cipta Kerja

Yang kedua, Pukat UGM mengungkapkan, "Teknik Omnibus Law tidak dikenal dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini mengakibatkan ketidakjelasan apakah RUU Cipta Kerja merupakan penyusunan UU Baru, UU Perubahan, ataupun UU Pencabutan. (Bayu Dwi A, 2020)."

Disebutkan bahwa RUU Cipta Kerja bukan solusi untuk problem regulasi di Indonesia. Selain itu, banyaknya pendelegasian wewenang di dalamnya tak menunjukkan simplifikasi dan harmonisasi Peraturan Perundang-unangan.

Terakhir, dalam kicauannya Pukat UGM menegaskan bahwa secara substansi, RUU Cipta Kerja condong pada sentralisasi kekuasaan, sehingga rentan akan potensi korupsi.

Pukat UGM menjelaskan, dengan RUU Cipta Kerja, pemerintah pusat mendapat kewenangan yang besar, sementara dinamika desentralisasi akan berkurang.

Padahal, lanjut Pukat UGM, sentralisasi yang berlebihan rentan terhadap potensi korupsi. Salah satu penyebabnya yaitu makin minimnya pengawasan.

"Pemusatan kewenangan pada presiden (president heavy) dapat menimbulkan persoalan tentang cara memastikan kontrol presiden atas kewenangan tersebut (Oce Madril, 2020)," tutupnya.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah pada akhirnya sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi undang-undang. Kesepakatan itu diambil melalui hasil rapat paripurna pada Senin (5/10/2020) sore.

Sebelumnya, buruh dan mahasiswa di berbagai wilayah di Indoensia telah bergerak menyerukan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja.

Mereka pun kecewa suaranya tak digubris, sehingga aksi unjuk rasa serupa digelar pada Senin malam, salah satunya di Jogja.

Load More