SuaraJogja.id - Persoalan hajat hidup orang banyak di tengah pandemi Covid-19, khsusunya terkait soal pangan masih terus menjadi perhatian oleh semua pihak. Ketersediaan pangan nasional dampak pandemi akan bukan menjadi masalah di daerah saja tapi sudah masuk pada persoalan ketahanan nasional.
Merespon hal tersebut, Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Guwosari terus mengembangkan lahan pertanian alami guna mencukupi kebutuhan suplai pangan masyarakat sekitar. Pengembangan itu juga menjadi langkah awal untuk mendorong ekonomi desa.
"Pengembangan pertanian alami ini muncul dari keprihatinan kita ketika pandemi Covid-19 yang membuat masyarakat kesulitan untuk menyuplai makanan. Sehingga lewat pemerintah desa, BUMDes dapat amanah untuk mencari lokasi yang bisa untuk ditanami dan nantinya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat," kata Ketua Bumdes Guwosari, Imam Nawami (47), saat ditemui di Jl. Banjaran Selarong, Waktu Gedug, Guwosari, Kecamatan Pajangan, Bantul, Kamis (22/10/2020).
Pemilihan lokasi ini, kata Imam, berdasarkan penilainnya terhadap masyarakat khsusunya petani yang mempunyai mental yang gigih namun pengetahuan soal pertanian yang alami dan sehat belum ada. Dari situ, pihaknya mulai masuk untuk membentuk diskusi antar masyarakat terkait dengan pengembangan pertanian alami.
Baca Juga: Jadi Wilayah Rawan Bencana, Bantul Tetapkan Status Siaga Darurat
Hasilnya, diputuskan bahwa kawasan di Guwosari tersebut akan dibuat sebagai sentra atau pusat edukasi masyarakat untuk menyebarkan ilmu pertanian alami. Dikatakan Imam, langkah itu tidak hanya memberikan edukasi tentang pertaian alami tapi juga membantu menyelesaikan masalah para petani di wilayah tersebut.
Sebab selama ini biaya atau cost yang dikeluarkan para petani di Dusun Banjaran tersebut untuk pertanian terbilang sangat tinggi. Dalam satu tahun ini saja, para petani harus merasakan minus dari hasil pertaniannya.
"Biaya mencangkul, bibit beli, pupuk disamping langka dan mahal, semua itu masih jadi persoalan di sini. Oleh karena itu kita edukasi untuk selanjutnya agar lebih efisien dan hasilnya pun baik karena menggunakan perawatan yang alami," ucapnya.
Edukasi yang ditawarkan semisalkan, para petani akan diedukasi untuk tidak perlu mencangkul beberapa kali lagi untuk mendapatkan tanah yang subur. Hanya perlu sekali cangkul saja, dengan diberikan mulsa organik berupa batang padi, daun bambu dan trembesi.
Salah satu metode unik yang digunakan untuk merawat tanaman atau bibit di lahan itu yakni menggunakan metode percik. Jadi petani tidak lagi menyiram tanaman dengan cara biasa tapi cukup memercikkan cairan yang telah dibuat khusus sebelumnya ke tanaman menggunakan batang padi.
Baca Juga: Jadi Wilayah Hilir, BMKG Minta Masyarakat Bantul Waspadai Dampak La Nina
"Istilahnya kalau di pertanian konvensional, itu sebagai pupuk dasar. Ibarat bayi sebelum lahir sebetulnya di dalam susu ibu itu sudah ada susunya jadi ketika lahir bayi sudah bisa minum susu. Sama seperti itu, sebelum biji tanaman kita tanam, sebenarnya sudah ada kandungan unsur hara yang ada di dalam tanah, hanya perlu disiapkan dulu," paparnya.
Disampaikan Imam, para petani nantinya tidak perlu berkali-kali mencangkul lahannya hanya perlu sekali cangkul lalu dipercik cairan tersebut. Setelah dipercik tanaman diendapkan, kemudian ditanam, saat sudah mulai tumbuh pemercikan akan dilakukan terus selama 15 hari.
Imam menegaskan memang metodenya harus dengan dipercik seperti itu. Sebenarnya kalau pun disiram masih bisa, hanya saja saat ini belum ada tempat menyiram yang bisa digunakan.
Pasalnya tempat yang digunakan menyiram tanaman pun tidak boleh menggunakan alat besi dan semacamnya. Jadi memang harus benar-benar organik, kalaupun ada yang lain yakni tembaga namun harganya cukup merogoh kocek.
"Cairan yang dipercikkan tadi 100 persen organik karena dari bio organik. Itu kita sudah buat biangnya, dari biang itu sudah kita olah sedemikian rupa dengan komposisi dengan 16 bahan alami yang difermentasi hingga minimal 6 bulan, tapi makin lama semakin bagus," ungkapnya.
Imam menuturkan syarat lain agar pertanian alami ini berhasil adalah dengan tidak menambahkan pupuk sintetis lagi ke dalam lahan tersebut. Menurutnya hal ini yang membuat pengembangan pertanian alami di Guwosari berbeda dengan wilayah lain.
Menurutnya masih banyak di wilayah pertanian lain yang walaupun dengan embel-embel organik namun masih tetap diberikan pupuk sintetis semacam urea dan sebagainya. Hal itu yang tidak berlaku pada lahan pertanian alami seluas 1,5 hektare dengan total jangkauan wilayah mencapai 5,5 hektare tersebut.
"Berbeda dengan pertanian organik lainnya, saat diberikan pupuk organik tapi masih ditolerir 20-30 persen menggunakan urea atau semacamnya. Di sini tidak boleh sama sekali," tegasnya.
Imam menuturkan, nanti ketika dipanen, selain buah tidak ada tumbuhan atau tanaman yang boleh dibawa keluar dari area ladang tersebut. Jadi pohon atau sisa tanaman itu harus dikembalikan lagi di tempat itu.
Tidak harus ditanam lagi tapi minimal ditaruh di ladang itu saja agar dapat menjadi kompos. Sebab tanaman tersebut di dalamnya sudah mengandung mikro organisme yang baik untuk digunakan kembali lagi.
"Maka kita belajar dari alam betul, itu alasan kita tidak membongkar semua lahan seluas 5,5 hektare tadi secara langsung tapi bertahap. Supaya masyarakat juga tahu, ini hasil yang menggunakan sistem pertanian alami dan ada yang belum," tandasnya.
Sementara itu, Tenaga Ahli Pertanian Alami, Yos Suprapto mengatakan akan ada banyak keuntungan yang bakal didapat oleh para petani ketika sudah mengembangkan pertanian alami ini. Salah satunya menjadikan tanaman lebih tahan musim, sehingga baik di musim kemarau yang minim air pun tanaman akan tetap menghasilkan kualitas baik.
"Kalau mikro organisme yang dipersiapkan sudah jadi dan masuk sedalam 30 cm dari permukaan tanah, musim kemarau atau minim air pun tetap akan dapat menumbuhkan tanaman yang hasilnya sama baiknya," kata Yos.
Untuk menjaga kondisi lahan tersebut, para petani tidak perlu mencangkul lagi tanah yang sudah ditanami. Jadi tanah yang subur itu cukup ditusuk-tusuk atau digarpu agar udara yang berisi partikel bisa masuk.
Yos menjelaskan hal tersebut ibaratkan memberikan napas kehidupan untuk kesuburan lahan itu. Selain udara, partikel lain seperti air juga akan sangat membantu perkembangan setiap tanaman yang ditanam.
Tidak lupa Yos, juga mengingatkan kepada para petani untuk selalu menanam dengan perasaan yang senang dan energi positif. Artinya bukan kemarahan atau kesedihan bahkan energi negatif lain yang diberikan saat bercocok tanam. Sebab, hal itu akan berdampak pada pertumbuhan tanaman yang tidak maksimal.
"Hal-hal semacam itu yang akan membuat kita dihidupi oleh alam itu sendiri. Kuncinya siklus, timbal balik, kita berikan baik untuk alam, maka alam akan memberikan yang baik pula bagi kita," ujarnya.
Menurut Yos, nantinya di lahan pertanian Guwosari tersebut akan dibangun semacam sekolah pertanian alami. Di sekolah tersebut, rencananya tidak hanya akan belajar masalah teknik saja tapi banyak pelajaran lain terkait harmonisasi antara manusia dan alam.
"Sekolah yang memanusiakan manusia, fokusnya akan menuju ke sana. Tapi sebelum menuju ke sana kita harus menjadi manusia yang utuh dulu. Mudah-mudahan dapat kita realisasikan secepatnya, karena memang perangkat desa di sini sudah sangat mendukung," terangnya.
Yos menyebut hal ini selaiknya cita-cita Pangeran Diponegoro yang menginginkan untuk terbebas dari penjajahan. Jika memang di beberapa waktu mendatang pertanian alami ini sudah terlihat hasilnya, maka para petani tidak perlu mengeluarkan modal sepeser lagi untuk bertani.
Namun hal yang paling penting untuk dilakukan terlebih dahulu adalah menyembuhkan ibu bumi ini. Pasalnya dengan segala kontaminasi pupuk-pupuk sintetis yang terlampau lama mengakibatkan kerusakan pada ibu bumi yang berdampak pada segala tanaman yang telah ditanam.
"Sudah ada respon pemuda dan pemudi di Guwosari juga, walaupun belum sepenuhnya memiliki keberaturan untuk terjun ke dunia pertanian tapi setidaknya sudah ada kemauan. Nanti tinggal mengarahkan, kita berharap generasi yang akan datang memahami hal seperti ini," tandasnya.
Berita Terkait
-
Daftar Perusahaan Pupuk Palsu, Bikin Petani Rugi Hingga Rp3 Triliun
-
Cara Perusahaan BUMN Sulap Desa jadi Kawasan Industri Holtikultura Modern
-
Cara Berdikari Jaga Stabilitas Harga Daging Demi Ketahanan Pangan Nasional
-
Kawasan Wakaf Pertanian Produktif Dompet Dhuafa
-
Dukung Ketahanan Pangan, Yasa Artha Trimanunggal Akuisisi SAM Air
Terpopuler
- Diminta Cetak Uang Kertas Bergambar Jokowi, Reaksi Bank Indonesia di Luar Prediksi: Kalau Gitu...
- Ragnar Oratmangoen Akui Lebih Nyaman di Belanda Ketimbang Indonesia: Saya Tidak Menonjol saat...
- Warga Jakarta Jangan Salah Nyoblos Besok, YLBHI Bongkar 'Dosa-dosa' Cagub Nomor Urut 2 Dharma Pongrekun
- Pelatih Jay Idzes: Saya Tidak Senang, Ini Memalukan!
- Pratiwi Noviyanthi Ditinggal Pengacara Usai Tak Mau Selesaikan Kisruh Donasi Pengobatan Agus Salim
Pilihan
-
Review Hidup Peternak Lele: Game Simulasi Bagaimana Rasanya Jadi Juragan Ikan
-
Jangan Lewatkan! Lowongan Kerja OJK 2024 Terbaru, Cek Syaratnya Di Sini
-
4 Rekomendasi HP Gaming Murah Rp 2 jutaan Memori Besar Performa Handal, Terbaik November 2024
-
Harga MinyaKita Mahal, Mendag "Lip Service" Bakal Turunkan
-
Mahasiswa Universitas Lampung Ajak Warga Gotong Royong Peduli Lingkungan
Terkini
-
Sirekap di Jogja Sempat Bermasalah, Petugas Tak Bisa Unggah Data TPS
-
KDRT Tinggi di Gamping, Pemkab Sleman Luncurkan Layanan Konseling Keliling
-
Korban Laka Tunggal di DAM Cangkring Bertambah, Ini Identitasnya
-
Turun Dibanding 2020 hingga 10 Persen, KPU Ungkap Alasan Partisipasi Pemilu Berkurang
-
Miris, Pelajar Kelas 10 Sebuah SMK di Gunungkidul Dicabuli Ayah Tirinya Berulang Kali