Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Mutiara Rizka Maulina
Selasa, 27 Oktober 2020 | 18:40 WIB
Deformasi letusan Merapi tahun 2010 melalui citra radar. - (YouTube/ Dasawarsa Merapi)

Tidak hanya radar, Asep juga menggunakan data EDM yang diambil dari BPPTKG. Ada tiga stasiun yang dijadikan acuan, yakni RK, RB, dan RJ. Menjelang erupsi pada tahun 2010, deformasi di Gunung Merapi menunjukkan kurva yang naik dan turun dari setiap sisi.

Hasilnya, dari sekian titik yang diambil menunjukkan pola yang sama. Hanya saja dengan pantauan waktu yang berbeda. Ia kemudian membagi tiga zona waktu naik dan turun. Sebelum akhirnya meletus pada naik turun ketiga. Letusan itu ditandai dengan warna merah pada kurva.

Naik turunnya sebuah kurva diartikan Asep sebagai adanya pergerakan di bagian bawah. Dimungkinkan, adanya dorongan magma dari bawah, sehingga memunculkan retakan-retakan di bagian atas. Hal tersebut dideteksi sebagai kekasaran yang tinggi.

"Hasil intepretasi kita, bahwa letusan tahun 2010 itu besar, ada deformasi yang cukup kuat justru pada titik A, yakni titik yang paling jauh," ujar Asep.

Baca Juga: Mirip Erupsi Tahun 2006, Data Pantauan Merapi Tunjukkan Pergerakan Magma

Ia menduga ada magma yang lebih dalam berkontribusi dengan reserfoar yang lebih dangkal. Sehingga mengakibatkan munculnya letusan yang cukup besar pada tahun 2010. Dari hasil analisis melalui radar tersebut, Asep kemudian menyimpulkan bahwa letusan Merapi pada tahun 2010 itu sebagai sesuatu yang luar biasa. Baik dari sisi kemanusiaan, maupun dari sisi keilmuan.

Load More