Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Mutiara Rizka Maulina
Selasa, 27 Oktober 2020 | 15:59 WIB
Pemaparan perbandingan data Merapi tahun 2010 dan 2020. - (YouTube/ Dasawarsa Merapi)

SuaraJogja.id - Kepala Seksi Gunung Merapi BPPTKG,  Agus Budi Santoso memaparkan data pemantauan Gunung Merapi tahun 2010 dan 2020.  Dari catatan erupsi yang pernah terjadi sejak tahun 1768 sampai 2014, ada lima tipe erupsi yang terjadi di Gunung Merapi. Yakni erupsie freatik, vulkanian, tipe Merapi murni dan tipe Merapi disertai letusan eksplosif dan tipe Sub Plinian.

Erupsi pada tahun 2010 sendiri mengeluarkan material sebesar 130 juta meter kibik. Agus menyebutkan jika dilihat dari frekuensi letusannya, tipe erupsi yang paling sering terjadi yakni tipe Merapi disertai dengan letusan. Tipe Merapi sendiri merujuk pada definisi terbentuknya awan panas disebabkan oleh gugurnya kubah lava.

Sementara untuk letusan yang terjadi pada tahun 2010, merupakan tipe Sub Plinian. Tipe ini juga sempat terjadi seratus tahun sebelumnya pada tahun 1872. Dua kejadian letusan tersebut disebut Agus memiliki kemiripan.

Diantaranya, sama-sama memiliki skala VEI IV, dimana skala tersebut adalah angka letusan terbesar. Jangkauan awan panasnya juga cukup jauh, lebih dari 15 KM. Proses erupsi juga disertai dengan eksplosif yang besar. Sehingga berdampak membentuk kawah yang cukup dalam.

Baca Juga: ASN Tak Netral dalam Pilkada Bantul Diduga Oknum Guru SD dan SMA

"Pada erupsi 2010, terbentuk kawah dengan lebar sekitar 350m x 400 m dan kedalaman 150 m. Pada letusan 1872 juga terjadi pembentukan kawah yang lebih dalam dari tahun 2010," terang Agus.

Setelah dibandingkan antara aktivitas pasca erupsi pada tahun 2010 dan 1872, ada kemiripan yang terjadi. Yakni letusan-letusan eksplosif yang tercatat dalam sejarah. Kemudian terjadi ekstrusi magma 11 tahun setelah erupsi 1872, yakni pada tahun 1883, dan ekstrusi magma terjadi 8 tahun setelah 2010, yakni pada 2018.

Berdasarkan pada persamaan kronologi yang terjadi tersebut. Agus menduga akan terjadi ekstrusi magma yang kedua seperti yang terjadi pasca erupsi tahun 1872. Hal ini disampaikan sebagai skenario aktivitas Gunung Merapi pasca tahun 2010.

Pada data pemantauan 2010 dan 2020, jaringan pemantauan sepuluh tahun lalu terdiri dari metode-metode standar pemantauan. Yakni seismik, geokimia dan visual. Perbedaan metode dulu dan sekarang hanya terletak pada metode GPS. Selain dilakukan survei regional dan periodik metode ini juga ada yang terpantau secara online.

"Ada beberapa gempa di Gunung Merapi, diantaranya yakni VTA dan VTB," imbuh Agus.

Baca Juga: Ada di Bantul Nih, Penampakan Seorang Anak Naik Naga Raksasa

Selain itu, beberapa jenis gempa lainnya yang terjadi di Merapi antara lain gempa MP yang menunjukkan adanya gerakan magma yang terkendala. Selanjutnya yakni tipe gempa dengan frekuensi rendah, mencerminkan pergerakan fluida dan cenderung ke mekanisme fluetik, yakni gempa LF. Serta gempa RF yang menunjukkan terjadinya guguran batuan di wilayah Merapi.

Pasca erupsi 2010 sampai dengan 2018 terjadi letusan eksplosif yang tercatat sebanyak 18 kali. Terekam juga terjadi gempa tektonik dalam. Setelah magma memasuki kantong magma, gempa-gempa tektonik mulai berkurang. Sempat juga terjadi awan panas dan guguran lava pijar yang menjadi daya tarik wisata saat itu.

Kemudian ekstruksi magma berhenti pada September 2019, kemudian letusan-letusan kembali terjadi. Sedangkan perbedaan letusan 2006 dan 2010, terjadi pada peningkatan percepatan drastis. Sehingga mencapai angka maksimal yang tiga kali lebih besar dari 2006.

"Sehingga perbedaannya yang pertama adalah kecepatan peningkatan, yang kedua adalah jumlah dari intensitas gempa, kemudian yang ketiga ada vulcano tektonik dalam," imbuh Agus dalam webinar dasawarsa erupsi merapi Selasa (27/10/2020).

Kalau dari segi deformasi sendiri, pada tahun 2010 justru tidak terjadi deformasi di arah barat. Karena saat itu, deformasi terpusat di arah selatan. Ini yang membedakan antara 2006 dan 2010.

Sedangkan data pemantauan 2020 dilihat lebih mirip dengan pemantauan pada tahun 2006. Deformasi sendiri terjadi di daerah babadan meskipun memiliki intensitas lebih tinggi dari 2006 namun jauh lebih rendah dari tahun 2010.

Terakhir, Agus menyimpulkan bahwa dari data pemantauan menunjukkan adanya migrasi magma menuju permukaan. Dari indikator yang ada mendekati kondisi siaga tahun 2006. Dengan prediksi yang mengarah pada erupsi yang efusif, faktor ancaman bahaya dapat diukur dari parameter kubah lava. Yakni volume, laju pertumbuhan, posisi dan kestabilan.

Selanjutnya, skenario erupsi eksplosif akan muncul jika ada indikasi percepatan siginifikan dari peningkatan data pemantauan baik seismik maupun deformasi. Tipe erupsi sendiri juga diperkirakan akan terjadi seperti pada tahun 2006.

Load More