Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Mutiara Rizka Maulina
Senin, 23 November 2020 | 18:13 WIB
Refly Harun memberikan pendapat soal unggahan Anies Baswedan. - (YouTube/Refly Harun)

SuaraJogja.id - Unggahan Anies Baswedan di akun media sosialnya saat mengucapkan selamat pagi sambil mengunggah fotonya membaca buku menuai kontroversi. Membaca buku berjudul How Democracies Die, Anies diduga sedang menyindir pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ada juga warganet yang menduga bahwa unggahan itu adalah sindiran untuk peristiwa yang belum lama ini menimpanya.

Pengamat politik Refly Harun ikut membuat video di kanal YouTube-nya yang membahas unggahan Gubernur DKI Jakarta tersebut. Secara pribadi, ahli hukum tata negara ini menyampaikan bahwa unggahan Anies merupakan bentuk sindiran. Pasti, kata dia, ada maksud tersembunyi di balik unggahannya membaca buku tersebut.

"Tentu bukan tidak ada maksudnya, tetapi memang harus mendalaminya dalam berbagai perspektif," terang Refly.

Namun baginya, unggahan Anies itu hanya untuk menegaskan kritik dan pendapat dari banyak orang yang mengatakan adanya kemunduran demokrasi dalam masa pemerintahan Jokowi periode kedua ini. Ada beberapa tokoh lainnya yang ikut mengkritik sistem demokrasi Jokowi, yakni di antaranya Amien Rais dan Din Syamsudin.

Baca Juga: Anies Unggah Baca Buku 'How Democracies Die', Akademisi USU: Gimik Politik

Termasuk dengan tokoh Jimly Asshiddiqie, mereka mengkhawatirkan munculnya pemerintahan yang otoriter, atau dalam istilah lain disebut juga sebagai diktator konstitusional. Menurut Refly, tidak mengherankan jika masyarakat menyoroti masa depan demokrasi Indonesia di masa pemerintahan Jokowi.

"Khawatir demokrasi kita regresif, bukannya maju ke depan, tapi justru mundur ke belakang dengan kebijakan-kebijakan Presiden Jokowi," imbuh Refly.

Jika dikaitkan dengan fenomena sekumpulan orang berseragam loreng yang menurunkan baliho HRS, Refly berpendapat, seolah adanya kelumpuhan penegak hukum di tingkat lokal maupun nasional. Di satu sisi hal itu bisa saja benar, tetapi di sisi lain hal itu juga menunjukkan keburukan dalam masa depan demokrasi.

Salah satu cara mempercepat kematian demokrasi, kata Refly, adalah mengundang militer dalam dunia politik. Bukan karena militer tidak cinta negara, tetapi karena menurut Refly tidak mungkin senjata dihadapkan dengan demokrasi. Sebab, doktrin dalam dunia militer adalah menghancurkan; tidak ada negosiasi dalam perang.

Ia mengatakan, fungsi TNI adalah menjaga keutuhan dan kedaulatan Republik Indonesia. Karena itu, TNI juga berfungsi sebagai alat perang, bukan alat untuk berpolitik maupun berdemokrasi; sama seperti Polri, yang juga berfungsi sebagai alat keamanan dan tidak memiliki fungsi untuk berpolitik.

Baca Juga: Anies Baca Buku 'How Democracies Die': Trik Politik Menyampaikan Pesan

Refly Harun memberikan pendapat soal unggahan Anies Baswedan. - (YouTube/Refly Harun)

Tonton pendapat Refly selengkapnya DI SINI.

"Jadi biarkanlah politik itu serahkan kepada memang yang hak, yaitu partai-partai politik dalam struktur formal kenegaraan dan kelompok-kelompok sipil," terang Refly.

Ia berharap agar sindiran yang dilakukan oleh mantan pasangan kepala daerah Sandiaga Uno itu hanyalah sindiran. Bukan merupakan kenyataan matinya demokrasi di Indonesia, Refly juga berharap agar semua berjalan dengan baik. Tidak matinya demokrasi menjadi jalan untuk calon presiden periode selanjutnya untuk bertanding secara lebih adil.

Sejak diunggah pada Senin (23/11/2020), video berdurasi 16 menit itu sudah ditonton lebih dari 28 ribu kali.

Ada seribu lebih pengguna YouTube yang menekan tanda suka dan ratusan lainnya meninggalkan komentar.

Beberapa di antaranya justru menyerukan keberpihakan untuk memilih Anies sebagai calon presiden berikutnya.

Load More