Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Minggu, 29 November 2020 | 16:15 WIB
Butet mengenakan pakaian bangsawan jawa kuno. - (Youtube/ButetKartaredjasa)

SuaraJogja.id - Kerinduan akan kerukunan antar-umat beragama di Indonesia membuat seniman Jogja Butet Kartaredjasa terbawa nostalgia puluhan tahun lalu tentang almarhum ayahnya, Bagong Kussudiardja. Ia teringat akan hubungan akrab antara sang seniman dan Mantan Menteri Agama (Menag) sekaligus tokoh Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN Suka), Mukti Ali.

Cerita itu ia bagikan di Instagram, Minggu (29/11/2020), setelah Butet bertemu Rektor UIN Suka Al Makin.

"Kemarin kepada Prof Al Makin, rektor UIN Sunan Kalijaga, saya bocorkan cerita menarik bertalian soal kesejukan agama, terutama soal relasi seniman dengan agama. Yaitu, soal hubungan Pak Bagong dengan IAIN Sunan Kalijaga," tulisnya melalui akun terverifikasi @masbutet.

Kala itu, kata Butet, pada sekitar 1970-an, Bagong, yang sebelumnya membuat sendratari "Kelahiran dan Kebangkitan Isa Almasih", menggarap sendratari "Sunan Kalijaga".

Baca Juga: Kumpul Bareng Pelukis di UIN Sunan Kalijaga, Butet Rasakan Kesejukan Agama

Di tengah proses penggarapan, Bagong berkonsultasi dengan Mukti Ali, yang juga pernah menjabat sebagai wakil rektor IAIN Sunan Kalijaga [sekarang UIN Sunan Kalijaga]. Untuk keperluan karya seninya itu, Bagong pun belajar pengetahuan Islam.

"Seniman dan ulama itu kerap tukar pikiran, terutama membekali pengetahuan Islam bagi Pak Bagong yang Kristen," terang Butet.

Bahkan, seperti diceritakan Butet, sendratari garapan Bagong kental akan perpaduan antara agama dan seni yang apik, mulai dari karakter utama yang dibawakan penari Katolik hingga koreografi jemaah yang sedang salat.

Unggahan Butet Kartaredjasa - (Instagram/@masbutet)

"Dalam sendratari “Sunan Kalijaga” di mana karakter utama dimainkan penari Katholik, Yohanes Sumandiyahadi, - Pak Bagong antara lain menghadirkan koreografi orang2 sedang sholat diiringi lantunan vokal suara lelaki seperti suara adzan. Liriknya dalam bahasa Jawa, berisi sembah puji keagungan Tuhan. Yang menembangkan Pak Parman yang vokalnya bisa memekik sampai oktaf yang tinggi banget," terang Butet.

"Sungguh perpaduan musik dan koreografi spiritual yang bisa bikin merinding. Banyak motif2 koreografi yang diolah dari tradisi keagamaan, bersumber pada gerak2 rohaniah yang Islami," imbuhnya.

Baca Juga: Sebarkan Toleransi Lewat Seni, Puluhan Seniman Melukis Bareng di UIN Sunan

Kenangan itu, yang mengingatkan Butet akan indahnya keberagaman agama dan kerukunan pemeluknya, membuat ia merindukan kondisi Indonesia di masa lalu.

"Mengingat peristiwa itu, bolehlah kita bertanya, menggugat dan menyelidik: “Dimanakah keindahan Indonesia yang kayak gitu bersembunyi? Tolong kembalikan ke-Indonesia-an itu kepada kami!!!" tutup kakak mendiang Djaduk Ferianto ini.

Berbagai komentar warganet tak ayal membanjiri unggahan tersebut. Sama seperti Butet, publik juga merindukan kedamaian di tengah keberagaman di tanah air.

Bagong Kussudiardja - (Instagram/@masbutet)

"Indonesia indah dan beragam, sebelum negara api menyerang..." tulis @ester_hastuti.

"Pertanyaan dan gugatan di kalimat penutupnya mewakili perasaan banyak orang... Suwun, Pak Ageng," komentar putri Gus Mus, Ienas Tsuroiya, melalui akun @tsuroiya.

"Membayangkan seandainya ku menonton acara tsb.. Sungguh spektakuler.." ungkap @riakoestiyono.

Load More