Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 30 November 2020 | 09:25 WIB
Tomi Wibisono dijumpai di Perpustakaan Rumah Kata Jogja - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

"Ini karena dulu semangat punk salah satunya anti copyright. Terus aku juga tumbuh dengan literatur bajakan. Di samping karena sulit akses dan ketidaktahuan juga waktu itu," tuturnya.

Namun semakin ke sini Tomi, semakin sadar bahwa ia melihat banyak pembajak itu justru datang dari industri besar. Industri yang berada lebih di atas atau malah lebih kaya dari penerbit aslinya.

Hal itu membuatnya prihatin karena memang masih ada penerbit yang bahkan setengah mati untuk menghidupi penerbitannya.

"Maka dulu sempet tulisan tentang bajak bijak. Saat itu ada respon yang bilang kalau aku bisa ngomong gitu karena belum penah dibajak. Eh akhirnya tiba waktunya juga buku sendiri dibajak. Ternyata setelah ditelusuri yang bajak adalah akun kecil bukan industri besar," sebutnya.

Baca Juga: Cari Tahu Manfaat Tanaman Obat, Yuk Kunjungi Perpustakaan Herbal

Menurutnya situasi akan berbeda jika ia tidak mengenal kultur punk sejak awal. Namun dengan kondisi yang sudah ada saat ini disikapi Tomi sebagai sebuah landasan untuk terus berpijak dan berkembang di masa mendatang.

"Kalau tidak kena kultur punk mungkin sudah tegas anti pembajakan tapi balik lagi ada punk tadi jadi gini," pungkasnya sambil terkekeh.

Load More