Dari situlah muncul ide dan keberanian untuk menghadirkan suatu toko kelontong yang berbeda dari biasanya -- toko kelontong yang punya produk-produk dan konsep lebih selaras dengan kondisi kebutuhan alam sekitarnya.
Keraguan tidak dipungkiri Bukhi tetap ada. Namun, ia dan rekan-rekan lainnya tetap yakin untuk bisa mendekatkan toko kelontong ini kepada masyarakat sekitar.
Bahkan, Bukhi juga mengaku bahwa toko kelontong ini sebenarnya merupakan dapur dari rumah atau tempat tinggalnya dan teman-teman dari ide awal menciptakan sebuah tempat yang kondusif untuk menjalankan gaya hidup seperti kondisi di Bali saat itu.
Hal itu selaras dengan keyakinan Bukhi untuk membuat tempat itu menjadi rumah atau tempat yang nyaman terlebih dulu. Jika orang-orang di dalamnya sudah merasa senang dan nyaman, maka orang lain yang hadir masuk ke dalam tempat itu akan merasakan hal yang sama.
"Toko kelontong ini sebagai dapur kita sebenarnya. Kalau dihitung kita mulai mengumpulkan produk itu bulan Mei dan Juni dan baru buka pada 1 Oktober kemarin dengan segala renovasinya juga," tuturnya.
Dikatakan Bukhi, dari respons warga, awalnya kehadiran toko kelontong miliknya dinilai aneh. Warga sekitar menilai bahwa toko kelontong ini terlalu mewah dan rapi. Hal itu yang membuat tidak sedikit warga yang segan untuk masuk walaupun hanya sekadar melihat-lihat.
Namun seiring dengan berjalannya waktu, komunikasi terus berlangsung antara Bukhi dan rekan-rekannya di Ranah Bhumi dengan warga sekitar, dimulai dari mencoba kenal satu sama lain sekaligus mengenalkan produk-produknya.
"Nah di situ ada transfer knowledge bahwa kebutuhan mereka ternyata bisa dihasilkan sendiri lo selama ini. Saling ada komunikasi yang terjalin, sehingga ada hal-hal baru yang didapat, bahkan ibu-ibu sekitar ada yang ikut berkontribusi untuk menjual produk di toko kita pada akhirnya," ujarnya.
Bukhi menuturkan, hingga saat ini setidaknya sudah ada sekitar 60 hingga 70 persen produk di Ranah Bhumi yang merupakan produk lokal. Sementara itu, 20 sampai 30 persen lainnya berasal dari luar Jogja, tapi masih di Indonesia, ditambah dengan 10 persen adalah produk impor.
Baca Juga: Mengintip Budi Daya Maggot di Sleman, Berdayakan Warga Terdampak Tol
Terkait dengan produk impor tersebut, menurut Bukhi, hal itu tetap tidak akan dihilangkan dari ketersediaan produk yang ada. Sebab, itu dimaknai sebagai jaringan untuk berdiplomasi selain juga untuk bisa mengetahui perkembangan desain dan cara negara lain berpikir tentang produknya.
Disinggung terkait dengan harga produk yang kadang dianggap oleh masyarakat lebih mahal dibandingkan dengan toko kelontong biasa, Bukhi menilai bahwa masyarakat kadang masih luput.
"Jadi dari harga yang murah kita tidak tahu apa yang terjadi di baliknya. Misal produk industri, baju murah di baliknya ada buruh yang dibayar murah hingga tidak sejahtera dan persoalan lain yang dihadapi. Kita selalu memaparkan itu, tapi terserah pada orang yang mendengar apakah akan mengubah gaya hidup itu atau tidak. Keputusan di tangan mereka. Minimal kita sudah sampaikan pada mereka," jelasnya.
Bukhi mengambil contoh lain, semisal sabun atau deterjen pakaian yang dibuat oleh industri besar dan dijual dengan harga murah.
Ada fakta yang tidak terlihat di belakangnya, mulai dari dampak pada lingkungan setelah pemakaian bahan itu seperti sungai yang kotor hingga tanah yang gersang karena unsur kimia mulai membunuh mikroorganisme yang ada di tanah dan lainnya.
"Itu unsur-unsur yang tidak terlihat dan harusnya kita bayar dan dimasukkan dalam cost production sebuah produk. Tidak boleh lalu menutup sebelah mata begitu saja," tegasnya.
Berita Terkait
-
Mengintip Budi Daya Maggot di Sleman, Berdayakan Warga Terdampak Tol
-
Pembela FPI yang Ancam Penggal Polisi Ditangkap dan 4 Berita SuaraJogja
-
Prihatin Pertanian Terdampak Tol, Mardi Berdayakan Warga Budidaya Magot
-
Sleman: Tak Disiplin Isolasi Mandiri, 1 Pasien COVID-19 Bisa Tulari 5 Orang
-
Kebakaran Hotel di Sleman, Hujan Bantu Pemadaman Api
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Motor Bekas di Bawah 10 Juta Buat Anak Sekolah: Pilih yang Irit atau Keren?
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- 5 Mobil Bekas 3 Baris Harga 50 Jutaan, Angkutan Keluarga yang Nyaman dan Efisien
- Harga Mepet Agya, Intip Mobil Bekas Ignis Matic: City Car Irit dan Stylish untuk Penggunaan Harian
- 10 Mobil Bekas Rp75 Jutaan yang Serba Bisa untuk Harian, Kerja, dan Perjalanan Jauh
Pilihan
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
Terkini
-
Dukung Konektivitas Sumatra Barat, BRI Masuk Sindikasi Pembiayaan Flyover Sitinjau Lauik
-
Hidup dalam Bayang Kejang, Derita Panjang Penderita Epilepsi di Tengah Layanan Terbatas
-
Rayakan Tahun Baru di MORAZEN Yogyakarta, Jelajah Cita Rasa 4 Benua dalam Satu Malam
-
Derita Berubah Asa, Jembatan Kewek Ditutup Justru Jadi Berkah Ratusan Pedagang Menara Kopi
-
BRI Perkuat Pemerataan Ekonomi Lewat AgenBRILink di Perbatasan, Seperti Muhammad Yusuf di Sebatik