Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 14 Desember 2020 | 11:06 WIB
Teguh memperlihatkan budi daya maggot di Dusun Ketingan, Desa Tirtoadi, Mlati, Sleman, Minggu (13/12/2020). - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

SuaraJogja.id - Warga Pedukuhan Ketingan, Kalurahan Tirtoadi, Kapanewon Mlati, Kabupaten Sleman mengembangkan budi daya maggot sebagai respons atas tergerusnya lahan pertanian produktif mereka akibat rencana pembangunan jalan tol Jogja-Solo. Seiring berjalannya waktu, maggot diyakini bisa menjadi solusi atas berbagai masalah yang hadir di tengah masyarakat selama ini.

Salah satunya yakni sebagai pengurai atau pemecah sampah organik sisa hasil produksi yang dihasilkan baik secara perseorangan, bahkan pabrik besar. Selain itu, limbah dari maggot itu, atau yang disebut casgot, juga bisa dimanfaatkan lagi menjadi pupuk yang menyuburkan tanaman.

Untuk mengenal lebih jauh bagaimana sebenarnya produksi atau budi daya maggot di Ketingan itu, SuaraJogja.id mendapat kesempatan untuk melihat lebih dekat ke lokasi maggot itu berkembang biak, mulai dari lalat yang dibiarkan bertelur hingga maggot yang siap dijual.

Didampingi salah seorang karyawan yang tergabung dalam Kelompok Dewi Mapan, Teguh Abini (61), yang juga warga Ketingan, SuaraJogja.id dibawa ke sebuah lahan yang telah disiapkan sebelumnya. Terdapat beberapa ruang yang fungsinya berbeda-beda, menyesuaikan dengan prosesnya.

Baca Juga: Prihatin Pertanian Terdampak Tol, Mardi Berdayakan Warga Budidaya Magot

Teguh menjelaskan, budi daya itu dimulai dari kumpulan black soldier fly (BSF) atau lalat tentara hitam yang sudah dimasukkan dalam satu ruangan khusus dengan jaring-jaring di sampingnya. Ruang itu tertutup rapat agar tidak ada lalat yang keluar.

Ruangan itu adalah tempat para lalat kawin dan menghasilkan telur hingga akhirnya mati. Tempat lalat ini dibagi menjadi dua: ruangan gelap dan terang.

Tempat terang berfungsi ketika lalat dewasa saling bertemu dan kawin. Di ruangan itu disediakan daun pisang dan pelepah pisang yang sudah mengering. Di bawahnya sudah disiapkan kayu atau kotak yang berfungsi sebagai media lalat itu menaruh telurnya.

Teguh memperlihatkan budi daya maggot di Dusun Ketingan, Desa Tirtoadi, Mlati, Sleman, Minggu (13/12/2020). - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

Disampaikan Teguh, setiap harinya, lalat-lalat itu hanya diberi minuman air bersih minimal sebanyak dua kali sehari. Dengan beberapa media yang sudah disiapkan tadi, lalat akan dibiarkan untuk tumbuh dan berkembang biak sendiri.

"Kalau siklusnya itu lalat jantan akan mati setelah kawin. Sedangkan lalat betina akan mati juga setelah bertelur. Masa hidupnya dari sekitar 8-14 hari saja," kata Teguh sembari menunjukkan rumah lalat, di Dusun Ketingan, Minggu (13/12/2020).

Baca Juga: Jelang Libur Natal dan Tahun Baru, Aktivitas di Terminal Jombor Masih Sepi

Setelah selesai di ruang untuk lalat, telur yang telah dihasilkan tadi ada yang dibawa untuk dilakukan pembibitan. Telur lalat ini akan berubah menjadi maggot atau sejenis belatung.

Telur-telur tadi terlebih dulu dimasukkan dalam sebuah kotak-kotak untuk ditunggu untuk menetas. Setidaknya memerlukan waktu selama empat hari hingga telur menetas menjadi baby maggot.

"Baru setelah menjadi baby maggot diturunkan ke bawah atau dipindahkan ke tempat khusus lagi yang sudah disiapkan untuk produksi. Ya perlu sekitar 8-10 hari dari baby maggot sampai bisa turun ke bawah," ucapnya.

Teguh memperlihatkan budi daya maggot di Dusun Ketingan, Desa Tirtoadi, Mlati, Sleman, Minggu (13/12/2020). - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

Selanjutnya maggot yang sudah di tempat tersendiri tadi, akan dtunggu sampai menjadi kupa atau maggot yang sudah tua. Dari kupa itu nanti tinggal menunggu sekitar 21 hari untuk akhirnya bisa menjadi lalat kembali.

"Ya setidaknya perlu waktu 40-45 hari untuk produksi maggot, dari bertelur sampai bertelur lagi terus mati," sebutnya.

Telur dan maggot tadi yang kata Teguh, memiliki nilai ekonomi tinggi di pasaran. Namun sejauh ini pihaknya masih belum menyediakan bibit atau telur maggot untuk dijual secara luas.

Namun masyarakat yang menginginkan maggot sebagai alternatif makanan ternak bisa mengambil hasil produksi yang sudah ada. Disampaikan Teguh, maggot cocok digunakan sebagai pakan ternak mulai dari ikan lele, nila serta ikan-ikan lainnya, begitu juga dengan ayam, itik, dan jenis unggas lainnya.

Terkait dengan bahan atau makanan maggot itu sendiri, Teguh menuturkan pihaknya memanfaatkan limbah kulit kambing yang sudah tidak digunakan lagi. Ditambah juga dengan buah-buahan yang sudah tak layak makan oleh manusia.

"Nanti bahan-bahan itu akan digiling dan diberi air panas sampai menjadi seperti bubur itu baru diberikan sebagai makanan maggot. Untuk kotak satu deret 30 meter persegi ukuran 2x15 meter dibutuhkan 40 kilogram pakan," paparnya.

Tidak sampai di situ saja, nantinya limbah hasil sisa makanan maggot itu akan diambil untuk diolah lagi. Nantinya limbah itu akan disaring untuk dijadikan sebagai pupuk alami yang terbukti baik bagi tanaman.

Disampaikan Teguh, beberapa waktu lalu pihaknya juga telah melakukan panen untuk maggot tersebut. Maggot itu telah dikumpulkan dalam tempat tersendiri yang berukuran 2x6 meter dengan kedalaman 15 cm.

"Ya dari situ saja ada sekitar 3 kuintal maggot siap dipasarkan. Usia kurang lebih sebulan. Tinggal angkut saja bagi masyarakat yang mau membeli untuk pakan ternak," terangnya sambil mengaduk kumpulan maggot.

Teguh menambahkan hingga saat ini setidaknya peminat maggot ini sudah ada di berbagai daerah. Mulai dari Kudus, Purworejo yang digunakan untuk makan udang, Megalengan, Bantul. Bahkan sudah ada pemesan dari Sumedang tapi belum bisa terlayani karena satu dan lain hal.

Sementara itu inisiator terciptanya usaha budi daya maggot di Dusun Ketingan, Mardiharto (68), menuturkan saat ini 1 kilogram maggot hanya dibanderol dengan harga Rp. 6.000 saja. Memang diakui harga itu masih sangat terjangkau namun, ia yakin dalam beberapa waktu ke depan permintaan akan semakin banyak dan harga pun juga bakal terangkat lagi.

"Memang masih murah segitu, tapi saya yakin prospeknya ada dan bakal ada kenaikan harga ke depannya," kata Mardi.

Mardi sendiri memilih budi daya maggot atau belatung sebagai bisa atas respon hilangnya srbagain besar lahan produktif warga Dusun Ketingan. Menurutnya hal ini dapat digunakan untuk membantu memberdayakan warga sekitar yang terdampak pembangunan jalan tol dan pandemi Covid-19.

"Awalnya memang melihat dampak dari area persawahan di Ketingan yang ternyata kena hampir 90 persen. Itu otomatis membuat para peyani kehilangan mata pencahariannya, jadi saya coba tawarkan solusi lainnya," ucapnya.

Selain dampak hilangnya lahan pertanian akibat tol, pemberdayaan itu juga dilakukan atas respon banyaknya warga yang terdampak pandemi Covid-19. Salah satunya yang terpaksa harus terkena phk secara sepihak dari tempatnya bekerja.

"Lagipula semua proses dari budi daya maggot ini bisa mendatangkan uang. Ini sebagai upaya juga mengajak petani tradisional menjadi petani modern untuk merespon keterbatasan atau hilangnya lahan pertanian produktif tadi," pungkasnya.

Load More