Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 24 Desember 2020 | 07:30 WIB
Sihono (kanan) bersama istri, Kurul Basdo Sati (kiri), menunjukkan hasil kerajinan miliknya di rumah di Jalan Minggiran 42, Minggiran, Suryadiningratan, Mantrijeron, Yogyakarta, Rabu (23/12/2020). - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

SuaraJogja.id - Tangan keriput itu masih menggenggam kuat martil guna menancapkan miniatur Yesus yang terbuat dari kuningan ke salib kayu yang telah dibuat. Dengan presisi yang masih terjaga, miniatur itu bisa tertancap dengan rapi.

Paku-paku kecil yang digunakan tak pernah meleset atau salah sasaran ketika dipukul. Memang raga Sihono (66) tak sekuat saat masih muda lalu, tapi keterampilan dalam merakit salib-salib berbagai ukuran masih terjaga baik.

"Tangan ini sudah gemetar. Sekarang hanya produksi sedikit saja, semampunya, dengan bantuan karyawan juga," kata Sihono, yang merupakan perajin pernak-pernik peribadatan umat Nasrani, kepada SuaraJogja.id saat ditemui di rumahnya di Jalan Minggiran 42, Minggiran, Suryadiningratan, Mantrijeron, Yogyakarta, Rabu (23/12/2020).

Pria kelahiran Yogyakarta, 10 November 1954 ini mengaku sudah sejak muda menekuni kerajinan pernak-pernik peribadatan. Waktu itu usia Sihono masih 20 tahun. Ia belajar dengan sang ayah hingga akhirnya usaha kerajinan milik ayahnya diteruskan secara mandiri sebab ayahnya telah tiada.

Baca Juga: Dampak Covid-19, Omset Penjualan Pernak-Pernik Natal Turun

Hingga kini, Sihono masih rutin untuk membantu pembuatan atau produksi pernak-pernik peribadatan tersebut. Namun memang keterbatasan usia membuatnya harus makin mengurangi kuantitas produk yang dihasilkan pula.

Tidak sendiri, Sihono menjalankan usaha kerajinan ini bersama sang istri, Kurul Basdo Sati (61), yang setia mendampingi. Disebutkan bahwa usaha ini sudah berlangsung secara turun temurun dari ayahnya, yang merintis kurang lebih 60 tahun silam.

"Kami sebenarnya membuat seluruh perlengkapan alat gereja, tapi berhubung ada pandemi Covid-19, hanya hiasan dinding saja yang masih laku. Rosario umat juga agak menurun produksinya," ujarnya.

Setia Pramana (kiri), Kurul Basdo Sati (tengah), dan Sihono (kanan) menunjukkan hasil kerajinan miliknya di rumah di Jalan Minggiran 42, Minggiran, Suryadiningratan, Mantrijeron, Yogyakarta, Rabu (23/12/2020). - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

Diakui Sihono bahwa pandemi Covid-19 memang membuat usaha kerajinan miliknya mengalami penurunan yang cukup drastis. Bahkan saat awal masa pandemi Covid-19 masuk di Indonesia, produksinya terpaksa tutup selama dua bulan.

Penutupan itu lantaran ada rasa khawatir dan cemas ketika satu karyawannya yang tersisa harus datang ke rumah. Sebab, memang jarak rumah produksi Sihono dengan karyawan yang bersangkutan juga terlampau jauh.

Baca Juga: New York Bersolek Menyambut Natal

"Kalau waktu berhenti produksi itu karena kita takut. Karyawan ini rumahnya jauh, jadi ada kekhawatiran terpapar waktu itu kan masih gencar juga, tapi sekarang sudah jalan beberapa bulan produksi lagi," ucapnya.

Selain itu, pandemi Covid-19 juga berdampak pada pengurangan karyawan yang sebelumnya bekerja bersama. Dari total lima orang yang masih bisa bekerja bersama Sihono sebelum pandemi, kini hanya ada satu orang yang diminta untuk tetap membantu produksi kerajinan itu.

"Sebelumnya ada lima karyawan, setelah pandemi hanya ada satu saja. Sempat dua bulan berhenti, baru ada pesanan yang masuk lagi beberapa bulan ini, dan itu terus berlangsung sampai sekarang," sebutnya.

Sihono menjelaskan, memang saat ini produksinya telah kembali berjalan, tetapi sekarang sudah sangat menurun. Bahkan hanya beberapa produk saja yang memang dikerjakan langsung di rumahnya.

Jika dulu semua bisa dikerjakan sendiri, kini Sihono hanya mengerjakan beberapa produk  saja. Sisanya mulai dari produksi awal hingga sentuhan akhir kadang digarap oleh satu karyawannya yang datang ke rumah atau beberapa karyawan di rumahnya masing-masing.

Begitu juga dengan bahan baku kerjainan itu, dulu ia masih sanggup membeli kayu satu truk dalam setahun sekali, kini bahan baku menyesuaikan pesanan yang masuk.

"Pesanan kita untuk kerajinan memang jalan untuk produk seperti tempat lilin kayu, salib dinding, salib duduk, hingga pernak-pernik yang terbuat dari kuningan atau alumunium. Beberapa masih bisa kami ambilkan ke tempat yang memang sudah bekerja sama. Ada yang produksi gitu di rumah," terangnya.

Menjelang perayaan Natal tahun ini, diakui Sihono, memang tren pemesanan sudah naik. Namun, hal itu sudah terjadi terhitung sejak beberapa bulan lalu, atau tepatnya saat setelah produksi kembali berjalan seusai lockdown sementara.

Beberapa pesanan yang masuk itu sekarang tak ayal malah membuat pihaknya sedikit kewalahan. Keterbatasan jumlah orang yang melakulan produksi tidak sebanding dengan permintaan yang datang.

"Ada beberapa pesanan yang masuk terus, bahkan ada satu yang menghubungi terus, tapi belum sempat dilayani. Pesanan berapa pun sebenarnya kita terima, tapi memang sekarang kita yang sudah pelan-pelan karena terbatas tenaga itu tadi," tuturnya.

Suplai kerajinan dan pesanan kebanyakan masih didominasi dalam pulau dan lokal saja. Padahal sebelumnya, hasil kerajinan tersebut dapat disuplai ke toko peribadatan yang kemudian dijual kembali ke gereja-gereja di seluruh Indonesia.

Sulawesi, Kalimantan, hingga Sumatra menjadi tempat-tempat yang sering memesan kerajinan milik Sihono. Saat ini Jakarta dan sekitar Jogja yang masih cukup sering memesan. Bahkan dulu tak jarang produk kerajinan Sihono didistribusikan ke luar negeri, tetapi sekarang nihil.

"Toko perlengkapan gereja Dharma Karya di Klaten itu selalu kita suplai dari 40 tahun lalu hingga sekarang. Kalau di Ganjuran, susteran masih ada. Sementara toko-toko di sana juga masih banyak yang off," ucapnya.

Sementara itu, salah satu karyawan yang masih selalu datang ke rumah produksi di Kampung Minggiran, Setia Pramana (55), mengaku memang semenjak produksi kembali setelah berhenti selama dua bulan, pesanan yang dikerjakan olehnya mengalami peningkatan.

"Kalau diukur dari kemarin sempat memang ada peningkatan. Trennya udah naik," ucapnya.

Setia, yang merupakan warga Wonosari, Gunungkidul itu, setiap hari datang ke Minggiran untuk membantu Sihono dan Basrul memproduksi kerajinan itu. Pekerjaan tersebut dilakukannya sejak 1998 silam.

Terkait produksi di masa pandemi Covid-19, pihaknya mengerjakan semua sendiri. Artinya, beberapa produk ia kerjakan secara sendiri dari awal, tetapi kadang juga tetap dibantu dan diawasi oleh Sihono untuk sentuhan akhir.

"Saya berangkat dari rumah jam 08.00 WIB pagi, jam 15.00 WIB sore pulang. Sehari biasanya bisa mengerjakan 20 buah rosario gereja yang berukuran besar, kalau untuk salib dinding sendiri bisa 50-60 buah," tandasnya.

Istri Sihono, Kurul Basdo Sati, tidak memungkiri dampak pandemi Covid-19 yang masih berlangsung ini. Jika dibandingkan dengan pendapatan sebelum pandemi Covid-19, sekarang pendapatan dari hasil kerajinan ini terjun bebas.

"Ya kalau selama pandemi ini bisa untuk mencukupi kebutuhan harian saja. Kalau dibandingkan sebelum pandemi ya bisa untuk nyicil beli tanah atau kredit motor Mas. Sekarang ya hanya untuk harian dan jajan masnya [karyawan] saja," katanya sambil tertawa.

Kendati demikian, ibu tiga anak itu tetap bersyukur dengan kondisi saat ini. Sebab, usaha kerajinan yang ditekuni suaminya sejak lama tersebut nyatanya bisa mencukupi kebutuhan seluruh keluarganya hingga sekarang.

Ia berharap, pandemi Covid-19 ini segera berakhir, sehingga usaha kerajinannya bisa kembali berjalan secara normal. Namun untuk saat ini, ia dan suami berserta karyawannya akan berusaha semaksimal mungkin untuk tetap menjalankan usaha kerajinan ini.

Load More