Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 29 Desember 2020 | 08:06 WIB
Penutupan jalan menuju ke arah kawasan Malioboro oleh petugas terkait, Rabu (18/11/2020). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kembali menjadi isu hangat di tengah masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun tidak serta merta kebijakan akan lantas diberlakukan. Perlu persiapan yang matang agar semua berjalan efektif.

Epidemiolog Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM dr Riris Andono Ahmad menuturkan bahwa melihat situasi saat ini, PSBB memang diperlukan. Artinya, pengurangan mobilitas masyarakat dengan perhitungan-perhitungan yang benar akan berdampak pada penurunan jumlah kasus Covid-19 itu sendiri.

"Kalau secara epidemiologi, kita cukup menghentikan mobilitas masyarakat selama dua minggu saja. Periode itu sudah cukup bisa secara teoritis, menurunkan kasus dengan cukup signifikan," kata dr Riris kepada SuaraJogja.id, Senin (28/12/2020).

Dua minggu, kata dr Riris, didasarkan pada periode infeksius penyakit tersebut, yang terjadi sekitar semingguan. Jadi jika dalam dua kali periode infeksius itu diminimalisir, berarti kemungkinan sebagian besar kasus yang ada tidak punya kesempatan lagi.

Baca Juga: DKI Beri Sinyal Rem Darurat, Pengusaha Khawatir Terjadi Lagi Badai PHK

Dalam maksud, kesempatan untuk mencari orang lain yang masih bisa ditulari. Terkecuali di lingkungan rumah orang yang bersangkutan saja.

"Tapi kan penularan itu kalau terjadi ya bisa berhenti di rumah. Memang masih ada kasus tapi tidak akan sebanyak sekarang. Jadi ketika dibuka lagi itu penularannya bisa dikendalikan," jelasnya.

Dr Riris menilai PSBB memang perlu dilakukan secara terukur mulai dari berapa banyak orang yang harus berhenti mobilitasnya, hingga berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk berhenti tersebut. Semua itu bisa diperhitungkan dengan jumlah yang pasti, sehingga dapat direduksi banyaknya penularan di masyarakat.

Dicontohkan, sebagian masyarakat atau bisa dikatakan lebih di atas 70 persen masyarakat bisa berhenti melakukan mobilitas di luar rumah. Artinya selama dua minggu penuh, jumlah tadi sepenuhnya berkegiatan hanya di dalam rumah saja.

"Jadi bekerja dari rumah, belajar dari rumah, beribadah dari rumah. Intinya tidak ada kerumunan sama sekali. Langkah itu diprediksi akan bisa mereduksi penularan tersebut," ucapnya.

Baca Juga: Ketua Komisi V DPRD Banten: PSBB Tidak Efektif, Hanya Seremonial Belaka

Menyoroti hal tersebut, dr Riris meminta pemerintah bisa membuat kebijakan secara efektif. Dalam artian kebijakan yang memang membuat orang-orang tetap berada di rumah sepenuhnya dalam jangka waktu yang sudah ditentukan.

Hal yang lebih penting lainnya adalah mempersiapkan segala sesuatu terkait dampak dan segala macam perihal PSBB tersebut. Namun diucapkan dr Riris, berapa lama atau seberapa banyak persiapannya itu disesuaikan dengan kebutuhan.

"Memang tidak bisa secara mendadak kalau mau efektif, tetapi isunya semakin lama kita menunda, penularannya semakin meluas. Contohnya keramaian malam minggu kemarin di Malioboro. Jadi tantangannya adalah pemerintah bisa memastikan masyarakat itu bisa tinggal di rumah," tegasnya.

Menurut pemantauannya selama ini di Jogja sendiri membutuhkan ketegasan yang konsisten dari pemerintahnya. Dimulai dari pemimpin daerah masing-masing.

"Dulu awal pandemi waktu Ngarso Dalem bilang untuk masyarakat di rumah saja, ya masyarakat nurut dan patuh untuk di rumah saja. Tapi sekarang yang kebijakan agak membingungkan di satu sisi orang diimbau untuk tetap di rumah tapi masih memperbolehkan ada masyarakat lain datang ke Jogja. Itu kan membingungkan," terangnya.

Ia menilai ketegasan dari pemerintah masing-masing wilayah dalam mengatasi pandemi Covid-19 sangat diperlukan. Hal itu untuk memaksimlkan kondisi penanganan Covid-19 agar tidak semakin menyebar luas.

Load More