SuaraJogja.id - Selain persoalan sampah yang masih belum bisa ditemukan titik terang ada persoalan lain yang tak kalah penting yang perlu menjadi perhatian. Persoalan itu terkait dengan polusi udara yang terjadi di berbagai daerah termasuk Yogyakarta yang tidak jarang sudah mengkhawatirkan kesehatan masyarakat.
Peneliti Senior Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada (Pustral UGM), Arif Wismadi menyatakan kondisi itu disebabkan dengan pertumbuhan laju motorisasi yang pesat. Kendaraan bermotor atau transportasi darat terbukti menjadi penyumbang terbesar emisi di Jogja.
"Pertumbuhan motorisasi yang memang pesat tadi, termasuk dengan sumber bergerak atau bahkan transportasi darat terbukti sudah menyumbang lebih dari 60% dari total emisi di Jogja," kata Arif kepada awak media, Kamis (18/2/2021).
Hingga saat ini, disebutkan Arif, kendaraan bermotor masih paling mendominasi menjadi moda transportasi yang digunakan masyarakat. Sedangkan untuk kendaraan tidak bermotor dan pejalan kaki itu jumlahnya sangat kecil.
Arif berharap di masa mendatang proporsi itu nantinya bisa lebih berkurang atau terbalik. Artinya kendaraan tidak bermotor memiliki proporsi yang lebih tinggi didukung dengan angkutan umum.
Dibarengi dengan kendaraan bermotor atau milik pribadi yang proporsi atau jumlahnya jauh lebih menurun atau lebih rendah lagi dibanding sebelumnya.
"Kalau sudah dilakukan tidak hanya macet tapi juga polusi yang ditimbulkan bisa berkurang. Potensi Jogja bisa dilihat sebagai solusi bagi kendaraan tidak bermotor itu berkembang. Hal ini memungkinkan karena kalau berbicara luas kota Jogja yang terbilang kecil sehingga hanya memerlukan 10-20 menit untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain," tuturnya.
Arif menjelaskan terdapat setidaknya beberapa opsi kebijakan untuk mengatasi permasalahan polusi udara tersebut. Pertama yakni dengan mengurangi jumlah jarak perjalanan yang dilakukan oleh masyarakat.
Jika hal itu mungkin untuk dilakukan maka dapat menjadi kontribusi besar bagi persoalan polusi tadi. Terlebih dilihat dari pola pergerakan selama Covid-19 ini cenderung menjadi lebih pendek.
Baca Juga: Meski Lockdown, Kematian karena Polusi Udara di Dunia Tetap Tinggi
"Sebisa mungkin bisa mengurangi jumlah dan jarak perjalanan. Kalau memang terpaksa harus bepergian sebisa mungkin bisa beralih dengan transportasi yang ramah lingkungan," ucapnya.
Hal itu nantinya perlu didukung oleh hadirnya inovasi teknologi dan efisien kendaraan atau transportasi yang digunakan. Sehingga masyarakat akan lebih tertarik dan aware dengan perpindahan ke moda transportasi yang ramah lingkungan.
Demi mendukung terciptanya ekosistem transportasi yang ramah lingkungan, Pustral UGM berkolaborasi dengan gerakan bersama masyarakat yang dijuluki Jogja Lebih Bike. Saat ini, dikatakan Arif, dengan kolaborasi itu pihaknya tengah melaksanakan Studi Kelayakan Bersepeda (Bikeability Study).
"Tentunya gerakan Jogja Lebih Bike ini merupakan inisiatif yang sangat baik karena mendorong masyarakat melakukan perubahan pilihan moda transportasi yang minim emisi.” tuturnya.
Arif tidak menampik bahwa kepemilikan kendaraan bermotor itu adalah hak asasi setiap warga. Namun terkait penggunaannya, kata Arif pemerintah daerah bisa masuk di dalamnya.
Artinya pemerintah bisa mengatur atau memastikan penggunaan setiap kendaraan bermotor ataupun yang tidak bermotor sesuai dengan proporsinya. Jika hal itu sudah berjalan maka pemerintah bisa melanjutkan untuk menyusun program yang lebih baik lagi.
"Jadi memang bukan hanya pekerjaan dari gerakan masyarakat saja untuk menciptakan sebuah dampak yang besar bagi lingkungan. Namun juga butuh peran pemerintah yang bersama-sama mendorong gerakan itu," cetusnya.
Peneliti Litbang Kompas, Nurul Fatchiati, mengaku juga telah berkolaborasi untuk menyelenggarakan Survei Persepsi Publik tentang Polusi Udara bersama Jogja Lebih Bike.
Hasilnya, 500 responden di Jogja menunjukkan bahwa polusi udara ternyata termasuk dalam tiga isu terpenting bagi warga Jogja.
“Jadi selain penanganan Covid-19 dan kriminalitas ternyata warga Jogja menilai polusi udara menjadi salah satu yang penting. Selain itu 62,5% masyarakat yang tinggal di kota Jogja menilai kualitas udara di lingkungannya tidak baik. Namun diakui mereka tetap memiliki optimisme bahwa kondisi kualitas udara dapat membaik dalam beberapa tahun ke depan”, ungkap Nurul.
Dari data yang sudah dikumpulkan, menunjukkan dalam obilitas harian, sekitar 88% masyarakat Jogja masih sangat bergantung pada kendaraan bermotor, terutama sepeda motor. Jumlah itu jauh lebih banyak ketimbang warga yang memilih bersepeda atau hanya 2,6 persen saja.
Nurul menyambut baik inisiatif gerakan Jogja Lebih Bike yang hadir sebagai gerakan bersama masyarakat dalam menghidupkan kembali kegiatan bersepeda sebagai bagian dari aktivitas harian. Selain juga sebagai wujud kontribusi kolektif dalam menciptakan udara yang lebih bersih di Jogja.
Disampaikan Nurul, kerja sama berbagai mitra mulai dari akademisi, lembaga swadaya masyarakat, hingga komunitas pesepeda melalui Jogja Lebih Bike ini dibangun untuk menggugah lagi kesadaran publik tentang pentingnya kualitas udara yang baik. Seiring juga untuk mendorong partisipasi warga agar dengan kesadarannya menciptakan udara bersih melalui kegiatan sehari-harinya termasuk bersepeda.
Gerakan Jogja Lebih Bike juga tidak setengah-setengah dalam menciptakan kesadaran tentang lingkungan ini. Kerja sama dengan Nafas atau dikenal sebagai sebuah startup dengan jaringan sensor kualitas udara terbesar di Indonesia juga dilakukan.
Hal itu dilakukan guna menghadirkan data kualitas udara secara real-time bagi setiap warga di Jogja. Rencananya lima sensor kualitas udara telah dipasang di berbagai titik polusi di Jogja yaitu di Gondolayu (Tugu), Sayidan, Umbulharjo, Jembatan Janti serta di kampus UGM.
“Data kualitas udara yang dapat diakses secara mudah dan real-time saat ini masih terbatas. Padahal data kualitas udara menjadi penting untuk dijadikan acuan bagi masyarakat dalam beraktivitas, terutama bagi kelompok sensitif, misalnya anak-anak, orang lanjut usia dan orang dengan penyakit pernapasan,” ungkap Co-founder dan Chief Growth Officer Nafas, Piotr Jakubowski.
Berita Terkait
-
Meski Lockdown, Kematian karena Polusi Udara di Dunia Tetap Tinggi
-
Begini 5 Manfaat Rajin Bersepeda, Bisa Buang Stress Loh!
-
Jari Manis dan Kelingking Sakit Usai Bersepeda, Waspada Cyclists Palsy
-
Nahas! Bocah 10 Tahun Tewas Jadi Korban Tabrak Lari saat Bersepeda
-
Polusi Udara Dalam Ruangan Sama Buruknya dengan di Luar, Ini Bahayanya!
Terpopuler
- 45 Kode Redeem FF Terbaru 8 Agustus: Klaim Pain Tendo, Diamond, dan SG2
- Eks BIN: Ada Rapat Tertutup Bahas Proklamasi Negara Riau Merdeka
- Siapa Pembuat Film Animasi Merah Putih One For All yang Tuai Kontroversi?
- Saat Kibarkan One Piece Dianggap Ancaman, Warung Madura Ini Viral Jadi 'Musuh Dunia'
- 47 Kode Redeem FF Max Terbaru 8 Agustus: Dapatkan Skin Itachi dan Parafal
Pilihan
-
Jelang HUT RI! Emiten Tekstil RI Deklarasi Angkat Bendera Putih dengan Tutup Pabrik
-
Update Pemain Abroad: Nathan Tjoe-A-On Debut Pahit, Eliano Menang, Mees Hilgers Hilang
-
Pilih Nomor 21, Jay Idzes Ikuti Jejak Pemain Gagal Liverpool di Sassuolo
-
Christian Adinata Juara Thailand International Series 2025: Comeback Epik Sang Tunggal Putra
-
PSG Tendang Gianluigi Donnarumma, Manchester United Siap Tangkap
Terkini
-
Ngeri, Mortir Diduga Aktif Ditemukan di Sleman, Dievakuasi ke Lokasi Aman
-
HAN 2025 Bantul: Bukan Sekadar Perayaan, Ini Aksi Nyata Cegah Kekerasan pada Anak
-
Sukses di Pakualaman, Bisakah MAS JOS Jadi Solusi Sampah Kota Yogyakarta?
-
Konsesi Tambang Belum Terealisasi, LBH Muhammadiyah Tuntut Prabowo Lahirkan Kebijakan Kongkrit
-
Cinta Bola, Cinta OPPO! Meriahkan BRI Super League 2025 di OPPO Fan Zone