Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Rabu, 24 Maret 2021 | 15:43 WIB
Ilustrasi transgender. (Shutterstock)

SuaraJogja.id - Sebuah madrasah di Pakistan diketahui menampung para lesbian, gay, biseksual hingga transgender

Madrasah yang kepala sekolahnya seorang waria ini merupakan satu-satunya sekolah Islam transgender di kawasan tersebut.

Seperti dikutip dari Makassar.terkini.id melansir dari Aljazeera, sang kepala sekolah Rani Khan (34) mengatakan bahwa sekolah yang dipimpinnya itu memiliki sekitar 25 siswa yang merupakan waria, gay hingga lesbian.

Sekolah Islam yang terletak di pinggiran Islamabad tersebut memiliki siswa yang usianya rata-rata masih terbilang muda yakni sekitar 16-19 tahun.

Baca Juga: Kini Jadi Transgender, Elliot Page juga Berjuang dengan Disforia Gender

Rani menjelaskan bahwa siswanya mayoritas adalah korban bullying yang terlantar karena hidup sebagai tunawisma.

“Di Pakistan, transgender dikucilkan. Meskipun tak ada larangan resmi untuk belajar di madrasah atau sekolah agama Islam lainnya, atau salat di masjid, namun mereka tak diterima,” ujar Rani.

Ia pun mengaku kerap melihat para transgender remaja yang dikucilkan dan bertahan hidup di jalanan.

“Tak ada yang mau menerima mereka sehingga banyak yang memilih jalan salah,” tutur Rani.

Sebagian besar dari mereka, kata Rani, berusaha bertahan hidup dengan menggeluti dunia prostitusi atau mengemis dan menari.

Baca Juga: Viral Princes Hula Hula, Waria Bela Rizieq: Gue Banci, Bisa Bedakan Ulama

“Mereka mengadakan pesta-pesta, mereka mulai menari dan mengemis, dan melakukan perbuatan keliru lainnya,” ungkapnya.

Mengutip Hops.id, Rani sebagai seorang waria juga menceritakan betapa sulitnya dia untuk bertahan hidup di Pakistan.

Menurut Rani, kebanyakan waria maupun gay dan lesbian di Pakistan diusir oleh keluarga mereka dari rumah.

“Kebanyakan keluarga tidak menerima orang transgender. Mereka mengusir orang-orang transgender dari rumah,” kata Rani.

Hal itu pula yang dialami Rani dimana dirinya diusir keluarganya dari rumah pada usia 13 tahun dan terpaksa hidup mengemis.

Saat diusir itulah, Rani mendalami kembali agama Islam setelah bermimpi tentang seorang teman warianya yang sudah meninggal yang memintanya untuk melakukan sesuatu untuk komunitas mereka.

Rani pun akhirnya belajar membaca Alquran dan mendalami pendidikan agama Islam di sejumlah madrasah, sebelum membuka madrasah yang dipimpinnya tersebut.

“Saya menanggung semua biaya madrasah dari kantong saya sendiri. Ini merupakan uang yang saya peroleh ketika dulu saya biasa menari dan mengemis. Saya gunakan uang itu untuk menjalankan madrasah ini. Saya menghabiskan semua tabungan. Kami belum menerima dukungan keuangan dari pemerintah sejauh ini,” ujarnya.

Load More