Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Sabtu, 01 Mei 2021 | 17:50 WIB
Serikat buruh membagikan ratusan takjil di kawasan Malioboro, Sabtu (1/5/2021). - (Kontributor SuaraJogja.id/Putu)

SuaraJogja.id - Ratusan buruh di DIY menggelar peringatan May Day atau Hari Buruh di sepanjang kawasan Malioboro, Sabtu (1/5/2021). Namun bukan menggelar aksi unjuk rasa seperti tahun-tahun sebelumya, pada bulan Ramadan kali ini mereka justru membagikan ratusan takjil dan paket sembako kepada masyarakat, tukang becak dan andong, serta Pedagang Kaki Lima (PKL).

Pembagian takjil dimulai di kantor DPRD DIY di Malioboro sekitar pukul 15.30 WIB. Mereka juga membagikan ribuan masker di sepanjang kawasan tersebut.

"Untuk takjil, kami sediakan sekitar 300, kalau masker ada sekitar 1.000, dan sembako sebanyak 100 paket," ujar Koordinator Umum Forum Komunikasi Buruh Bersatu (FKBB) DIY Waljid Budi Lestarianto disela aksi.

Untuk menjaga protokol kesehatan (prokes), pembagian takjil dilakukan secara terbatas di timur dan barat jalan, sehingga meminimalisasi kerumunan di ruang publik.

Baca Juga: Adem, Buruh di Solo Terima Sembako Saat May Day

Menurut Waljid, mereka juga bekerja sama dengan PMI DIY menyemprotkan disinfektan di sepanjang Malioboro. Aksi diakhiri dengan saresehan bersama Ketua DPRD DIY di gedung wakil rakyat tersebut.

Dalam saresehan tersebut, mereka serikat buruh mengkritisi tentang Tunjangan Hari Raya (THR) Lebaran. Mereka menuntut THR bisa dibayarkan tepat waktu.

"Kami minta pembayaran THR tepat waktu dan tanpa dicicil," tandasnya.

Selain itu, serikat buruh juga menuntut pelaksanaan program vaksinasi yang menyasar para pekerja di sektor padat karya. Sebab mereka yang setiap hari bertemu banyak orang dan rentan terpapar Covid-19.

"Kami berharap vaksinasi ini bisa terfasilitasi segera. Kami minta pemerintah terus memberi perlindungan rakyat dalam menghadapi pandemi lewat bantuan sosial dan jaminan atas vaksinasi gratis," ungkapnya.

Baca Juga: Puluhan Mahasiswa Diamankan di Aksi May Day, Polisi: Nanti Kami Kembalikan

Yang tidak kalah penting, lanjut Waljid, adalah pencabutan UU Cipta Kerja beserta peraturan turunannya. Pemerintah harus memberikan hak dasar buruh, memberikan jaminan perlindungan atas hak bekerja serta penghapusan sistem outsourcing.

"Apalagi di DIY, pandemi merusak sektor perekonomian yang ditopang oleh sektor pariwisata dan pendidikan. Banyak buruh perhotelan dan tempat-tempat wisata yang diPHK dan dirumahkan," ungkapnya.

Serikat Pekerja Tuntut Revisi UMP DIY

Di hari yang sama, Serikat pekerja yang tergabung dalam Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY menggelar mimbar bebas di Tugu Pal Putih Yogyakarta dalam rangka peringatan May Day atau Hari Buruh.

Sejumlah tuntutan disampaikan para buruh. Salah satunya terkait problem laten ketenagakerjaan upah layak untuk pekerja DIY yang tidak kunjung terselesaikan. Meski ada kenaikan pada Upah Minimum Propinsi (UMP) 2021, tetapi DIY masih tercatat sebagai daerah dengan UMP terendah se-Indonesia selama kurun waktu 6 tahun terakhir sejak 2016 hingga 2021. Nominal upah tahun 2021, sebesar Rp1.765.608 disahkan dengan dasar SK Gubernur DIY No. 319/KEP/2020.

"Nominal yang ditetapkan gubernur tersebut sangat jauh dari nominal yang berdasar kebutuhan hidup layak pekerja/buruh, sebagaimana seharusnya menjadi dasar penetapan upah," ujar Ketua DPD Konfederasi Serikat Pekerja Selurh Indonesia (KSPSI) DIY Irysad Ade Irawan di sela aksi.

Menurut Irsyad, berdasar survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dilakukan MPBI DIY secara independen, UMP yang ditetapkan oleh Gubernur DIY sangat jauh dari angka riil KHL di lapangan. Berdasarkan temuan survei KHL yang dilakukan dengan petunjuk dan ketentuan yang diatur dalam Permenakertrans 13/2012, seharusnya UMP DIY sebesar Rp 3.109.012.

Dari angka tersebut dan berdasar UMP 2021, maka buruh/pekerja di DIY mengalami defisit kesejahteraan sebesar Rp1.343.944 per bulan, sedangkan dilihat dari sisi produktivitas, pekerja/buruh DIY patut diperhitungkan.

Padahal berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik DIY (BPS DIY) per September 2020, pekerja/buruh sektor industri menengah besar di DIY rata-rata menghasilkan nilai tambah Rp24 juta setiap pekerja/buruh dalam sebulan. Sedangkan upah yang diterimanya rata-rata Rp2 juta. Karenanya, para buruh menuntut revisi UMY DIY yang ditetapkan pemda.

"Artinya, terdapat 22 juta rupiah masuk ke kantong pengusaha. Hal ini patut dilihat sebagai faktor timpangnya sosial ekonomi dan jurang kemiskinan yang begitu curam di diy," tandasnya.

Tuntutan untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh di DIY tidak hanya berhenti pada pemberian upah layak. Pemerintah juga harus menciptakan progam kesejahteraan pekerja di luar upah. Di antaranya menciptakan koperasi pekerja di tingkatan perusahaan. Namun sejauh ini, belum ada kejelasan dari pemerintah untuk eksekusi program tersebut .

Kondisi pekerja pun makin diperparah dengan kebijakan baru, UU Cipta Kerja, yang hingga hari ini masih kontroversial dan ditolak oleh berbagai kalangan. Nasib ekerja dan buruh dikhawatirkan makin suram.

"Perbaikan itu tentu dengan politik kebijakan ketenagakerjaan yang lebih demokratis dan berkeberpihakan serta budaya lingkungan kerja yang demokratis dan layak bagi kemanusiaan," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More