SuaraJogja.id - Jumlah buruh dan pekerja informal di DIY mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hanya dalam kurun waktu lima tahun terakhir, jumlah buruh dan pekerjaan di DIY turun lebih dari 70 persen. Kondisi ini semakin parah selama pandemi dua tahun terakhir.
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY mencatat, jumlah buruh dan pekerja di DIY lima tahun lalu sektar 95 ribu anggota. Sedangkan saat ini tinggal 27.150 anggota.
"Dari verifikasi data secara riil, ada penurunan lebih dari 70 persen setelah pandemi ini," ujar pengurus KSPSI DIY, Waljid Budi disela pergantian kepengurusan di Hotel Abadi, Minggu (26/09/2021).
Menurut Waljid, bila kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) masih saja berlanjut, maka dikhawatirkan akan semakin banyak buruh dan pekerja yang dirumahkan. Apalagi meski PPKM sudah turun level, berbagai aturan atau regulasi yang memberatkan di sektor non essensial maupun essensial juga diberlakukan.
Sebut saja kebijakan kapasitas maksimal 50 persen pekerja boleh Work from Office (WfO) di sektor essensial dan baru 25 persen pekerja boleh WfO di sektor non essensial. Regulasi tersebut disebut tidak berpihak pada pekerja dan buruh di DIY.
"Kalau regulasi ini terus dijalan, bisa habis anggota [kspsi] kami. Pemerintah mestinya tidak hanya membuat undang-undang tanpa perlindungan pada pekerja dan buruh, khususnya di sektor padat karya," ujarnya.
Sementara Ketua KSPSI DIY, Ruswadi mengungkapkan selain Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), persoalan rendahnya Upah Minimum Propinsi (UMP) maupun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) buruh dan pekerja di DIY juga masih jadi masalah. Padahal sudah ada rekomendasi dari Dewan Pengupahan kepada Pemda DIY.
"Pengupahan di diy memang masih paling rendah [seindonesia]. Kita sebenarnya tidak muluk-muluk terlalu tinggi [untuk ada kenaikan]. Kita punya tetangga klaten dan magelang yang berbatasan langsung [dengan sleman]. Tapi umr klaten jauh lebih tinggi dari sleman. Harusnya [upah] kita bisa seimbang atau naik diatasnya, itu sudah baik. Ini yang kita perjuangkan," ungkapnya.
Ruswadi menambahkan, UMK 2022 untuk DIY mestinya bisa ditingkatkan. Ini penting karena pemerintah pusat belum tentu akan menaikkan upah minimum karena alasan pandemi COVID-19.
Baca Juga: Okupansi Hotel di DIY Mulai Meningkat sejak PPKM Level 3, Kegiatan MICE Paling Berpengaruh
"Kami tetap akan menyuarakan untuk kenaikan ump atau umk meski pusat tidak [naik]," ujarnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi
Berita Terkait
Terpopuler
- Timnas Indonesia: U-17 Dilatih Timur Kapadze, Nova Arianto Tukangi U-20, Bojan Hodak Pegang Senior?
- 5 Rekomendasi Bedak Two Way Cake untuk Kondangan, Tahan Lama Seharian
- 5 Rangkaian Skincare Murah untuk Ibu Rumah Tangga Atasi Flek Hitam, Mulai Rp8 Ribuan
- 5 Rekomendasi Sepatu Lari Selain Asics Nimbus untuk Daily Trainer yang Empuk
- 5 Powder Foundation Paling Bagus untuk Pekerja, Tak Perlu Bolak-balik Touch Up
Pilihan
-
OJK Lapor Bunga Kredit Perbankan Sudah Turun, Cek Rinciannya
-
Profil PT Abadi Lestari Indonesia (RLCO): Saham IPO, Keuangan, dan Prospek Bisnis
-
Profil Hans Patuwo, CEO Baru GOTO Pengganti Patrick Walujo
-
Potret Victor Hartono Bos Como 1907 Bawa 52 Orang ke Italia Nonton Juventus
-
10 City Car Bekas untuk Mengatasi Selap-Selip di Kemacetan bagi Pengguna Berbudget Rp70 Juta
Terkini
-
Padi Reborn Hidupkan Perayaan 10 Tahun DRW Skincare: Malam Glamor Bersama 2.500 Beauty Consultant
-
Terinspirasi Pendidikan Victoria, Sekolah di Kulon Progo Disambangi Gubernur Margaret Gardner
-
BRI Perkuat Diversifikasi Bisnis lewat Second Engines of Growth untuk Dorong Pertumbuhan
-
BJLB1 Jadi Tonggak Penting Pengembangan Investasi Syariah di Pasar Modal Nasional
-
Dari Luka Jadi Cahaya: Resep Hati 'Glowing' ala DRW Skincare dan Ustaz Hilman Fauzi