Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Senin, 27 September 2021 | 07:16 WIB
Pengurus KSPSI DIY, Ruswadi dan Waljid Budi disela pergantian kepengurusan di Hotel Abadi, Minggu (26/09/2021).

SuaraJogja.id - Jumlah buruh dan pekerja informal di DIY mengalami penurunan yang cukup signifikan. Hanya dalam kurun waktu lima tahun terakhir, jumlah buruh dan pekerjaan di DIY turun lebih dari 70 persen. Kondisi ini semakin parah selama pandemi dua tahun terakhir.

Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY mencatat, jumlah buruh dan pekerja di DIY lima tahun lalu sektar 95 ribu anggota. Sedangkan saat ini tinggal 27.150 anggota.

"Dari verifikasi data secara riil, ada penurunan lebih dari 70 persen setelah pandemi ini," ujar pengurus KSPSI DIY, Waljid Budi disela pergantian kepengurusan di Hotel Abadi, Minggu (26/09/2021).

Menurut Waljid, bila kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) masih saja berlanjut, maka dikhawatirkan akan semakin banyak buruh dan pekerja yang dirumahkan. Apalagi meski PPKM sudah turun level, berbagai aturan atau regulasi yang memberatkan di sektor non essensial maupun essensial juga diberlakukan.

Baca Juga: Okupansi Hotel di DIY Mulai Meningkat sejak PPKM Level 3, Kegiatan MICE Paling Berpengaruh

Sebut saja kebijakan kapasitas maksimal 50 persen pekerja boleh Work from Office (WfO) di sektor essensial dan baru 25 persen pekerja boleh WfO di sektor non essensial. Regulasi tersebut disebut tidak berpihak pada pekerja dan buruh di DIY.

"Kalau regulasi ini terus dijalan, bisa habis anggota [kspsi] kami. Pemerintah mestinya tidak hanya membuat undang-undang tanpa perlindungan pada pekerja dan buruh, khususnya di sektor padat karya," ujarnya.

Sementara Ketua KSPSI DIY, Ruswadi mengungkapkan selain Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), persoalan rendahnya Upah Minimum Propinsi (UMP) maupun Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) buruh dan pekerja di DIY juga masih jadi masalah. Padahal sudah ada rekomendasi dari Dewan Pengupahan kepada Pemda DIY.

"Pengupahan di diy memang masih paling rendah [seindonesia]. Kita sebenarnya tidak muluk-muluk terlalu tinggi [untuk ada kenaikan]. Kita punya tetangga klaten dan magelang yang berbatasan langsung [dengan sleman]. Tapi umr klaten jauh lebih tinggi dari sleman. Harusnya [upah] kita bisa seimbang atau naik diatasnya, itu sudah baik. Ini yang kita perjuangkan," ungkapnya.

Ruswadi menambahkan, UMK 2022 untuk DIY mestinya bisa ditingkatkan. Ini penting karena pemerintah pusat belum tentu akan menaikkan upah minimum karena alasan pandemi COVID-19.

Baca Juga: Sasar Anak Usia Sekolah, Serbuan Vaksinasi TNI AU di DIY Dukung Belajar Tatap Muka

"Kami tetap akan menyuarakan untuk kenaikan ump atau umk meski pusat tidak [naik]," ujarnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More