Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Jum'at, 08 Oktober 2021 | 13:31 WIB
Penjual makanan melintas di dekat dinding bermural di kawasan Tempurejo, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (7/9/2021). ANTARA FOTO/Didik Suhartono

SuaraJogja.id - Dosen Sosiologi Fisipol Universitas Gadjah Mada Wahyu Kustiningsih mengatakan, perempuan lebih rentan terkena godaan jerat pinjaman online atau pinjol, khususnya di masa pandemi Covid-19.

Menurut Wahyu, di masa normal perempuan merupakan kaum rentan, masa pandemi semakin menambah beban perempuan, secara ekonomi.

"Saat pandemi tidak sedikit perempuan, terutama ibu rumah tangga harus menerima kenyataan suaminya yang bekerja di sektor informal menurun pendapatannya. Sementara itu kebutuhan hidup terus meningkat," kata dia, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (8/10/2021).

Wahyu menuturkan, selain mengurus domestik, perempuan juga mendamping anak sekolah dari rumah.

Baca Juga: Viral Tren Red Flags In My Room, Perempuan Ini Pamer 'Jendela Neraka'

"Belum lagi kalau [perempuan] yang juga bekerja," terangnya.

Kondisi tersebut menjawab mengapa mayoritas perempuan, terutama di perdesaan menjadi korban pinjol.

Mereka mau tidak mau mengambil jalan pintas melalui pinjol yang memberikan pinjaman dengan persyaratan dan ketentuan yang mudah dan cepat proses pencairan dananya. Tentu berbeda dengan mengambil pinjaman di bank dengan persyaratan dan proses pengajuan yang tergolong rumit dan memakan waktu panjang.

“Dalam kondisi keterdesakan ekonomi, masyarakat memilih jalan pintas untuk menyambung hidup,” katanya.

Wahyu mengatakan saat sudah terjerat pinjol, biasanya perempuan tidak lepas dari adanya pelabelan atau stigma dari masyarakat.

Baca Juga: Ngakak! Pengantin Perempuan Ini Masih Terima Paket di Tengah Pesta Pernikahan

Beberapa stigma yang kerap muncul antara lain dianggap tidak mampu mengelola keuangan dengan baik, dianggap konsumtif, tukang utang dan lainnya.

"Stigmatisasi yang muncul tersebut menjadikan perempuan korban pinjol tertekan hingga bunuh diri karena tidak kuat menahan malu," ucapnya.

Wahyu menjelaskan, perempuan memang rentan menjadi korban tindak kriminalitas, apalagi di era teknologi saat ini. Sebab hingga saat ini masih ada gap penguasaan teknologi diantara laki-laki dan perempuan.

Seperti diketahui, pandemi Covid-19 mengubah seluruh aspek kehidupan dari aktivitas luring menjadi daring. Paparan terhadap pinjol di masyarakat menjadi semakin besar. Namun, kondisi ini belum diikuti dengan literasi dan edukasi yang baik, perihal bagaimana menggunakan teknologi secara bijak.

Untuk itu, literasi digital penting dilakukan untuk menekan risiko pinjol. Edukasi terkait dampak pinjol perlu diperkuat untuk menekan risiko munculnya korban-korban pinjol lainnya.

"Fenomena ini akan terus terjadi sehingga menjadi PR untuk bisa mendampingi masyarakat,” jelasnya.

Dalam keterangannya itu, Wahyu juga menilai, adanya warga yang terjerat pinjol menunjukan sistem sosial (supporting system) di masyarakat tidak bekerja.

"Korban merasa sendiri dan buntu di tengah desakan ekonomi namun masyarakat tidak memberikan dukungan," ungkapnya.

Oleh sebab itu Wahyu menekankan perlunya memperkuat sistem sosial di lingkungan masyarakat.

Saat ada salah satu warga yang terjerat pinjol, diharapkan tetangga dapat memberikan dukungan atau bantuan dalam mencari solusi.

Masyarakat bisa menginisasi gerakan bersama menghadapi krisis saat pandemi, termasuk persoalan ekonomi seperti pinjol.

"Semisal dengan membangun kelompok-kelompok usaha kecil. Kalau ini tidak dilakukan akan banyak yang tertekan sehingga solidaritas sosial penting,” lanjut dia lebih mendalam.

Langkah lain yang harus diambil, pemerintah perlu meningkatkan pengawasan pinjol. Sebab mayoritas pinjol saat ini bersifat ilegal atau tidak terdaftar dan berizin Otoritas Jasa Keuangan.

Selain itu, penegak hukum diharapkan mampu merespon dengan cepat dan berinisiatif melindungi masyarakat korban jeratan pinjol.

“Masyarakat diharapkan juga bisa melakukan pengawasan, karena kekuatan terbesar di masyarakat melakukan pengawasan untuk melaporkan yang terjadi di lingkungannya,” ucapnya.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More