Penahanan di Polsek Bener hingga di Polres Purworejo yang dialami Yayak bukan kali pertama yang dirasakan seniman lulusan Seni Rupa ITB ini. Sebelumnya, pada 2004 Yayak sempat diamankan di Polres Menteng, yang pada Orde Baru (Orba) jamak diketahui hanya tinggal nama, siapa saja yang berurusan dengan aparat di sana.
Berurusan dengan aparat sudah biasa dan bukan menjadi persoalan baginya. Namun, ia lebih menyoroti konflik yang terjadi di Wadas sendiri. Yayak menyoroti, tidak harus Wadas yang dijadikan lokasi penambangan di mana IPL itu ditandatangani oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jateng.
"Persoalannya, ada alternatif lokasi bahkan kapasitas yang lebih besar tanpa memunculkan konflik sosial dan kultural, tapi kenapa dipaksa di Wadas, dengan alasan efisiensi Proyek Strategis Nasional (PSN)?," katanya.
Yayak menganggap PSN tak ada kaitannya dengan efisiensi, sehingga pemilihan lokasi lain harus menjadi pertimbangan pemerintah tanpa harus menimbulkan konflik seperti di Wadas. Bahkan jika ini dipaksakan, Gubernur Jateng dianggap merusak lingkungan dan tidak peduli dengan keberlangsungan hidup manusia di wilayah itu.
"Ini hanya tidak hanya genosida, tapi ekosida yang membantai dan merusak seluruh alam raya di Wadas. Itu hutan lo, ijo royo-royo, subur, ada sekian vegetasi buah. Anak-anak tahu dan menggambar buah yang mereka lihat di sana saat kami lakukan pendampingan," terang dia.
Pria yang sempat berlabuh ke Jerman selama 13 tahun ini tergabung dalam kelompok seni Taring Padi. Fokusnya saat ini memberi pendampingan ke anak-anak Wadas pascakericuhan 23 April 2021 lalu.
Bukan tanpa alasan, Yayak melihat satu anak usia 3 tahun yang kala itu digendong oleh ibunya dalam menghalangi aparat yang merangsek masuk ke Wadas. Ibu anak tersebut diseret, dibanting, dan dipukuli, sementara sang anak menyaksikan langsung peristiwa yang dialami orang tuanya.
"Imbas dari peristiwa tersebut, anak itu bereaksi ketika melihat polisi. 'Bunuh polisi! Bunuh polisi!' Kalau ada polisi lewat, dia bertanya, 'Hei polisi, kau yang menangkap ibuku?!' Coba, anak umur 3 tahun sudah melakukan seperti itu di tengah usianya yang baru bisa berbicara," ujar Yayak, miris.
Yayak terketuk untuk melakukan pendampingan trauma healing kepada anak-anak lewat jalan seni, termasuk membangun kecerdasan anak-anak yang telanjur menyaksikan kericuhan di desa tempatnya lahir.
Baca Juga: Klarifikasi Warga Wadas Bawa Senjata Tajam, LBH Yogyakarta: Itu Peralatan Kerajinan dan Bertani
Ia juga melakukan perlawanan budaya dengan membuat mural terkait Wadas yang disorot publik saat kericuhan hingga gugatan warga Wadas ke Gubernur Ganjar.
Berita Terkait
Terpopuler
- Advokat Hotma Sitompul Meninggal Dunia di RSCM
- Hotma Sitompul Wafat, Pengakuan Bams eks Samsons soal Skandal Ayah Sambung dan Mantan Istri Disorot
- 10 HP Midrange Terkencang Versi AnTuTu Maret 2025: Xiaomi Nomor 1, Dimensity Unggul
- 6 Rekomendasi Parfum Indomaret Wangi Mewah Harga Murah
- Pemutihan Pajak Kendaraan Jatim 2025 Kapan Dibuka? Jangan sampai Ketinggalan, Cek Jadwalnya!
Pilihan
-
Hasil BRI Liga 1: Comeback Sempurna, Persib Bandung Diambang Juara
-
RESMI! Stadion Bertuah Timnas Indonesia Ini Jadi Venue Piala AFF U-23 2025
-
Jenazah Anak Kami Tak Bisa Pulang: Jerit Keluarga Ikhwan Warga Bekasi yang Tewas di Kamboja
-
6 Rekomendasi HP Murah dengan NFC Terbaik April 2025, Praktis dan Multifungsi
-
LAGA SERU! Link Live Streaming Manchester United vs Lyon dan Prediksi Susunan Pemain
Terkini
-
Kisah Udin Si Tukang Cukur di Bawah Beringin Alun-Alun Utara: Rezeki Tak Pernah Salah Alamat
-
Dari Batu Akik hingga Go Internasional: Kisah UMKM Perempuan Ini Dibantu BRI
-
Pertegas Gerakan Merdeka Sampah, Pemkot Jogja Bakal Siapkan Satu Gerobak Tiap RW
-
Lagi-lagi Lurah di Sleman Tersandung Kasus Mafia Tanah, Sri Sultan HB X Sebut Tak Pernah Beri Izin
-
Rendang Hajatan Jadi Petaka di Klaten, Ahli Pangan UGM Bongkar Masalah Utama di Dapur Selamatan