Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Rabu, 23 Februari 2022 | 15:41 WIB
Mbah Tumi asal Gunungkidul sedang membuat minyak goreng buatan sendiri berasal dari olahan blondo yang diproses dari buah kelapa. [Kontributor / Julianto]

SuaraJogja.id - Minyak goreng kemasan menjadi barang yang paling diburu oleh ibu rumah tangga terutama di Kabupaten Gunungkidul. Mereka rela menempuh puluhan kilometer untuk antri membeli minyak goreng. Meski terkadang tidak kebagian, namun mereka tetap saja berjuang mengantre.

Polemik mahal dan langkanya minyak goreng di masyarakat, ternyata tak berlaku bagi Mbah Tumi(70), warga Padukuhan Gedangsari, Kalurahan Baleharjo. Kapanewon Wonosari, Gunungkidul. Sosok perempuan ini tak merasakan mahalnya minyak goreng.

Wanita ini sehari hari mampu memproduksi minyak goreng tradisional sendiri. Memanfaatkan bahan buah kelapa yang melimpah di sekitarnya, wanita ini memproduksi minyak goreng kelapa atau yang sering disebut minyak 'Klentik'.

Ya, Nenek berkacamata ini sudah setengah abad lebih bertahan menekuni  pekerjaan yang saat ini sulit ditemukan lagi di Gunungkidul. Mungkin di Gunungkidul, dia wanita satu-satunya yang menjadikan membuat minyak Klentik menjadi sebuah profesi.

Baca Juga: Duh, Oknum Lurah di Gunungkidul Kirim Video Porno ke Adik Kelasnya yang Baru Saja Urus Perceraian

Ruangan dapur sederhana Mbah Tumi sebetulnya cukup luas, namun karena bahan bakar yang dia gunakan untuk mengolah minyak Klentik ini dari kayu, maka asap dan udara di dalam ruangan menjadi panas. Tungku kayu memang terus menyala sehingga asap terus membumbung.

Saat masuk ke ruangan dapur, terlihat tangan renta mbah Tumi tampak sibuk  mengaduk dan mengolah adonan 'blondo' yang kemudian disaring menjadi minyak klentik. Selain minyak, Blondo memang menjadi makanan yang cukup enak untuk disantap. Biasanya disajikan bersama dengan gudeg, makanan khas Yogyakarta.

"Minyak kelapa asli itu jika untuk memasak rasanya lebih gurih, dan awet tidak gampang berubah rasa," lanjutnya sambil tetap sibuk mengaduk santan.

Sesekali dia tampak membetulkan kayu bakar agar api kembali menyala. Peluh bercucuran dengan sigap ia usap dengan kain yang selalu menempel di badannya. Dia sendiri tak pernah mengeluh dengan pekerjaan berat yang harus ia lakoni tersebut.

Di usianya yang tak lagi muda, Mbah Tumi setiap hari harus bangun pukul 03.00 dini hari untuk membawa hasil olahan minyak goreng ke pasar Argosari, Wonosari. Pulang dari pasar, setelah beristirahat sejenak, Mbah Tumi segera memulai rutinitasnya untuk memproses butiran demi butiran kelapa menjadi minyak goreng dan produk lainnya yaitu 'blondo'.

Baca Juga: Teror Ekshibisionis Incar Perempuan di Gading 8 Gunungkidul, Terjadi sejak 2005

"Sebelum menikah dulu, saya ikut sama mbakyu(kakak), setelah mbakyu saya berhenti, usaha ini saya teruskan sama suami" ujar mbah Tumi dengan logat Jawa, saat ditemui dirumahnya Rabu (23/2/2022).

Setiap hari, rata rata mbah Tumi memasak 50 butir kelapa. Satu butir kelapa ia membeli dengan harga 5 ribu sampai 6 ribu, tergantung ukuran besarnya.  Dari 50 butir itu, setelah diproses akan menghasilkan sekitar 3 liter minyak goreng. 

Mbah Tumi kemudian bercerita, bagaimana proses membuat minyak goreng 'klentik' berbahan kelapa. Sebelum menjadi adonan 'blondo', yang akhirnya disaring menjadi minyak klentik, proses pertama yakni kelapa diparut, kemudian diambil santannya dan santan inilah yang dimasak, diaduk terus menerus hingga akhirnya menjadi 'blondo'.

"Blondo ini kemudian ditiriskan dengan saringan, untuk kemudian diambil minyaknya," imbuhnya.

Air kelapa, cerita mbah Tumi ikut digunakan dalam proses memasak, menurutnya dengan air kelapa ini, hasil minyak goreng akan lebih bagus dan 'blondo' yang dihasilkan rasanya jadi lebih gurih.

"Dulu, sebelum punya mesin parut kelapa, suami saya yang memarut kelapa dengan tangan, suami saya sekarang sudah meninggal, saat ini saya dibantu anak saya yang terakhir," ujarnya lagi, sambil tetap sibuk menyaring 'blondo'

Mbah Tumi menjual minyak goreng ini dalam kemasan botol bekas air mineral berukuran 600 mili liter. Satu botol ukuran 600 mililiter ini ia jual dengan harga Rp 50 ribu. Namun sebelum harga-harga naik, ia hanya menjual Rp 40 ribu.

"kalau yang botol besar 125 ribu, sekarang ini apa apa mahal," lanjut mbah Tumi.

Untuk 'blondo'nya sendiri ia jual per kilo 90 ribu. Rasanya yang enak dan gurih karena langsung bisa dibuat lauk, atau sering dipakai untuk campuran masakan gudeg maka Blondo tersebut selalu ludes terjual bahkan sering dipesan orang.

Biasanya, menurut mbah Tumi minyak goreng 'klentik' ini dibeli para pedagang makanan, terutama pedagang bakmi dan pemilik rumah makan. Klentik ini digunakan khusus untuk menggoreng bumbu bumbu dengan cara di 'gongso', agar rasa bumbu tidak berubah dan akan semakin kuat aromanya.

Kalau orang dulu, lanjutnya minyak 'klentik' ini juga sering digunakan sebagai minyak rambut. Hasil olahan kelapa secara tradisional ini memang dikenal menghasilkan minyak goreng yang murni, jernih dan tidak mudah berbau atau berubah.

"Langganan saya terus bertambah, tak hanya warga Gunungkidul bahkan dari daerah Klaten, katanya minyak klentik ini ada khasiat untuk kesehatan tubuh, dan saat ini mencari yang membuatnya sudah sangat jarang," imbuh mbah Tumi.

Saat ditanya soal penghasilan setiap hari, Mbah Tumi menyatakan kadang tidak menentu,  tapi rata rata dia menyebut Rp.50 sampai Rp 75 ribu dia dapat setiap pulang dari pasar. Uang itu kemudian dia gunakan untuk membeli kebutuhan sehari hari, baik sayur, beras ataupun yang lainnya.

Perempuan berputra tiga ini, mengaku, sejak dia dan suami memulai usaha mandiri pembuatan minyak Klentik sekitar tahun 1970, ia belum pernah mendapat bantuan apapun dari pemerintah, baik modal ataupun alat produksi.

Kontributor : Julianto

Load More