Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Rabu, 13 April 2022 | 10:02 WIB
Din Syamsuddin mengisi ceramah tarawih di Masjid Kampus UGM. [Rahmat Jiwandono / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Mantan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah periode 2005-2015 Profesor KH Muhammad Din Syamsuddin jadi penceramah tarawih di Masjid Kampus UGM pada Selasa (12/4/2022). Tema ceramah yang disampaikan yaitu Mengembangkan Toleransi Membangun Indonesia Maju.

Dalam ceramahnya, Din menyebut bahwa negara Indonesia adalah negara yang majemuk baik dari agama, suku, ras, hingga golongan. Kemajemukan ini bak pisau bermata dua apabila tidak dikelola dengan baik.

"Kemajemukan yang dimiliki Indonesia bisa menjadi peluang tapi sekaligus bisa menjadi ancaman yang membawa perpecahan," ucapnya.

Kemajemukan bisa menjadi perpecahan, sambungnya, kalau muncul sektarianisme. Ini akan menjadi faktor kelemahan yang bisa berujung pada perpecahan bangsa.

Baca Juga: Beri Ceramah Tarawih Secara Daring di Masjid Kampus UGM, Yahya Cholil Staquf Ajak Muslim Tinggalkan Konflik Identitas

"Kalau muncul sebuah sektarianisme bisa berujung pada perpecahan di tengah masyarakat," katanya.

Untuk itu, kemajemukan harus dirawat dan dikelola sebaik mungkin agar jadi kekuatan untuk memajukan bangsa.

"Modal sosial bangsa untuk bisa terus eksis dan merajut kemajemukan yang ada ini. Susah diamalkan tapi mudah dikatakan," ungkap dia.

Ia menyatakan kemajemukan tersebut selama ini hanya selalu diungkapkan dalam slogan pancasila dan kebhinnekaan. Menurutnya, ungkapan seperti itu adalah sebuah ekspresi yang bersifat eksklusif.

"Oleh karena itu tidak bisa diklaim sepihak (yang mengaku paling Pancasila) tapi harus dihayati betul oleh individu, umat beragama, kelompok kesukuan, organisasi kemasyarakatan, dan pemerintah," terangnya.

Baca Juga: Isi Ceramah Tarawih di Masjid Kampus UGM, Mantan Rektor UNY Sebut Imtaq dan Iptek Harus Seimbang di Era Modern

Dia menekankan, yang paling bertanggung jawab tentang kemajemukan ialah pemerintah. Alasannya karena pemerintah mendapat mandat dari rakyat.

"Maka isi sila keempat maknanya sangat dalam tapi ini justru yang diabaikan," katanya.

Sila keempat, ujarnya, padat isi perihal Keislaman di mana terdapat kata rakyat. Dijelaskannya bahwa rakyat merupakan serapan dari Bahasa Arab yakni ro'iyah yang berarti kepemimpinan.

"Maka rakyat hakekatnya pemimpin tertinggi daripada penguasa, maka harus ada keseimbangan. Hubungannya paling tidak ada dimensi cinta, penguasa harus mencintai rakyatnya, tanggung jawab, dan
tidak boleh menelantarkan rakyatnya. Itulah dimensi relasi rakyat dan penguasa," paparnya.

Dengan begitu, pemerintah harus berada di atas semua golongan serta jadi pemersatu dalam keragaman.

"Sekali saja (pemerintah) berpihak kepada kelompok tertentu, di situlah akan terjadi ketidakseimbangan," ujarnya.

Load More