SuaraJogja.id - Sambil menggendong tas kecilnya, anak lima tahun itu berjalan menyusuri lorong gerobak pakaian di jalur pedestrian Malioboro. Hanya seorang diri, perempuan cilik ini mendekat ke salah satu gerobak baju yang terletak di sekitar kawasan pedestrian.
Seorang ibu-ibu muda yang sedari pagi berjaga di sekitar gerobak menyuruh si anak duduk. Setelah itu, satu bungkus nasi sayur diberikannya untuk disantap sebagai makan siang anak itu.
Sambil bercerita dengan sang ibu bagaimana aktivitas di sekolahnya, anak kecil ini juga bersenda gurau hingga akhirnya satu bungkus nasi sayur itu habis dilahapnya.
Selang 15 menit rasa kantuknya tak tertahankan, kipas karton yang digoyangkan si ibu perlahan membuat dirinya tertidur di bawah gerobak yang telah dilapisi tikar dan satu bantal.
Berhasil menidurkan anak, sang ibu berdiri dan kembali menjajakan batik serta sandal jepit khas Jogja kepada pembeli yang melintas.
Momen itu merupakan satu dari sekian memori yang tersimpan dari seorang Pedagang Kaki Lima (PKL) bernama Supriyati. Wanita 32 tahun ini mengingat betul masa-masa dirinya ikut berjualan di sepanjang Malioboro bersama orang tuanya dulu.
"Dari kecil itu Malioboro sudah seperti rumah, ya sama orang tua diajak ke lapak setelah pulang sekolah. Itu terus berulang hingga besar," terang Supriyati, ditemui SuaraJogja.id di Teras Malioboro 2, Jumat (11/3/2022).
Kenangan itu satu dari sekian cerita yang dia rekam setelah Pemda DIY merelokasi ribuan PKL dari jalur pedestrian Malioboro ke lokasi baru, Teras Malioboro. Banyak hal yang hilang dan berubah di masa sekarang, yang dirasakan wanita yang akrab disapa Upi ini.
Baca Juga: Dua Pekan Berjualan di Teras Malioboro 1 Selama Ramadhan, Yanti Baru Kantongi Rp180 Ribu
Berjualan di Malioboro, tepatnya pada tahun 1966, dari cerita orang tuanya, tak semudah yang dibayangkan. Sejak awal, berjualan di Malioboro sudah dilarang. Bahkan, tak jarang ayah Upi harus berpindah-pindah lokasi.
Ketika mulai ada "garukan" oleh petugas keamanan, tikar serta barang-barang pedagang diamankan ke dalam toko-toko yang ada di belakang tempat jualan PKL.
"Jadi dibantuin oleh pemilik toko, supaya tidak digaruk, akhirnya [barang jualan] dimasukkan ke dalamnya. Kalau dulu jualan di sana masih pakai tikar," ujar Upi, yang mulai 2005 mengambil alih lapak milik ayah-ibunya.
Kondisi itu berjalan hampir dua tahun lamanya. Pedagang yang jumlahnya masih sedikit kerap kucing-kucingan dengan petugas keamanan. Seiring berjalannya waktu, petugas tak bisa membendung aktivitas pedagang di sana, dan akhirnya bermunculan pedagang lain, berkembang pesat.
Bukan solusi jika petugas hanya menggaruk para PKL. Pemerintah pun mengubah dengan cara menata dan merapikan jalur pedestrian Malioboro hingga akhirnya disepakati bagi PKL untuk menggunakan gerobak. Sekitar tahun 1980, setiap pedagang bergabung ke salah satu paguyuban, sehingga berjualan di Malioboro diperbolehkan.
Seperti cerita Upi, pedagang lainnya yang berjualan dengan angkringan di sisi utara Kantor DPRD DIY, Yati Dimanto, mengatakan, perjuangan untuk bisa nyaman berjualan di kawasan pedestrian Malioboro butuh waktu lama.
Awalnya, Yati bersama suami berjualan di bahu-bahu Jalan Malioboro. Ia tak menampik bahwa hal itu sangat berbahaya karena dapat melukai pedagang.
"Lalu ada penataan agar kami berpindah, tapi saat itu petugas tidak memberikan solusi. Lha terus nasib kami bagaimana? Akhirnya ada penolakan dari pedagang dan didengar oleh wali kota Yogyakarta waktu itu, Herry Zudianto," kata Yati, ditemui di lapak miliknya yang berada di Teras Malioboro 1, Jumat (4/3/2022).
Sang wali kota saat itu memanggil para pedagang yang menolak dipindah. Yati mengisahkan, Herry Zudianto memberikan kontrol penuh agar pedagang masih bisa berjualan, tetapi dengan catatan--jangan memilih lokasi di Jalan Malioboro lagi.
Rembug antarpedagang bersama Pemkot Yogyakarta kala itu menemukan kesepakatan. Pedagang kuliner, termasuk Yati, ditempatkan di utara Kantor DPRD DIY sisi timur.
Meski sudah disepakati, masih saja ditemui kendala. Perangkat kelurahan tak setuju. Pasalnya, ketika ingin berjualan harus ada izin. Yati bersama rombongan pedagang melakukan audiensi dengan pihak kelurahan, termasuk RT dan RW, dan juga Wali Kota Yogyakarta.
Perundingan alot tersebut akhirnya menghasilkan kesepakatan baru. Pihak kelurahan memberikan izin berjualan, dan pedagang berkomitmen menjaga lingkungan jualannya.
Usai tarik ulur aturan dan aktivitas berjualan, Yati serta para pedagang lainnya dapat berjualan cukup nyaman. Warga Kelurahan Dagen, Kemantren Gedongtengen ini berjualan di lokasi yang cukup strategis, selalu menarik para wisatawan untuk membeli pakaian atau aksesoris di sepanjang Malioboro.
Peningkatan pendapatan pedagang di Malioboro sebelum relokasi sudah lebih dari cukup. Bahkan tak hanya pedagang, penghuni lain Malioboro, seperti pedagang asongan hingga pendorong gerobak, mendapatkan dampak yang cukup baik.
Pendorong gerobak Malioboro diadang tantangan, menyerah jadi pantangan
Hal itu diakui oleh Ketua Paguyuban Pendorong Gerobak Malioboro (PPGM) Kuat Suparjono saat ditemui di sekretariat PPGM, Kampung Kuncen, Kemantren Wirobrajan, Jumat (18/3/2022).
Jasa pendorong gerobak sendiri memang baru muncul setelah pemerintah mewajibkan pedagang menggunakan gerobak ketika berjualan di sepanjang jalan bagi pedestrian Malioboro. Sekitar tahun 1994-1995 PKL mulai mempekerjakan pendorong gerobak untuk diletakkan di gudang khusus.
"Tapi kalau saya baru memulai 2010 lalu, jadi hampir 12 tahun. Kalau pertama kalinya ada pendorong gerobak memang tidak pasti, tapi dari kami ada yang sudah sampai 27 tahun mendorong gerobak," kata Kuat.
Aktivitas mendorong gerobak diakui Kuat lebih berisiko dari pekerjaan lain. Tak jarang mereka harus berurusan dengan Satpol PP karena gerobak milik PKL ini tidak segera masuk ke dalam gudang.
Kerap pula para pendorong gerobak menebus agar barang milik PKL bisa dikembalikan. Bahkan mereka harus menyewa mobil pickup agar bisa mengembalikan gerobak ke Malioboro.
Meski demikian, pendapatan dan rasa kekeluargaan di kelompok pendorong gerobak Malioboro ini cukup baik. Untuk pendapatan, sehari mereka bisa mengantongi Rp150-200 ribu. Namun, pendapatan itu tergantung dengan jumlah gerobak yang didorong.
"Jadi tergantung bentuk gerobak, ada yang besar ada yang sedang. Nah satu kali dorong per gerobak itu bisa Rp10-15 ribu. Rata-rata pendorong itu bisa 10-15 gerobak," katanya.
Kerap bekerja pada dini hari hingga Subuh, pendorong gerobak tidak sedikit yang mengalami gangguan kesehatan. Kuat, misalnya, beberapa bulan belakangan ini dirinya didiagnosis memiliki sakit jantung, sehingga dalam beraktivitas harus diatur.
Meski menjadi persoalan serius, Kuat dan pendorong gerobak tetap bekerja dengan kemampuan mereka. Di tengah kondisi lemah, semangatnya kembali muncul ketika bertemu dengan teman-teman pendorong lain.
"Kita di lokasi itu juga sering kumpul melingkar kalau selesai memasukkan (gerobak) ke gudang. Pagi hari juga begitu, jadi guyub rukun pendorong gerobak itu sangat baik," ujar Kuat, yang pada akhirnya harus kehilangan teman-temannya setelah relokasi PKL ke Teras Malioboro.
Para pedagang, baik yang berjualan batik, aksesoris, sandal, hingga kuliner, cukup beruntung selama di Malioboro. Ketika momen hari raya atau libur panjang, dengan kondisi ramai wisatawan, omzet per harinya bisa melebihi UMR Yogyakarta. Lebih kurang Rp2-3 juta bisa dibawa pulang.
Dilema pemilik toko di Malioboro, pasrah berbagi rezeki
Namun, lain hal yang dirasakan oleh pedagang yang menempati toko di Malioboro. Pengelola Toko Roti Djoen Lama, Hardinah, harus bersabar dengan kondisi PKL yang berjualan di halaman tokonya.
Pelanggannya sering kebingungan karena tokonya terhalang oleh gerobak aksesoris yang ada di timur Malioboro.
"Mereka [pembeli] kadang tidak ketemu tempatnya, malah ada yang kebablasan ketika mau kembali lagi, jadi malas," ujar Hardinah, ditemui di Toko Djoen Lama, Senin (4/4/2022).
Toko roti legendaris yang sejak tahun 1930 berdiri itu memproduksi roti tawar. Sekitar tahun 1960-an varian roti dengan isian pisang dikembangkan dan menjadi roti khasnya saat ini.
Kala itu pembeli sangat banyak, mengingat Malioboro tak padat dengan PKL yang berjualan di depan tokonya. Hardinah tak berkenan menyebutkan pendapatan per harinya, tetapi omzet yang dikantongi sudah bisa menggaji belasan pegawai tahun itu.
Munculnya PKL di kawasan pedestrian Malioboro berpengaruh besar terhadap penjualannya. Hardinah tak ingin menyalahkan pedagang atau orang lain. Ia tetap berjualan meski pelanggannya berkurang.
"Kalau dulu kan sumpek ya, di depan itu banyak yang jualan juga, sampai toko itu tidak kelihatan. Ya mungkin fokus pada pakaian sama aksesoris yang dijual di sana kan," terang dia.
Bertahan untuk mengais rezeki, pada akhirnya PKL direlokasi
Sepeda motor Yamaha Karisma-nya dituntun hingga keluar gang kompleks rumahnya di Jalan Dagen, Kemantren Gedongtengen, Kota Jogja. Sambil membawa sayur berupa sawi serta satu kresek cabai, Yati Dimanto bergegas ke lapak barunya di Teras Malioboro 1.
Suami Yati lebih dulu datang di lapak yang terletak paling timur di lantai 1 Teras Malioboro 1. Ia menyiapkan bahan, seperti mi, telur, sayur, dan bumbu lainnya. Tak lupa minuman saset ditata rapi agar menarik pelanggan untuk datang.
Yati sudah siap untuk menjajakan makanannya. Sayang, pelanggannya tak seramai saat ia masih berjualan di trotoar Malioboro. Sehari bisa dihitung jari pembeli yang makan di lapaknya. Sisa waktunya dia digunakan untuk bercengkrama dan terkadang menyayangkan sikap pemerintah yang terburu-buru merelokasi pedagang tanpa persiapan yang matang.
Yati satu dari sekian perempuan di Paguyuban Pedagang Malioboro yang cukup lantang meminta penundaan relokasi PKL. Pasalnya, usai dihantam pandemi Covid-19 sejak 2020, perekonomian para pedagang tersendat.
Ketika roda ekonomi perlahan kembali merangkak naik di akhir 2021, Pemda DIY justru memberikan surat edaran bahwa awal Februari 2022 Malioboro harus bersih dari PKL.
"Jadi tidak manusiawi, saat kita sudah mau bergerak untuk pembenahan ekonomi, malah direlokasi. Kami tidak menolak, tapi menunda dulu untuk persiapan sebelum berpindah," kata dia.
Gayung tak bersambut, upaya Yati dan pedagang lain tak digubris. Sebelumnya pedagang meminta relokasi ditunda sampai Idulfitri 2022 saja. Namun, Pemda DIY menolak.
Bahkan ketika awal Februari, yaitu saat masa berjualan pedagang di Malioboro sudah habis, sempat terjadi gesekan antara petugas gabungan dan pedagang Malioboro, menyusul surat edaran yang baru diberikan secara mendadak kepada pedagang.
"Kalau memang Februari tidak bisa jualan, ya jauh-jauh hari, mungkin awal Januari itu sudah ada suratnya, diberikan ke setiap pedagang. Lha ini akhir Januari baru diberikan, bahkan baru tengah malam itu dikirim ke kami, apa tidak buru-buru? Sebenarnya pemerintah ini kenapa sampai memaksa seperti ini?" keluh dia.
Tidak hanya Yati, pedagang perempuan lain seperti Upi juga mempertanyakan kesiapan Pemkot Yogyakarta terhadap lapak di Teras Malioboro 2. Pedagang hanya diberi lapak dengan seng-seng besi. Saat hujan deras, kerap kali atap bocor bahkan sampai banjir.
Upi tak tinggal diam ketika isu relokasi itu menyebar di lingkungan pedagang. Beberapa orang gelisah karena kepastian ukuran lapak, bahkan waktu perpindahannya tak langsung disampaikan ke pedagang.
"Seakan-akan tidak transparan pemerintah itu. Kami rakyat kecil bersuara keras juga tidak didengar," kata dia.
Upi bersama rekan lainnya juga meminta bantuan LBH Yogyakarta terkait relokasi yang diklaim disepakati hanya satu pihak saja. LBH Yogyakarta menampung aspirasi dan membuka rumah aduan agar kejelasan relokasi ini transparan.
Baik Upi dan Yati berusaha untuk tetap bertahan dengan cara berjualan. Aspirasi dari suara mereka mewakili keresahan pedagang lain soal bagaimana menghidupi keluarga mereka jika relokasi tak sama dengan keadaan sebelumnya.
Nasi telah menjadi bubur, relokasi PKL mau tidak mau diterima dengan emosi yang harus mengendur.
Malioboro transformasi, eks PKL tak punya pilihan selain adaptasi
Saat ini trotoar Malioboro lengang tanpa PKL. Riuh aktivitas jual-beli berpindah di Teras Malioboro 1 dan 2. Upi merasakan hal berbeda ketika berjualan di lapak barunya. Karena terbiasa di tempat yang cukup luas, kali ini ia harus beradaptasi dengan lokasi yang sempit.
Di sisi lain, kegiatan berjualan yang tersentralisasi di satu lokasi tak jarang menimbulkan kesenjangan, mengingat wisatawan yang datang dari pintu masuk Teras Malioboro lebih memilih pedagang di depan dibanding harus berjalan masuk lebih dalam.
"Ya akhirnya untung-untungan, sehari mungkin baru laku dua baju, tapi ada juga yang seharian berjaga tidak laku sama sekali," keluh dia.
Upi masih meyakini bahwa ada masanya ekonomi PKL di Teras Malioboro 2 kembali stabil. Namun, waktu yang dibutuhkan tak sebentar. Dirinya hanya bisa bersabar.
Di sisi lain, relokasi PKL menjadi angin segar bagi Hardinah. Pemilik Toko Roti Djoen Lama itu mengaku ada sedikit peningkatan ekonomi pascarelokasi PKL.
Pembeli yang biasanya kebablasan, kini lebih mudah menemukan toko miliknya.
"Ya sekarang lebih longgar tokonya, jadi lebih banyak yang datang dan tidak sulit lagi mencari toko," ujar Hardinah.
Relokasi PKL Malioboro menjadi penggalan kisah bagaimana masyarakat di Jogja bertahan hidup dengan aturan pemerintah yang dianggap terburu-buru.
Bagi Yati, Upi, Hardinah, dan Kuat Suparjono, hidup harus terus berjalan. Meski perjuangan untuk bertahan di kawasan pedestrian Malioboro pupus, masih ada keluarga yang perlu dihidupi.
Berbagai perubahan secara bergiliran menguji sejak pandemi, hingga kini mereka hanya bisa mencoba berdamai dengan transisi dan berharap dengan waktu untuk mengembalikan perekonomian mereka menjadi stabil lagi.
Berita Terkait
-
Trend Pengamen Online Ngamen di Trotoar Malioboro Buat Publik Geram
-
Blitar City Walk, Wisata dan Kuliner Murah Meriah Dekat Makam Bung Karno Mirip Malioboro
-
Serba-Serbi Hamzah Batik Pusat Toko Batik Paling Populer di Malioboro yang Diserbu IShowSpeed
-
IShowSpeed Disebut Bersiap Sambangi Jogja, Netizen Ramai-ramai Usul Bawa ke Wilayah Pogung
-
Penandatanganan Kerjasama 1O1 Style Yogyakarta Malioboro dan Kemantren Pakualaman
Terpopuler
- Mees Hilgers Didesak Tinggalkan Timnas Indonesia, Pundit Belanda: Ini Soal...
- Elkan Baggott: Pesan Saya Bersabarlah Kalau Timnas Indonesia Mau....
- Miliano Jonathans Akui Tak Prioritaskan Timnas Indonesia: Saya Sudah Bilang...
- Denny Sumargo Akui Kasihani Paula Verhoeven: Saya Bersedia Mengundang..
- Elkan Baggott Kembali Tak Bisa Penuhi Panggilan Shin Tae-yong ke TC Timnas Indonesia
Pilihan
-
PublicSensum: Isran-Hadi Unggul Telak atas Rudy-Seno dengan Elektabilitas 58,6 Persen
-
Munawwar Sebut Anggaran Rp 162 Miliar untuk Bimtek Pemborosan: Banyak Prioritas Terabaikan
-
Drama Praperadilan Tom Lembong: Kuasa Hukum Bongkar Dugaan Rekayasa Kesaksian Ahli
-
Dua Juara Liga Champions Plus 5 Klub Eropa Berlomba Rekrut Mees Hilgers
-
5 Rekomendasi HP Infinix Sejutaan dengan Baterai 5.000 mAh dan Memori 128 GB Terbaik November 2024
Terkini
-
Penuhi Kebutuhan Kambing Secara Mandiri, Untoro-Wahyudi Luncurkan 1 Desa 1 Entrepreneur
-
Cari Properti di Surabaya, Cari Infonya di KPR BRI Property Expo 2024 Goes to Ciputra Surabaya
-
Tren Meningkat saat Akhir Tahun, Pemkot Yogyakarta Optimis Target Penerimaan Pajak Daerah Tercapai
-
Jelang Pilkada Kota Yogyakarta, 1.300 Lebih Linmas Siap Dikerahkan Jaga Tiap TPS
-
Kegempaan di Gunung Merapi Meningkat, Ada Potensi Luncurkan Awan Panas Lagi