Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Jum'at, 03 Juni 2022 | 13:44 WIB
Profil Haryadi Suyuti yang terjaring OTT KPK atas dugaan suap (Suarajogja.id/Muhammad Ilham Baktora)

SuaraJogja.id - Penangkapan mantan Walikota Yogyakarta, Haryadi Suyuti dan sejumlah pejabat lain di lingkungan Pemerintah Kota (pemkot) mengagetkan banyak pihak. Sebab Haryadi baru saja menyudahi masa jabatannya sebagai walikota periode 2017-2022 pada 22 Mei 2022 lalu.

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM, Zaenur Rohman pun angkat bicara mengenai penangkapan Haryadi Suyuti ini. Meski masih menunggu 1 x24 jam untuk mengetahui status Haryadi dalam kasus tersebut, Zaenur tidak heran akhirnya KPK melakukan penindakan di DIY, termasuk di Kota Yogyakarta.

Sebab meskipun DIY dinilai merupakan salah satu daerah yang dianggap maju dari sisi reformasi birokrasi dan memiliki banyak capaian kinerja, hal tersebut belum menjamin kota ini bersih dari korupsi. Bahkan bila sering mendapatkan predikat Wajar Tanpa Pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sekalipun.

"Dugaan korupsi [di yogyakarta] sudah ada dari dulu dan sudah ada laporan yang masuk ke KPK. Kalau sekarang ada OTT (operasi tangkap tangan-red) dengan kasus yang sudah dilaporkan, kita tidak tahu apakah merupakan bagian dari yang dilaporkan. Tapi memang banyak kasus [dugaan korupsi] yang sudah dilaporkan ke kpk dari jogja," ungkapnya saat dihubungi, Jumat (03/06/2022).

Baca Juga: Sepak Terjang Haryadi Suyuti, Eks Walkot Yogyakarta yang Terjaring OTT KPK

Menurut meski saat ini Haryadi Suyuti sudah tak menjabat Walikota, bisa saja dijerat hukum bila nantinya terbukti melakukan tindakan suap atau korupsi. Sebab dari kasus-kasus yang sudah terjadi, pola-pola korupsi di tingkat daerah sudah banyak terbaca modus dan alurnya.

Yang pertama modus suap dalam perijinan. Untuk mendapatkan ijin tertentu, pemohon ijin memberikan sejumlah uang kepada pejabat daerah agar ijinnya bisa keluar. Contohnya kasus perijinan minimarket di Maluku yang melibatkan Walikota Ambon.

Modus kedua terkait pengadaan barang dan jasa. Paket pengadaan barang dan jasa dijual ke penyedia namun harus memberikan cashback dalam bentuk suap atau gratifikasi.

Sedangkan modus ketiga dalam kasus pengisian jabatan di daerah. Untuk bisa menduduki jabatan, maka pelaku memberikan suap kepada pejabat daerah.

Yang terakhir, lanjut Zaenur kasus korupsi bisa tejadi bila ada sebuah pemberian sebagai kelanjutan dari perbuatan yang sebelumnya atau pemberian sebelumnya. Pemberian bisa dilakukan dan berlanjut meski pejabat sudah selesai menjabat.

Baca Juga: Selain Eks Wali Kota Yogyakarta, KPK Turut Amankan 4 ASN dan Satu Aspri

"Jadi kalau ada eks walikota yang ditangkap tergantung alat bukti. Meski bukan penyelenggara negara, mereka bisa saja dijerat dengan pasal 55," ungkapnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More