Dua kali ia dipanggil guru BP karena memukul temannya dengan kruk. Namun, itu bukan masalah baginya. Bagi Risnawati, tindakan itu merupakan bukti bahwa ia tak mau tunduk begitu saja terhadap bullying, terlebih ia bukan sembarang siswi di sekolah meskipun memiliki cara berjalan yang tak sama dengan teman-temannya.
"Itu bentuk perlawanan saya saat saya masih anak-anak dan juga saya berprestasi, saya selalu ranking 1-3, maksimal ranking 3 di sekolah waktu SD, tidak pernah tidak ranking karena saya ingin membuktikan meskipun saya difabel, saya juga berprestasi sama seperti anak-anak yang lain. Orang tua saya pasti kasih hadiah kalau saya ranking," jelas Risnawati.
Perjuangan hak disabilitas melalui pendidikan
Beranjak dewasa, Risnawati lulus SMP dan SMA dengan nilai akhir yang memuaskan, mengantarnya lulus seleksi nasional masuk Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Ia mengambil jurusan Ilmu Hukum di sana.
Pengalaman selama kuliah juga turut andil mengokohkan semangatnya memperjuangkan aksesibilitas bagi para penyandang disabilitas. Selama empat tahun menempuh pendidikan di perguruan tinggi, Risnawati harus naik-turun di kampusnya.
"Saya mengalami pengeroposan tulang di usia yang sangat muda kan, karena setiap hari lantai 4, lantai 3, paling minimal lantai 2. Itu yang membuat saya, bagaimanapun harus memperjuangkan aksesibilitas," jelasnya.
Tak cukup sampai di situ, setelah lulus kuliah, Risnawati sempat kesulitan mendapat pekerjaan karena persyaratan bagi pelamar mencakup sehat jasmani. Namun lagi-lagi, kesulitan justru makin membakar gairahnya untuk membantu sesama. Pada 1998, ia mulai aktif berkegiatan dengan aktivis penyandang disabilitas.
"Waktu itu kan ada pemilu, itu saya mulai melakukan aktivitas akses pemilu untuk penyandang disabilitas. Terus saya banyak menulis. Saya belajar jurnalistik juga. Saya menuliskan pengalaman saya, kemudian hambatan kelompok disabilitas di fasilitas umum, jadi saya belajar jurnalistik autodidak untuk menyuarakan hak-hak disabilitas yang masih mengalami diskriminasi," kata Risnawati.
Selama enam tahun Risnawati berkeja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dirinya kemudian mencari beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri hingga lolos seleksi kuliah S2 di Brandeis University di Boston, AS. Melanjutkan pendidikan sebelumnya, Risnawati memilih Global Health Policy and Management untuk jurusan kuliahnya.
Baca Juga: Kisah Risnawati dalam Memperjuangkan Hak Disabilitas (Bagian 2-Selesai)
Begitu meraih gelar master, tak lantas Risnawati merasa puas. Di Tanah Air, pada 2009 Risnawati menginiasi yayasan Roda untuk Kemanusiaan, yang terbentuk pada 2010. Lalu pada 2012 ia mendirikan organisasi penyandang disabilitas OHANA, di 2017 mengikuti seleksi CRPD, dan pada 2018 menjadi penyandang disabilitas pertama asal Indonesia yang terpilih sebagai anggota Komite HAM PBB.
Dibopong paspampres dan dicium pejabat
Selain karena pengalamannya malang melintang di aktivisme penyandang disabilitas, ada satu momen bagian dari tonggak perjuangan Risnawati yang membuat namanya diingat banyak orang, khususnya di kalangan pejuang hak disabilitas.
Pada sekitar 2013, Risnawati diundang Susilo Bambang Yudhoyo alias SBY, yang kala itu merupakan presiden RI, ke Istana Negara untuk membicarakan isu disabilitas sebagai bagian dari Agenda 2030. Berangkat dari Jogja ke jakarta seorang diri, sesampainya di Istana Negara, Risnawati mendapati tak ada akses bagi penyandang disabilitas seperti dirinya di istana. Akhirnya, ia dibopong oleh paspampres.
"Akhirnya harus diangkat oleh empat orang paspampres, dan saya juga bingung kenapa seperti ini ya? Gitu," ungkapnya.
Di sana, semangat dan keberanian Risnawati pun membuat Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Indonesia Kuntoro Mangkusubroto takjub sampai-sampai ia mencium perempuan tangguh itu.
Berita Terkait
-
Kisah Risnawati dalam Memperjuangkan Hak Disabilitas (Bagian 2-Selesai)
-
Liputan Khusus: Kisah Risnawati dan Perjuangan Hak Disabilitas (Part 1)
-
LIPSUS: Sosok Risnawati dan Perjuangan Hak Disabilitas (Bagian 1)
-
Risnawati, Sosok Inspiratif Pejuang Hak Disabilitas (Bagian 1)
-
Implementasi CRPD, Kemensos Gelar Pertemuan Tim Koordinasi Nasional
Terpopuler
- Skincare Reza Gladys Dinyatakan Ilegal, Fitri Salhuteru Tampilkan Surat Keterangan Notifikasi BPOM
- 3 Klub yang Dirumorkan Rekrut Thom Haye, Berlabuh Kemana?
- Pemain Liga Inggris Rp 5,21 Miliar Siap Bela Timnas Indonesia di SEA Games 2025
- Selamat Datang Jay Idzes! Klub Turin Buka Pintu untuk Kapten Timnas Indonesia
- 15 Kode Redeem FF Hari Ini 2 Agustus, Klaim Hadiah Kolaborasi Naruto, Skin Kurama, & Emote Ninja!
Pilihan
-
Onitsuka Tiger Buatan Jepang vs Indonesia: Apa Sih Bedanya? Ini Ulasannya
-
Fenomena Rohana dan Rojali Sampai Kuping Bos OJK
-
PSSI-nya Wales Raup Untung Rp648 Miliar Meski Prestasi Timnas Berantakan
-
Irak Mulai Panik, Ketar-ketir Lihat Perkembangan Timnas Indonesia
-
Tarif Trump Berlaku 7 Agustus 2025, IHSG Borpotensi Merana Hingga Akhir Tahun
Terkini
-
Tol Jogja-Solo Seksi 2: Sudah 63 Persen Tapi Kok Mandek? Ternyata Gara-Gara Ini...
-
PSS dan PSBS Oke, PSIM? Pemkab Sleman Buka-bukaan Soal Nasib Stadion Maguwoharjo
-
Bye-bye Maguwoharjo? PSIM Jogja Mantap Bidik Stadion Sultan Agung Sebagai Kandang Super League
-
DPRD DIY Pasang Badan, Lawan Kebijakan PPATK yang Bekukan Rekening Warga Tanpa Bukti
-
Dampak Ekonomi Tol Jogja-Solo: 6 Exit Tol di Sleman Diharapkan Dongkrak Pariwisata dan Kuliner