Scroll untuk membaca artikel
Eleonora PEW
Kamis, 08 September 2022 | 10:47 WIB
Ilustrasi lari jarak pendek [Shutterstock]

SuaraJogja.id - Demi meminimalkan kasus kematian mendadak di ajang lomba lari maraton, dokter spesialis kedokteran olahraga, dr Antonius Andi Kurniawan, berpendapat bahwa layanan medis yang mumpuni sangat diperlukan, mulai dari kelengkapan alat medis hingga kecakapan petugas medis.

Menurut riset di New England Journal of Medicine pada 2012, pelari yang mengalami kematian mendadak paling sering terjadi menjelang kilometer akhir di sekitar 40 hingga 42 kilometer. Kebanyakan dari mereka, kata Andi, berlari dengan sekuat tenaga menuju garis finish.

Walau kasus tersebut sangat jarang terjadi, ia menekankan pentingnya layanan medis mumpuni di setiap lomba lari maraton sebagai upaya pencegahan. Andi juga menjelaskan bahwa pelari yang mendadak kolaps sebetulnya memiliki peluang untuk bertahan hidup (survive).

“Mereka yang survive itu ketika ditangani mendapatkan resusitasi jantung paru atau alat pijat jantung, itu kurang lebih 1,5 sampai 1-4 menit (sesaat setelah kejadian). Jadi kalau di bawah 3 menit harus segera diresusitasi jantung paru. Kalau sudah di atas 5 menit atau 5-9 menit, dia terlambat dan tidak survive,” katanya kepada awak media di Jakarta, Rabu.

Baca Juga: Jatuh Saat Ikut Balikpapan 10K, Pelari 46 Tahun Meninggal Dunia dalam Perjalanan ke RS

Andi, yang merupakan Scientific Chairman Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Olahraga (PDSKO), mengatakan kasus kematian mendadak, walau hanya satu pelari, merupakan kejadian luar biasa di dunia medis. Menurutnya, insiden tersebut cukup tragis mengingat niat awal pelari ingin berolahraga supaya sehat namun yang terjadi justru sebaliknya.

“Kejadian ini juga dramatis dan membuat resah. Kadang-kadang orang tua kita (beri nasihat), ‘Kamu tidak usah lari, nanti malah meninggal atau apa segala macam’. Padahal kan sebenarnya lari itu bermanfaat buat kesehatan. Jadi ini yang menurut saya penting banget untuk kita edukasi masyarakat,” katanya.

Andi mengaku dirinya selalu mengecek kembali pedoman layanan medis berstandar internasional ketika menjadi medical director untuk sebuah event lari. Ia mengatakan ketentuan layanan medis di lomba lari maraton sudah tertuang dalam pedoman yang dikeluarkan oleh World Athletics.

“Medical services itu (harusnya) tiap 2,5 km. Setiap water station itu ada medical services-nya, ada petugas medisnya. Tapi yang ada (kebanyakan di event lari), itu tiap 5 km, ada yang 10 km, ada yang 42 km ambulansnya cuma tiga sampai lima, jadi tidak banyak,” katanya.

Di setiap tenda atau titik layanan medis dan water station, Andi menganjurkan agar petugas medis senantiasa siap siaga. Berdasarkan pengalamannya, ia juga akan memberi pelatihan sehingga para petugas medis memang berkualifikasi dan memiliki kemampuan serta memahami yang harus dilakukan jika menemukan pelari kolaps.

Baca Juga: Tanpa Sepatu, Anak Perempuan Tersebut Mengikuti Lomba Lari Maraton HUT RI

Selain petugas medis, kelengkapan alat-alat medis seperti alat kejut jantung atau automated external defibrillator (AED) juga penting untuk disiapkan di setiap tenda medis.

“Perlengkapan-perlengkapan yang ada di medical station juga harus lengkap, ada oksigen, ada kejut jantung, dan sebagainya. Itu semua sudah ada di World Athletic dan tinggal ceklis saja sebetulnya. Pertanyaannya, management organization mau tidak spend untuk itu,” kata Andi. [ANTARA]

Load More