Scroll untuk membaca artikel
Eleonora PEW
Selasa, 15 November 2022 | 09:34 WIB
Ilustrasi aliran musik dangdut koplo - (Suara.com/Iqbal Asaputro)

SuaraJogja.id - Seiring dengan meredanya kasus Covid-19, para pelaku industri musik jadi salah satu yang paling bahagia di pertengahan tahun 2022 ini karena pemerintah sudah mengizinkan digelarnya konser-konser. Bahkan di tengah proses kembali "menata hidup", pemusik dangdut, khususnya dangdut koplo, seakan ketiban duren paling harum.

Tiga bulan lalu, saat masyarakat merayakan HUT Ke-77 RI, media sosial dibuat berisik dengan obrolan soal acara setelah upacara kemerdekaan di Istana Negara pada 17 Agustus 2022. Memang wajar, karena kapan lagi nonton Menhan Prabowo Subianto, yang citranya dingin dan tegas, joget-joget bareng para menteri dan pejabat lainnya? Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga sempat disorot karena berusaha membaur dari tempat duduknya dengan jogetan tipis-tipis yang tampak dipaksakan, didukung raut wajah yang dikusutkan oleh kasus-kasus besar Polri.

Semua orang pun mungkin tahu, adanya tontonan langka itu berkat "ulah" Farel Prayoga, bocah 12 tahun yang menyanyikan lagu dangdut koplo "Ojo Dibandingke" ciptaan Abah Lala di hadapan Presiden Jokowi dan para pejabat di Istana Negara, dengan gayanya yang supel dan asyik.

Jagat maya dan media massa langsung diramaikan video dan pembahasan soal Farel Prayoga. Kemudian, belum selesai warganet mengomentari momen unik di Istana itu, 10 hari kemudian viral video saat band indie pop asal Amerika, The Walters, kegirangan lagunya yang viral di TikTok, "I Love You So", didaur ulang jadi dangdut koplo. Para anggotanya sampai joget heboh saat tampil di atas panggung The Sounds Project Vol.5, Sabtu (27/8/2022), bareng duo Feel Koplo, di Eco Park Ancol, Jakarta Utara.

Baca Juga: Kehilangan iPhone 13 Pro Max, Farel Prayoga: iPhone Enak, Gampang Kalau Dicari

Tak cukup sampai di situ, banyak pula konser atau festival musik baru-baru ini yang turut memasukkan musisi koplo di lineup mereka, seperti Ndarboy Genk, NDX A.K.A., Aftershine, OMWAWES, Happy Asmara, Inul Daratista, Nella Kharisma, Via Vallen, dan masih banyak lagi. Milad Pondok Pesantren Ora Aji tahun ini pun, Gus Miftah sang pimpinan memberikan hiburan gratis bagi warga Sleman dengan mendatangkan dua penyanyi yang namanya paling sering disebut kalau bicara soal dangdut koplo: Yeni Inka dan Denny Caknan.

Puncak kejayaan dangdut ini juga dibuktikan dengan hasil survei yang dirilis Skala Survei Indonesia (SSI) pada Maret 2022 tentang jenis musik yang paling disukai masyarakat Indonesia pada 2022. Sesuai dengan tema artikel ini, tentu saja dangdut jadi penguasanya, dengan jumlah penyuka mencapai 58,1 persen, mengalahkan pop, yang cukup menduduki posisi kedua di angka 31,3 persen.

Mereka yang tak mengikuti dangdut--terutama dangdut koplo--sejak lama, mungkin akan merasa semuanya tiba-tiba koplo, padahal sama seperti yang dialami setiap orang sebelum, selama, dan setelah Covid-19, dangdut koplo pun melewati perjalanan yang juga diisi dengan proses jatuh-bangun sampai kemudian beralih dari musik yang tadinya dianggap remeh dan kampungan menjadi musik yang paling diminati anak muda dan dinikmati penghuni Istana seperti saat ini.

Perjuangan Rhoma Irama menerbangkan dangdut

Sebelum dangdut koplo tenar seperti sekarang, Indonesia sudah lama memiliki aliran musik dangdut, yang kini mungkin lebih sering disebut sebagai dangdut klasik. Julukan "Raja Dangdut" pun memang pantas disematkan pada nama Rhoma Irama. Selain karena berbagai karya dan musikalitasnya, Rhoma Irama bisa dibilang tokoh pejuang dangdut.

Baca Juga: Ramai Berita Kemarin, Hoaks Kabar Farel Prayoga Meninggal sampai Kekerasan di Papua Tengah

Kala itu, pandangan sinis deras menghujani dangdut. Namun, anggapan bahwa dangdut adalah musik kelas rendahan perlahan dipudarkan Rhoma Irama. Pengamat musik Irfan R Darajat menjelaskan, Rhoma Irama bersikeras mengklaim bahwa dangdut bukanlah musik dari India maupun Arab, melainkan campuran dari berbagai jenis musik di berbagai daerah, termasuk sentuhan Melayu, dan Rhoma Irama sendiri menambahkan unsur rock di sana.

"Perjuangan Rhoma Irama pun sampai pada satu titik ketika era Orde Baru, dangdut dianggap sebagai musik nasional. Beberapa menteri atau gubernur itu menyukai musik dangdut. Upaya ini memberikan wacana bahwa musik dangdut itu bukan musik kampungan, tapi seluruh kalangan, musik nasional, modern dari Indonesia," terang Irfan.

Selalu berkembang dari waktu ke waktu, dangdut di Indonesia pun diberi ciri khas yang beragam oleh setiap musikusnya. Irfan mencontohkan, dangdut Ellya Khadam dan A Rafiq kental dengan pengaruh India, sedangkan Alam mencampurkan sentuhan rock yang lebih tebal pada lagu-lagu dangdut miliknya, lalu dangdut Meggy Z lebih mendayu-dayu, bahkan tak sedikit pula bermunculan dangdut disko seperti yang dibawakan Zaskia Gotik.

Itu baru secuil contoh beragamnya musik dangdut, dan Irfan pun mengatakan, memang banyak sekali kemungkinan untuk mencampurkan dangdut dengan irama musik lain hingga pada waktunya telinga masyarakat digelitik musik dangdut koplo. Namun rupanya, kehadiran koplo kala itu seakan tak disambut hangat si raja dangdut.

"Rhoma Irama seperti kesal, apa yang sudah susah payah ia angkat dari "comberan" kemudian dijatuhkan lagi. Jadi wacana perjalanan musik dangdut ini naik-turun; setiap zaman bisa dimaknai," tutur Irfan.

Kontroversi Rhoma Irama dengan dangdut koplo Inul Daratista

Bicara soal Rhoma Irama, kemungkinan besar akan terlintas juga sosok Inul Daratista di kepala. Sama-sama musisi dangdut, Rhoma Irama dan Inul Daratista memang pernah mengegerkan media karena perseteruan di antara keduanya terkait kontroversi yang tak jauh-jauh pula dari dangdut.

Menurut Irfan, ketika Rhoma Irama berjuang sampai pada titik bahwa dangdut bukan lagi musik kampungan, terjadilah pertemuan dengan ketenaran dangdut koplo pada awal 2003 lewat Inul Daratista. Rhoma Irama pun sempat tidak sepakat bahwa koplo itu disebut dangdut.

"Rhoma Irama bilang, "Dangdut itu dangdut. Koplo itu koplo. Jangan campurkan," padahal secara musikal itu memang ada hubungannya," jelas dosen Pengelolaan Arsip dan Rekaman Informasi UGM itu.

Dalam penelitiannya, Irfan menemukan, selain legalitas dan identitas, ada wacana moralitas dalam upaya Rhoma Irama "menertibkan" dangdut koplo. Salah satu yang paling membekas di ingatan publik bisa dipastikan soal goyangan Inul, yang dinamai goyang ngebor. Rhoma Irama tak suka dangdut diidentikkan dengan goyangan yang menurutnya erotis.

Setelah Inul dengan goyang ngebor yang menjadi ciri khasnya, munculah bermacam-macam goyangan penyanyi dangdut: goyang patah-patah Anisa Bahar, goyang gergaji Dewi Perssik, hingga goyang itik Zaskia Gotik. Menanggapi itu, Irfan membeberkan, erotisme itu adalah ekspresi tubuh, yang bahkan juga ditampilkan dalam kesenian tradisional di daerah.

Lagi pula, betapa pun kerasnya Rhoma Irama mencoba "mendisipilinkan", pada kenyataannya, massa dangdut koplo Inul Daratista justru terus bertumbuh. Irfan pun menekankan, popularitas dangdut koplo tidak bisa dilihat hanya dengan momentum tunggal meski saklar yang ditekan Inul pada 2003 bisa ditandai sebagai salah satu tonggak kemunculan koplo ke permukaan.

"Sebelum Inul muncul ke permukaan, sebetulnya sudah banyak sekali dangdut-dangdut yang irama musiknya mencampurkan beberapa unsur musik daerah di pantai pesisir Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang memiliki karakteristik trans; itu bahkan tidak hanya di Jawa. Ada kesenian tradisional yang memiliki unsur trans. Irama musik seperti itu beberapa diadopsi dangdut yang, katakanlah, baru di tahun itu hingga membentuk irama musik yang lebih cepat dan memiliki efek trans," jelas Irfan.

Ciri khas dangdut koplo

Walaupun kini melambung hingga menjadikan kontroversinya cukup sebagai sejarah, dangdut koplo, kata Irfan, punya "utang" pada dangdut murni alias dangdut klasik. Bagaimana pun juga, koplo terbentuk dari dangdut. Hanya saja, alat musik yang digunakan dalam dangdut koplo berbeda dari orkes dangdut Rhoma Irama.

Yang tadinya sangat lengkap dengan mandolin, saxophone, hingga brass section, alat musik dangdut lebih disederhanakan oleh dangdut koplo, yakni seperti format combo band--drum, gitar, bass, dan keyboard--ditambah kendang kapsul.

"Unsur-unsur musik Melayu seperti mandolin itu enggak dibawa oleh dangdut koplo, dan dangdut koplo juga mulai menghadirkan gendang-gendang dari daerahnya. Bukan sekadar gendang kapsul, tapi gendang tradisi itu mulai muncul, sehingga bisa memberikan warna-warna yang baru," kata Irfan.

Ia menambahkan, selain alat musik, ketukan pada dangdut koplo pun jelas berbeda; temponya bisa jadi lebih cepat. Kalau susunan struktur antara "dang" dan "dut" pada musik Rhoma Irama agak seimbang, dalam dangdut koplo, banyak unsur "tak-tung"nya. Tak-tung dan dang ini mengisi di sela-sela, sehingga unsur bunyi tak-tung dari gendang lebih mendominasi, dan temponya lebih cepat.

Dengan tempo yang lebih cepat dari dangdut klasik, lantas irama tersebut seolah lebih enak didengarkan dalam kondisi tidak sepenuhnya sadar alias nge-fly, dan inilah asal usul sebutan koplo dari dangdut koplo.

"Mungkin karena temponya yang lebih cepat itu sering kali diidentifikasi dengan, mendengarkan musik itu enak dengan mengonsumsi obat-obatan seperti pil koplo, yang dulu juga banyak tersebar untuk mencapai suatu tingkat mabuk. Meskipun tidak selalu berkaitan antara musik dangdut dan penggunaan obat ini, tapi ini melekat karena iramanya seperti mengiringi orang-orang 'ngoplo'," terang Irfan. Namun ingat ya, itu hanya asal usul, bukan berarti selalu harus dikaitkan antara musik dan obat-obatan.

Setelah alat musik dan iramanya, ternyata ekspresi tutur dalam dangdut koplo juga berbeda dari dangdut klasik. Berdasarkan pengamatan Irfan, lagu-lagu dangdut koplo mengandung lirik yang bahasanya luwes dan lugas, sehingga lebih mewakili generasi muda. Sementara lagu-lagu dangdut lawas kebanyakan berisi nasihat dan dakwah dengan cara tutur yang lebih ditata.

Tak heran, ketika Gofar Hilman "mengenalkan" [almarhum] Didi Kempot pada para pendengarnya, respons yang didapat adalah animo yang sangat kuat dari anak-anak muda. Di kemunculan keduanya ini, Didi Kempot, menurut Irfan, sudah lebih luwes menggunakan irama musik dangdut, tidak hanya campursari dan keroncong, tapi juga memasukkan unsur koplo.

Terciptalah titik pencapaian baru dari dangdut koplo, sampai-sampai pada pertengahan 2020 Didi Kempot diberi gelar "The Godfather of Broken Heart", dan para penikmat karyanya dijuluki Sobat Ambyar. Itu tak lain karena lirik lagu-lagunya memang menggambarkan kondisi hati yang remuk, hancur, nelangsa, ngenes, ambyar-lah pokoknya.

Raga bergoyang walau hati mengerang: dangdut koplo

Kendati liriknya menyedihkan, tetapi, semua orang pun tahu, lagu-lagu dangdut, terlebih dangdut koplo, asyik buat joget. Ternyata, Irfan menjelaskan, musik yang bikin bergoyang ini sebetulnya punya pengaruh pada tubuh manusia secara psikologis.

"Sangat berbeda ketika kita mendengarkan lirik yang ngenes dengan iringan yang juga syahdu mendayu-dayu, dengan yang ada groove dari kendangnya. Ini berhasil, meluapkan kesedihan atau kenelangsaannya itu dengan bergoyang. Itu adalah hiburan dari kesedihan-kesedihan orang yang mendengarkannya. Kombinasi ini berhasil dan terus digunakan," ungkap Irfan.

Bukan cuma sang pakar, penikmat musik koplo pun mengamininya. Hibatullah Rashif (26), salah satu penggemar musik koplo, mengaku bahwa musik koplo adalah obat penenang baginya kala dirundung rasa gundah gulana. Ketika sakit hati, ia tak mau terus tenggelam meratapi nasib, lantas dangdut koplo adalah jalan keluar.

"Kayaknya dangdut koplo ini jadi medium untuk bersenang-senang aja, jadi tidak merasa sedih-sedih banget. Apalagi kalau datang ke konser, dengan ribuan orang yang menyukai lagunya kan bisa sing along, bisa lebih teriak, jadi lebih bisa meluapkan perasaan. Di situ sih enaknya, lebih plong aja kalau lagi dengerin dangdut koplo," ujar karyawan swasta yang hobi menulis tentang musik dan menjelajahi konser ini.

Sementara itu, pendapat yang tak jauh berbeda juga datang dari sudut pandang pelakunya langsung, Aftershine, band koplo asal Sleman yang digawangi Hasan sebagai vokalis, Hedo dan Andika sebagai gitaris, Agus pemain bass, Zulian pemain keyboard, dan Yuriko penabuh kendang ketipung. Berangkat sebagai band beraliran pop pada 2017, Hasan dkk mulai berkarya lewat dangdut koplo lantaran Hasan memang suka mendengarkan dangdut, dan tak disangka, musik mereka pun lebih diterima masyarakat. Lewat lirik perih diiringi musik yang asyik, mereka menyelipkan pesan pada setiap lagunya.

"Orang yang lagi hancur, patah, itu mereka tidak mau harus melulu mendengar tentang kesedihan. Lagu kita itu dimulai dengan pop, untuk dirasakan dulu, dimengerti dulu artinya itu seperti apa, masuk ke reff, kita baru ke koplonya. Jadi kalau reff itu kita mengajak semua orang untuk teriak keras di situ. Untuk liriknya, kita lebih gimana caranya ngena ke hati teman-teman semuanya," tutur Hasan.

Merespons masifnya gelombang koplo saat ini, Zulian dan Andika mengaku tak mempermasalahkan jika orang-orang yang dulu meremehkan dangdut koplo sekarang ikut merayakan kejayaannya.

"Kalau dangdut koplo dianggap remeh, kita santai aja sih. Yang penting kita tetap berkarya, membuat teman-teman semua suka dan menghibur teman-teman semua," ungkap Zulian.

"Kenapa musik dangdut koplo dulu diremehkan? Mungkin karena warna musiknya dulu dan sekarang itu berbeda. Kalau sekarang mungkin lebih modern, jadi dangdutnya enggak yang dangdut-dangdut gitu terus. Kita selalu pakai aransemen baru yang mungkin bisa diterimalah sama masyarakat luas, jadi enggak monoton. Kita tambah musik misal pakai saxophone, mungkin popnya lebih kita kentelin juga," imbuh Andika.

Di sisi lain, Rashif si penikmat dangdut koplo "senior" mengaku senang sekarang punya lebih banyak teman joget di konser dangdut koplo. Belakangan ini pun di festival-festival musik, Rashif menyaksikan banyak anak muda di Jakarta ikut sing along lagu dangdut koplo meski liriknya berbahasa Jawa. Rashif sendiri tak pernah malu sejak awal dirinya menyadari bahwa frekuensinya bergandengan dengan getaran dangdut koplo.

"Kalau emang suka, ya suka aja. Mungkin ada yang guilty pleasure. Enggak dengerin dangdut, tapi di rumah dengerin dangdut koplo itu kan sama aja suka kan sebenernya. Kalau dibilang musik kampung enggak setuju sih, dan malu pun enggak pernah juga," katanya.

Harapan untuk dangdut koplo

Pemuda yang mengulik dangdut koplo sejak 2013 karena OMWAWES ini pun berharap supaya sangdut koplo makin dikenal luas sampai luar negeri.

"Mungkin seperti kemarin Nasida Ria diterima di Jerman. Semoga bisa go international karena kualitasnya juga jauh makin baik daripada dangdut koplo yang zaman dulu, sekarang lebih proper. Semoga makin bisa bikin bergoyang seluruh dunia," seru Rashif.

Kembali senada, Andika Aftershine memiliki harapan yang sama untuk dangdut koplo.

"Karena saat ini bisa dibilang belum terlalu meluas, harapannya sih bisa seperti genre-genre lain yang bisa diterima di seluruh negara, genre ini bisa dipakai dengan bahasa mereka masing-masing, enggak harus bahasa Jawa, tapi musik ini bener-bener bisa diterima di seluruh dunia," ujarnya, sama seperti Hedo, yang mengingkan supaya dangdut koplo bertahan lama di dalam kemajemukan aliran musik dan lebih mendunia.

Di samping itu, Hasan berharap supaya dangdut koplo dikembangkan sebaik mungkin, lebih menarik, dan menyentuh hati para pendengarnya.

"Semoga musik dangdut dipatenkan di Indonesia, jadi enggak cuma musik-musik tradisional dan smeoga dangdut bisa menjadi karakter sendirilah buat musik Indonesia," tambah Zulian.

Tak ketinggalan, sebagai pakar, Irfan juga punya harapan tersendiri untuk musik dangdut koplo.

"Saya selalu kagum dan takjub dengan penulisan lagu dangdut. Fenomena sosial, apa pun itu, kalau kita telusuri, pasti ada lagu dangdutnya, dari kemiskinan, perceraian, hubungan asmara, sampai fenomena "telolet". Kalau terjadi dialog dengan masyarakat, kritik, dan segala macam, kita bisa mengharapkan hal baru dari sana. Saya enggak menganggap itu sebagai pembungkaman atau pendisiplinan. Ini hanya dialog yang nantinya bisa memunculkan topik yang baru," tutup Irfan.

Load More