Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Kamis, 16 Februari 2023 | 09:20 WIB
Universitas Gadjah Mada (UGM) - (SuaraJogja.id/HO-UGM)


Selain itu, memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa, yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional.

Di negara lain juga dikenal dosen tidak tetap, yang berasal dari kalangan non akademisi atau praktisi yang memiliki kecakapan dan keahlian yang relevan. Di AS misalnya dikenal dengan sebutan practice professors, professors of the practice, atau professors of professional practice. 


"Mereka ditugaskan untuk mengajar, namun tak dibebani kewajiban untuk melakukan riset. Pengangkatan dalam jabatan semacam ini dilakukan dengan prosedur yang transparan, jelas, dan ketat; serta quality control yang andal," lanjutnya.


Ada evaluasi berkala dan ketat sebagai dasar untuk memperpanjang atau menghentikan yang bersangkutan dalam posisi tersebut.

Baca Juga: Ramai Penolakan UGM Terhadap Gelar Profesor Kehormatan, Begini Keterangan Kampus

Salah satu kaidah normatif pengangkatan profesor kehormatan adalah memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit luar biasa. Kemudian, memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional. 


Mereka yang diangkat dalam jabatan tersebut seharusnya individu yang betul-betul membuktikan kompetensi, karya, pengalaman, dan reputasi yang relevan bagi pengembangan iptek dan kontribusi keilmuan. 


Dalam beberapa tahun terakhir regulasi tentang dosen tidak tetap dan profesor kehormatan menjadi rujukan dan justifikasi pengangkatan profesor kehormatan; yang nampaknya mulai dianggap sebagai kelaziman dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia. 


Ada kekhawatiran bahwa interpretasi terhadap kaidah normatif dilakukan secara subyektif, sesuai kepentingan para pihak yang terlibat di dalamnya, imbuh Sigit. 


"Pengangkatan profesor kehormatan tersebut dikhawatirkan, didasari oleh relasi transaksional, tekanan, atau kepentingan-kepentingan yang bertentangan dengan misi fundamental pendidikan tinggi," tambahnya. 

Baca Juga: Ketika Gus Yahya Batal Bakar Kampus UGM Gegara Diselamatkan UIN Sunan Kalijaga


"Jika hal ini yang terjadi, maka patut diduga ada upaya 'transaksi jabatan akademik profesor' dengan mengabaikan norma, etika, dan standar mutu akademik yang sahih dan otentik. Suatu formalisasi dan rekognisi terhadap capaian akademik semu, tidak orisinal, dan tidak genuine," terangnya.

Ia juga menjelaskan, pengangkatan profesor kehormatan karena adanya kepentingan pragmatis individu atau kelompok, dapat dianggap diskriminatif, mengabaikan prinsip kesetaraan dan keadilan.


"Bahkan mengkhianati dedikasi para dosen yang berjuang dengan berbagai upaya untuk mencapai posisi guru besar," lanjut dia. 


"Betapa tidak, para dosen di perguruan tinggi harus berjuang keras puluhan tahun untuk mencapai posisi profesor dengan berbagai beban kinerja, belitan regulasi dan birokrasi," tegasnya mengulang keterangan di awal.


Kebijakan semacam itu, dikhawatirkan akan menimbulkan demoralisasi bagi para dosen dan akademisi yang ada di perguruan tinggi. Kepercayaan dosen terhadap martabat profesi serta institusinya tergerus, tata kelola Pendidikan Tinggi tak bisa diandalkan dan tak memberi harapan.


Semangat pengabdian dan dedikasi terhadap tugas dan tanggungjawabnya sebagai pendidik dan intelektual merosot, tandasnya.

Load More