SuaraJogja.id - Sosok Mbah Slamet yang dikenal sebagai dukun pengganda uang asal Banjarnegara, Jawa Tengah menggemparkan publik. Pasalnya selain mengaku bisa menggandakan uang, ia turut membunuh 12 orang pasiennya.
Menganggapi fenomena itu, Psikolog Sosial UGM, Koentjoro, menilai hal ini tak bisa dilepaskan dengan pola pikir masyarakat Indonesia yang bersifat materialistis. Sehingga walaupun di era modern saat ini masih ada saja yang percaya dukun untuk mengubah hidup mereka.
"Kalau dari perspektif korban, masyarakat kita itu konsep berpikirnya sangat materialistis," kata Koentjoro, Rabu (12/4/2023).
Kemajuan teknologi infomasi dan komunikasi pun erat kaitnya dengan fenomena ini. Khususnya ketika seseorang dapat secara mudah melihat unggahan di dunia maya terkait gaya hidup kemewahan atau flexing.
Tidak dipungkiri, kata Koentjoro, itu merupakan salah satu faktor pemicu orang memiliki keinginan untuk menjadi sama dengan itu. Berbagai cara akhirnya dilakukan agar dapat mencapai titik tersebut, salah satunya menemui dukun.
Menurutnya terdapat pergeseran dari sisi motif menjalin relasi di tengah masyarakat saat ini. Jika dulu didorong pada motif berafiliasi, berkumpul, serta bersahabat, tetapi sekarang ini mulai berubah pada motif kekuasaan maupun simbol-simbol status sosial semakin menggejala.
"Bagi orang berpengaruh, berbakat, maupun terdidik yang jadi korban itu karena serakah, ingin mendapatkan kekayaan lebih. Mereka ingin diakui dan dihormati lewat memamerkan simbol-simbol status sosial," ungkapnya.
Guru Besar Fakultas Psikologi UGM ini menyampaikan ada dua faktor yang menyebabkan masyarakat mudah percaya dukun. Pertama akibat korban yang terkena hipnotis gendam atau magic.
Lalu Kedua, ada orang tertentu yang mampu memengaruhi. Dalam hal ini untuk lebih meyakinkan bahkan memikat para korban dengan berbagai iming-imingan yang disuguhkan.
Baca Juga: Peran Kijo di Pusaran Kasus Dukun Slamet, Si 'Calo' yang Antar Korban Pasutri Asal Lampung
Dari sisi kriminalitas yang dilakukan pelaku sendiri adalah untuk mendapatkan uang dengan jalan pintas. Sehingga melakukan penipuan dengan berkedok dukun.
"Biar tidak ditagih terus penggandaan uang yang dijanjikan, korban diajak melakukan ritual yang sebenarnya untuk menghabisi nyawa korban dan mereka percaya kalau itu bagian dari ritual," terangnya.
Ia menambahkan diperlukan pendidikan keluarga dalam fenomena ini. Terlebih mengenai ketentraman dan kesejahteraan hidup yang bukan berasal dari simbil status sosial semata.
"Sebenarnya agak susah mencegahnya, selama motif ingin diakui masih ada. Perlu belajar sufisme untuk melawan materialisme. Sehingga di sini pendidikan keluarga menjadi penting dalam mengajarkan kehidupan untuk senantiasa bersyukur pada Tuhan," pungkasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- 18 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 26 September: Klaim Pemain 108-112 dan Hujan Gems
- Thom Haye Akui Kesusahan Adaptasi di Persib Bandung, Kenapa?
- Rekam Jejak Brigjen Helfi Assegaf, Kapolda Lampung Baru Gantikan Helmy Santika
- Saham DADA Terbang 2.000 Persen, Analis Beberkan Proyeksi Harga
- Ahmad Sahroni Ternyata Ada di Rumah Saat Penjarahan, Terjebak 7 Jam di Toilet
Pilihan
-
Profil Agus Suparmanto: Ketum PPP versi Aklamasi, Punya Kekayaan Rp 1,65 Triliun
-
Harga Emas Pegadaian Naik Beruntun: Hari Ini 1 Gram Emas Nyaris Rp 2,3 Juta
-
Sidang Cerai Tasya Farasya: Dari Penampilan Jomplang Hingga Tuntutan Nafkah Rp 100!
-
Sultan Tanjung Priok Cosplay Jadi Gembel: Kisah Kocak Ahmad Sahroni Saat Rumah Dijarah Massa
-
Pajak E-commerce Ditunda, Menkeu Purbaya: Kita Gak Ganggu Daya Beli Dulu!
Terkini
-
UMKM DIY Menjerit, Kebijakan Tak Efektif? DPRD Janji Evaluasi Mendalam
-
Bawaslu Kulon Progo Dorong Peran Perempuan untuk Politik yang Lebih Humanis
-
Penangkapan Aktivis Paul di Jogja: Kronologi Detail, dari Pria Misterius hingga Dugaan Penghasutan
-
Jurnalis CNN Dicekal Gegara Pertanyaan "Di Luar Konteks", PWI Geram
-
Lampu Merah Bebas Pengamen? Jogja Siapkan Jurus Jitu 'Zero Gepeng'