SuaraJogja.id - Almarhum Prof. Dr. Edi Sedyawati, mantan Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1993-1998) adalah sosok intelektual yang memiliki banyak dimensi pemikiran. Beliau adalah seorang arkeolog yang mumpuni, seorang pengamat tari (dan juga penari) yang luas pengetahuannya akan karya tari baik tradisi maupun modern, serta seorang birokrat kebudayaan yang memiliki pengaruh sangat besar dalam kebijakan- kebijakannya. Di zaman Bu Edi, seni dan kebudayaan seolah menjadi roh, bagian dari jiwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Edi Sedyawati wafat pada 11 November tahun lalu dalam usianya yang ke 84 tahun. November tahun ini adalah setahun meninggalnya Bu Edi. Untuk memperingati setahun kepergian ibu Edi maka BWCF (Borobudur Writers and Cultural Festival) bermaksud menyelenggarakan sebuah festival yang merayakan pemikiran Edi Sedyawati. Sejumlah acara mulai dari pidato kebudayaan, launching buku, dokumenter, lecture, bazar buku, serta workshop yang berkaitan dengan dunia arkeologi dan tari yang digeluti oleh Bu Edi, hingga pergelaran seni pertunjukan dan sastra akan dilaksanakan.
BWCF adalah sebuah festival tahunan yang selalu berusaha menonjolkan relevansi pemikiran-pemikiran mengenai nusantara dalam kehidupan. Dalam 12 tahun perjalanannya, BWCF selalu mengangkat kajian-kajian serius tentang topik tertentu dalam khazanah nusantara. Selalu dalam setiap penyelenggaraanya, BWCF mendatangkan puluhan pakar lintas disiplin dari arkeologi, sejarah, antropologi sampai filologi. Diharapkan dengan adanya forum ini, kekayaan pemikiran nusantara dapat terangkat kembali dan dikenali oleh khalayak luas termasuk generasi milenial.
Salah satu strategi BWCF berkaitan dengan hal itu berusaha mengangkat kembali disertasi atau buku monumental seorang ilmuwan yang mengkaji nusantara untuk dieksplorasi gagasan- gagasannya demi pemajuan kesenian dan kebudayaan kontemporer Indonesia. Di antaranya, BWCF pernah mengangkat tema Ratu Adil yang dibahas dalam disertasi milik sejarawan Peter Carey mengenai Diponegoro. Selain itu, BWCF sebelumnya juga pernah mengangkat disertasi milik Romo Zoetmulder tentang teologi Jawa yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Serta pemikiran
Baca Juga: Meriahkan Hari Tari Sedunia, Lebih dari 450 Seniman Jogja Sodaqoh Joged di Taman Budaya Kulon Progo
Claire Holt, peneliti Amerika yang di tahun 60-an menulis sebuah buku sangat berpengaruh di lingkungan akademis tentang sejarah seni di nusantara dengan judul Art in Indonesia: Continuities and Change.
Tahun 2022, BWCF mengangkat pemikiran almarhum arkeolog Hariani Santiko, rekan kerja Edi Sedyawati yang wafat lebih dahulu. Disertasi Hariani yang dipertahankan di Universitas Indonesia tahun 1987 berjudul Kedudukan Batari Durga di Jawa pada Abad X-XV Masehi. Disertasi tersebut kami anggap sangat penting dan langka karena menyajikan data dan dokumen mengenai salah satu heritage arkeologi kita yang hebat tetapi dilupakan dan jarang dibahas: arca- arca Durga.
Tahun 2023 ini, giliran spektrum pemikiran Edi Sedyawati yang kami pilih sebagai tema utama BWCF. Disertasi Edi Sedyawati berjudul Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian sama pentingnya dengan disertasi Hariani Santiko. Durga (Parwati), Agastya dan Ganesha dikenal adalah pantheon utama Hindu. Mereka adalah keluarga Siwa. Di setiap candi Hindu di Jawa selalu ada arca Durga, Ganesa, Agatsya (utusan Siwa). Ganesha dikenal dengan banyak nama, antara lain: Ganapati (pemimpin para Ghana), Vighnesvara (pengendali halangan), Vinayaka (pemimpin utama), Gajanana (yang berwajah gajah), Gajadhipati (dewa para gajah), Lambkarna (yang bertelinga lebar), Lambodara (yang berperut besar), Ekadanta (bergading tunggal). Secara keseluruhan Ganesha adalah dewa pengetahuan juga seorang dewa perwira yang bisa mengatasi musuh, halangan, dan rintangan.
Jumlah arca Ganeha yang ditemukan di Jawa jauh lebih banyak daripada jumlah arca Durga. Arkeolog Belanda N.J. Krom pernah mencatat perbandingan penemuan arca Ganesha- Durga-Agatsya di Jawa adalah 22-5-2. Artinya jauh lebih banyak temuan arca Ganesha daripada Durga maupun Agatsya. Edi Sedyawati dalam disertasinya melakukan penelitian secara teliti atas 169 arca Ganesa. Salah satu kesimpulannya adalah arca Ganesa dari periode Singosari memiliki ciri-ciri tersendiri yang solid, yaitu antara lain: tangan kanan belakang Ganesa memegang kapak, tangan kiri belakang menggenggam tasbih, kedua tangan (baik kanan-kiri) depan memegang mangkuk tengkorak, kaki tambunnya menginjak tengkorak (asana tengkorak), mengenakan anting-anting tengkorak dan mengenakan pita di belakang kepala. Unsur aksesoris tengkorak yang menonjol tersebut merupakan kekhasan Ganesha periode Singosari.
Sampai hari ini, penelitian tentang Ganesa tidak berhenti pada disertasi Bu Edi. Sebab, penemuan-penemuan arca Ganesa terus bermunculan saat ekskavasi situs-situs di Jawa atau ditemukan tak sengaja oleh warga desa. Pada tahun 2019, misalnya warga Dusun Genengan, Desa Bangsri, Kecamatan Ngariboyo, Kabupaten Magetan menemukan arca Ganesa batu cukup besar yang memiliki ikonografi tak lazim. Arca Ganesa itu mempunyai rambut panjang ikal terurai – sehingga penduduk menyebutnya Ganesha berambut gimbal dan di belakangnya ada ukiran naga. Hal tersebut sangat menarik karena di luar pengarcaan Ganesha pada umumnya.
Dalam memperingati penelitian Bu Edi tentang Ganesha, kami akan mengundang pakar- pakar baik dari luar negeri, Jawa dan Bali membicarakan Ganesha yang masih menyimpan misteri. Kami akan me-launching sebuah buku dengan isi sekitar 1000 halaman yang memuat tentang artikel-artikel mengenai Ganesa dan seni pertunjukan yang ditulis para peneliti. Tulisan-tulisan yang termaktub dalam buku berjudul Ganesa, Seni Pertunjukan, dan Pelestarian Warisan Budaya, kami jaring lewat program Call for Paper.
Berita Terkait
-
6 Pesona Sydney Azkassyah Yusuf, Anak Cut Tari Didoakan Berjodoh dengan Putra Maudy Koesnaedi
-
Bestie Jadi Besan? Eddy Anak Maudy Koesnaedi dan Sydney Putri Cut Tari Didoakan Berjodoh
-
Komunitas Nalitari: Ruang Talenta Berujung Tampil di Konser Mancanegara
-
Runtuhkan Stigma! Komunitas Tari Inklusi Nalitari Berikan Ruang Kreativitas Tanpa Batas
-
Pecahkan Batasan, Satukan Keberagaman : Nalitari Sebagai Komunitas Inklusi
Terpopuler
- Ditahan Atas Dugaan Pemerasan, Beredar Rekaman Suara Reza Gladys Sebut Mail Syahputra Tolak Transferan
- Full Ngakak, Bio One Komentari Pengangkatan Ifan Seventeen Jadi Dirut PT Produksi Film Negara
- 3 Alasan yang Bikin Ustaz Derry Sulaiman Yakin Denny Sumargo, Hotman Paris dan Willie Salim Bakal Mualaf
- Jebloskan Nikita Mirzani ke Penjara Reza Gladys Sempat Disebut Cocok Gabung Gen Halilintar
- Ifan Seventeen Tiba-Tiba Jadi Dirut PFN, Pandji Pragiwaksono Respons dengan Dua Kata Menohok
Pilihan
-
Biasa Blak-blakan, Ahok Takut Bicara soal BBM Oplosan Pertamina: Ada yang Saya Enggak Bisa Ngomong
-
Catat Lur! Kedubes Kerajaan Arab Saudi dan Pemkot Solo Akan Gelar Buka Bersama Sepanjang 2,7 Kilometer
-
BYD M6 dan Denza D9 Jadi Mobil Listrik Terlaris di Indonesia pada Februari
-
Tiga Seksi Tol Akses IKN Ditargetkan Rampung 2027, Ini Rinciannya
-
7 Rekomendasi HP 5G Murah Mulai Rp 2 Jutaan Terbaru Maret 2025
Terkini
-
Rayakan 270 Tahun Berdirinya DIY, Ratusan Sekolah di Jogja Nabuh Gamelan Serempak
-
Luas Masa Tanam Kedua Turun Drastis, Dinas Pertanian Gunungkidul Sebut Karena Persoalan Air
-
Apresiasi Pemberian Bonus Hari Raya ke Ojol dan Kurir Online, Pakar UGM Soroti Soal Pengawasan Regulasi
-
Polisi Temukan Terduga Pelaku Pembakaran Gerbong KA di Stasiun Yogyakarta, Ini Motifnya
-
Terungkap! Satpam Salah Satu SMA di Sleman Terlibat Jaringan Penyuplai Senpi ke KKB