Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 01 Maret 2024 | 19:15 WIB
Aksi damai bertajuk Surat Cinta buat Penguasa dari Si Bisu untuk Si Dungu, di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM), Jumat (1/3/2024). [Hiskia Andika Weadcaksana/Suarajogja.id]

SuaraJogja.id - Kelompok masyarakat Yogyakarta yang tergabung dalam Dewe Yoben menggelar aksi damai di Bundaran Universitas Gadjah Mada (UGM), Jumat (1/3/2024). Aksi tersebut bertajuk 'Surat Cinta buat Penguasa dari Si Bisu untuk Si Dungu.'

Hendri selaku koordinator aksi mengatakan aksi ini sengaja diadakan bertepatan dengan Peringatan Serangan Oemoem 1 Maret. Harapannya aksi ini turut dapat mengambil spirit para pahlawan yang telah dengan gagah berani mempertahankan NKRI.

"Ya kita tahu hari ini 1 maret tepat serangan umum dan kita melakukan sebuah bentuk aksi keprihatinan, karena di saat bangsa ini sekarang ini banyak hal-hal yang kurang pas ternyata di Jogja ini yang Jogja ini terdiri dari kampung, kraton dan kampus. Kampung bergerak, kraton sudah memberikan sinyal, tapi kampus masih diam," kata Hendri, usai aksi, Jumat sore.

Peristiwa Serangan Oemoem 1 Maret juga dikenal sebagai Peristiwa 6 Jam di Jogja. Hal itu juga yang mendasari massa aksi menganalogikan kondisi itu dengan mencari 6 rektor dan 6 ketua BEM yang berani menegakkan demokrasi

Pemilihan lokasi aksi di Bundaran UGM sendiri juga bukan tanpa alasan. Lokasi ini sekaligus sebagai pengingat kembali bahwa pergerakan reformasi dulu juga diawali dari kampus ini.

"Republik ini masih eksis, tapi diacak-acak oleh bangsa kita sendiri, yang dulu reformasi berasal dari sini di bunderan ini tapi hari ini juga pemerintah itu notabene lahir dari UGM tapi hari ini pula negara ini yang rusak kita tahu orang-orang dari mana, dan di sini lah, kampus ini sekarang ini bisu, tidak bersuara sama sekali," tegasnya.

Hendri menyinggung soal Pemilu 2024 yang telah berlangsung beberapa waktu lalu. Meskipun belum usai secara tuntas, pesta demokrasi lima tahunan itu menyisakan gejolak di tengah masyarakat.

Tidak hanya ketidakpuasan masyarakat terhadap hasil Pilpres 2024. Namun selama proses pemilu pun juga dinilai telah merusak demokrasi dan mencederai semangat reformasi di Indonesia.

"Suara yang ingin kita dengung-dengungkan, UGM adalah sumber intelektualitas, tapi hari ini sariawan, sariawan, enggak ada suaranya," ujarnya.

Saat ini, disebut Hendri, rakyat sudah tidak lagi dapat bersuara. Suara rakyat hanya menembus ruang hampa dan tidak lagi didengarkan.

Kampus yang dipandang sebagai mercusuar kaum intelektual yang memiliki tradisi menyuarakan kebenaran pun tak terdengar suaranya. Kampus yang dipandang sebagai agen dalam menyuarakan ketidakadilan, kebenaran, kesewenang-wenangan penguasa, hanya diam tanpa suara.

"Sehingga masyarakat berteriak apapun tidak bisa, hanya si bisulah yang menyuarakan ini kepada penguasa. Supaya penguasa ini juga mendengar, ketika kita ramai-ramai dengan rombongan juga tidak akan didengar tapi mungkin dengan si bisu yang seorang diri ini mungkin mereka akan dengar," tuturnya.

"Dan juga kita lihat mungkin di sini di UGM ini rektor UGM akan dengar dan mungkin dia akan bersuara mengajak semua sivitas akademik untuk memulai gerakan ini, untuk menyuarakan supaya negeri ini kembali, jangan sampai negeri ini menjadi rusak," imbuhnya.

Load More