Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 28 Maret 2024 | 09:55 WIB
Dewas KPK menjatuhi sanksi berupa permintaan maaf kepada publik terhadap tiga pejabat rutan KPK yang terlibat kasus pungli. (Suara.com/Yaumal)

SuaraJogja.id - Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) telah menjatuhkan sanksi berat kepada tiga pejabat Rumah Tahanan (Rutan) KPK dalam kasus dugaan pungutan liar atau pungli.

Tiga orang yakni Karutan KPK, Achmad Fauzi, mantan Plt Karutan KPK Ristanta, dan Koordinator Keamanan dan Ketertiban Rutan KPK Sofyan Hadi dijatuhi hukuman berupa permintaan maaf.

Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman kembali menyoroti putusan itu. Ia menilai bahwa pemberian sanksi berupa permintaan maaf ini sudah maksimal yang bisa diberikan oleh Dewas KPK untuk sekarang.

"Ya sanksi permintaan maaf ini sudah sanksi paling berat yang bisa dijatuhkan oleh Dewas dengan Peraturan Dewas yang saat ini ada," kata Zaenur, Kamis (28/3/2024).

Oleh sebab itu, menurut Zaenur, sekarang persoalannya bukan tentang penjatuhan sanksi tersebut. Melainkan kritik yang ditujukan kepada Peraturan Dewas.

"Memang sistem di KPK itu ketika terjadi pungli atau gratifikasi di rutan itu ada tiga proses yaitu etik, disiplin dan pidana. Masyarakat juga tahu itu tapi tetap dari sisi etik ini sangat problematik karena publik melihat ini sangat ringan," ungkapnya.

Maka dari itu perlu segera dilakukan proses disiplin terhadap para pelaku yang terlibat pungli. Hal itu dinilai dapat lebih memberikan efek termasuk sanksi yang lebih pantas bagi mereka.

Selain itu proses secara hukum pidana juga harus terus dilakukan. Sembari di luar seluruh proses itu, Dewas perlu melihat dan mengkaji kembali Peraturan Dewas tentang kode etik.

"Dewas juga seharusnya dapat menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran kode etik berupa sanksi berat pemberhentian. Jadi tidak bisa hanya berupa permintaan maaf," tegasnya.

"Tetapi memang itu akan complicated karena pegawai KPK sekarang berstatus sebagai ASN, kalau dewas mengatur sanksi etik berupa pemberhentian maka itu bisa tidak compatible dengan peraturan dispilin ASN-PNS," sambungnya.

Zaenur menyebut kondisi ini merupakan konsekuensi logis dari revisi Undang-Undang KPK dengan menjadikan pegawai KPK sebagai ASN. Solusi yang bisa dilakukan adalah dengan mengembalikan lagi undang-undang KPK seperti dulu.

"Maka solusinya apa solusinya bagi saya, kembalikan undang-undang KPK seperti dulu dan kemudian Dewas, kalau memang Dewas mau dipertahankan dapat diberikan kewenangan untuk memberhentikan pimpinan atau pegawai yang terbukti melanggar etik," tuturnya.

Ditahan Gegara Pungli

Untuk diketahui, ketiganya sudah ditetapkan sebagai tersangka bersama 12 petugas rutan KPK lainnya. Mereka juga telah ditahan di rutan Polda Metro Jaya sejak 15 Maret sampai dengan 20 April 2024.

Dalam kasus ini Achmad Fauzi dan kawan-kawan memasang tarif ratusan ribu hingga puluhan juta kepada para tersangka untuk mendapatkan fasilitas tambahan, seperti menyelundupkan handphone.

Selain itu, mereka juga memasang tarif Rp5 juta perbulan, setelah handphone berhasil diselundupkan ke dalam sel. Masing-masing uang yang berhasil yang dikantongi para pelaku berkisar antara jutaan hingga ratusan juta rupiah.

Load More