SuaraJogja.id - Dosen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM, Novi Kurnia menyoroti masih rendahnya perhatian masyarakat Indonesia terkait isu global yakni krisis iklim. Masifnya misinformasi berupa konten hoaks menjadi salah satu penyebab.
Diungkapkan Novi, berdasarkan riset dari Center for Digital Society (CfDS) UGM mendapatkan data bahwa 24,2 persen dari responden percaya bahwa krisis iklim itu hanya isu buatan elit global.
"Mereka ini disebut climate change denier atau kelompok yang menolak mempercayai krisis iklim," kata Novi dalam keterangan tertulis yang diterima SuaraJogja.id, Kamis (19/9/2024).
Keresahan ini disampaikan Novi saat menjadi pembicara di event UNESCO Digital Learning Week 2024: Steering Technology for Education di Paris, Perancis beberapa waktu lalu. Di acara yang dihadiri sebanyak 300-400 pemangku kebijakan dan pakar dari 50 negara di dunia itu, Novi mengangkat isu maraknya misinformasi dan hoaks terkait krisis iklim.
Baca Juga: Revolusi Energi: UGM Kembangkan Hidrogen untuk Gantikan Bahan Bakar Fosil
Novi mengatakan perhatian terhadap isu yang belum meningkat, serta munculnya kelompok penentang ini dikhawatirkan akan menghambat kebijakan pemerintah untuk menghadapi krisis iklim. Maka dari itu, strategi untuk memberantas misinformasi krisis iklim perlu dilakukan sedini mungkin.
Kembali merujuk riset Center for Digital Society (CfDS), tercatat ada 98 persen misinformasi ditemukan berasal dari media sosial. Jumlah ini terdiri dari bermacam-macam bentuk misinformasi, seperti konten hoaks, parodi, kesalahan konteks, sampai konten palsu.
Kemudian ditemukan 57,7 persen merupakan false connection atau kesalahan informasi terkait krisis iklim. Meskipun memang sebagian besar responden mampu memilah misinformasi krisis iklim.
Namun hanya 20 persen yang mampu menyangkal kembali segala bentuk misinformasi. Disebutkan Novi, Indonesia masih masuk dalam golongan dengan climate change denier yang tinggi.
"Indonesia termasuk tinggi populasi yang tergolong climate change denier ini, karena mereka juga yang menyebarkan misinformasi. Mumpung pertumbuhannya masih belum banyak, justru harus segera dilawan," ucapnya.
Baca Juga: Jokowi Canangkan Wanagama Nusantara, Dukung IKN Jadi Smart Forest City
Atas kondisi tersebut, Novi turut membawa isu lain yang juga masih marak diperbincangkan yakni Artificial Intelligence (AI). Terkhusus AI yang digunakan dalam melawan misinformasi krisis iklim.
Menurutnya, persebaran informasi seputar krisis iklim memang belum populer di masyarakat, riset pun harus dilakukan dengan menganalisis informasi yang sudah terverifikasi sebagai hoaks oleh fact-checker. Tapi potensi persebaran misinformasi tentu akan meningkat jika publik mulai menaruh perhatian pada isu krisis iklim.
AI, dikatakan Novi, mampu menyaring dan menyanggah artikel atau konten yang diidentifikasi sebagai hoaks. Kendati demikian, penggunaan AI juga memiliki beberapa tantangan yang perlu dihadapi.
"Level akurasi fact checking menggunakan AI itu masih 30-90 persen. Sulit bagi AI untuk memfiltrasi konteks. Jangan sampai nanti informasi yang benar diidentifikasi hoaks," terangnya.
Saat ini, Novi bilang masih sulit bagi AI untuk memfilter konteks dalam Bahasa Indonesia. Mengingat sistem AI yang berkembang saat ini masih berbasis bahasa inggris.
Menurutnya, AI berbasis Bahasa Indonesia, bahasa daerah, serta istilah-istilah masyarakat masih memerlukan pengembangan lebih lanjut. Selain itu, isu etika terkait kebebasan berekspresi juga menjadi tantangan tersendiri dalam menggunakan AI dalam memerangi misinformasi krisis iklim.
Novi menambahkan, pengembangan AI harus dilandaskan pada kebutuhan masyarakat. Tentunya dengan basis data kearifan lokal dan nilai-nilai masyarakat. Jika tidak, AI justru berpotensi untuk memproduksi misinformasi dan hoaks itu sendiri.
Berita Terkait
-
Lazada Rilis AI Lazzie, Fitur AI Generatif Canggih untuk Belanja Online
-
Kabar Gembira! 17 HP Xiaomi, Redmi, dan Poco Ini Dapat Fitur AI Canggih HyperOS 2.0
-
Acer Rilis Swift 14 AI, Copilot+ PC, Harga Mulai Rp18 Jutaan, Ini Spesifikasinya
-
Mudah dan Cepat! Tutorial Hapus Objek Foto dengan Fitur AI di HyperOS
-
Buat Konten 30 Hari Nonstop? KazeeAI Solusi Otomatis Humas dan Marketing
Terpopuler
- Respons Sule Lihat Penampilan Baru Nathalie Tuai Pujian, Baim Wong Diminta Belajar
- Berkaca dari Shahnaz Haque, Berapa Biaya Kuliah S1 Kedokteran Universitas Indonesia?
- Pandji Pragiwaksono Ngakak Denny Sumargo Sebut 'Siri na Pace': Bayangin...
- Beda Penampilan Aurel Hermansyah dan Aaliyah Massaid di Ultah Ashanty, Mama Nur Bak Gadis Turki
- Jadi Anggota DPRD, Segini Harta Kekayaan Nisya Ahmad yang Tak Ada Seperempatnya dari Raffi Ahmad
Pilihan
-
Freeport Suplai Emas ke Antam, Erick Thohir Sebut Negara Hemat Rp200 Triliun
-
6 Rekomendasi HP Murah Rp 1 Jutaan Memori 256 GB, Terbaik November 2024
-
Neta Hentikan Produksi Mobil Listrik Akibat Penjualan Anjlok
-
Saldo Pelaku UMKM dari QRIS Nggak Bisa Cair, Begini Respon Menteri UMKM
-
Tiket Kereta Api untuk Libur Nataru Mulai Bisa Dipesan Hari Ini
Terkini
-
AI Ancam Lapangan Kerja?, Layanan Customer Experience justru Buat Peluang Baru
-
Dampak Kemenangan Donald Trump bagi Indonesia: Ancaman Ekonomi dan Tantangan Diplomasi
-
Pengawasan Miras di DIY sangat Lemah, Sosiolog UGM Tawarkan Solusi Ini
-
Pakar hukum UGM Usul Bawaslu Diberi Kewenangan seperti KPK
-
Ini Perbedaan Alergi Susu dan Intoleransi Laktosa pada Anak