SuaraJogja.id - Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengungkapkan ada 37 daerah yang hanya diikuti satu pasangan calon kepala daerah pada Pilkada Serentak 2024. Kondisi ini membuat sebanyak 37 pasangan calon tunggal di daerah tersebut akan melawan kotak kosong.
Ketua Program Studi Sarjana Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Mada Sukmajati menilai jumlah calon tunggal dalam Pilkada 2024 mendatang bukan angka yang fantastis. Jumlah tersebut terlihat banyak mengingat pelaksanaan Pilkada yang dilakukan serentak.
Padahal, disampaikan Mada, angka itu tidak meningkat secara signifikan. Tercatat dari Pilkada 2015 ada tiga calon tunggal dan pada tahun 2017 naik menjadi sembilan
Kemudian pada Pilkada 2018 angka itu naik lagi menjadi 16 calon tunggal. Hingga pada Pemilu 2020 lalu, tercatat ada 25 daerah yang melawan kotak kosong.
"Bedanya, saat itu Pilkada diadakan secara bergelombang. Sehingga Pilkada sebelumnya tidak dapat dibandingkan dengan Pilkada 2024 yang digelar serentak," kata Mada, Senin (23/9/2024).
Kendati tidak naik secara signifikan, konteks munculnya calon-calon tunggal itu perlu diperhatikan. Misalnya saja kemunculan calon tunggal di wilayah tambang.
Hal itu dapat menjadi indikasi awal adanya persekongkolan mayoritas partai politik. Sehingga memungkinkan adanya dukungan bohir atau pemodal di balik paslon tersebut.
"Jika paslon tersebut terpilih, hal ini dapat berdampak pada munculnya kompensasi-kompensasi yang harus diberikan kepada bohir atau pemodal itu yang mungkin kaitannya dengan tambang atau dengan pengelolaan kekayaan alam di daerah itu," tuturnya.
"Daerah ini rentan korupsi politik seperti perizinan pertambangan yang dipermudah dan isu-isu keberlangsungan lingkungan, tata kelola sumber daya pertambangan di daerah itu dan seterusnya," ungkap dia.
Baca Juga: Pilkada Kota Yogyakarta: Heroe-Supena Nomor 1, Hasto-Wawan Nomor 2, Afnan-Singgih Nomor 3
Diungkapkan Mada, ada dampak lain yang kemudian dihasilkan dari Pilkada dengan calon tunggal. Dalam hal ini munculnya kerawanan terkait dengan mobilisasi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk memenangkan paslon.
Kondisi itu rawan terjadi apalagi pada daerah dengan calon tunggal yang merupakan petahana. Hal tersebut bukan tindakan yang ideal bagi pertumbuhan demokrasi di Indonesia.
Menurutnya, politisasi birokrasi yang seperti ini tidak sejalan dengan semangat reformasi birokrasi di Indonesia. Sehingga prinsip-prinsip meritokrasi, profesionalisme, tata pengelola pemerintahan yang baik itu dipertaruhkan.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Rekomendasi Motor Bekas di Bawah 10 Juta Buat Anak Sekolah: Pilih yang Irit atau Keren?
- Dua Rekrutan Anyar Chelsea Muak dengan Enzo Maresca, Stamford Bridge Memanas
- 5 Mobil Bekas 3 Baris Harga 50 Jutaan, Angkutan Keluarga yang Nyaman dan Efisien
- Harga Mepet Agya, Intip Mobil Bekas Ignis Matic: City Car Irit dan Stylish untuk Penggunaan Harian
- 10 Mobil Bekas Rp75 Jutaan yang Serba Bisa untuk Harian, Kerja, dan Perjalanan Jauh
Pilihan
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
-
Agensi Benarkan Hubungan Tiffany Young dan Byun Yo Han, Pernikahan di Depan Mata?
-
6 Smartwatch Layar AMOLED Murah untuk Mahasiswa dan Pekerja, Harga di Bawah Rp 1 Juta
Terkini
-
Dukung Konektivitas Sumatra Barat, BRI Masuk Sindikasi Pembiayaan Flyover Sitinjau Lauik
-
Hidup dalam Bayang Kejang, Derita Panjang Penderita Epilepsi di Tengah Layanan Terbatas
-
Rayakan Tahun Baru di MORAZEN Yogyakarta, Jelajah Cita Rasa 4 Benua dalam Satu Malam
-
Derita Berubah Asa, Jembatan Kewek Ditutup Justru Jadi Berkah Ratusan Pedagang Menara Kopi
-
BRI Perkuat Pemerataan Ekonomi Lewat AgenBRILink di Perbatasan, Seperti Muhammad Yusuf di Sebatik