SuaraJogja.id - Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat akan membawa sejumlah perubahan dalam hubungan bilateral antara Indonesia dan AS. Perubahan itu bakal dapat dirasakan di bidang ekonomi dan politik.
Menurut Rochdi Mohan Nazala, pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM), manuver hubungan luar negeri AS, terutama di kawasan Asia Tenggara, tidak dapat dipisahkan dari rivalitas geostrategis yang bakal semakin tajam antara Amerika dan China.
Rochdi menilai hubungan ekonomi Indonesia dengan AS tetap akan berkembang. Meskipun memang bakal terdapat beberapa keterbatasan, terutama pada sektor-sektor yang strategis.
"Trump itu karakternya adalah liberal, pro pengusaha tapi di sisi lain dia juga sedikit aware tentang isu-isu kontemporer atau yang berkaitan dengan hak asasi manusia," kata Rochdi saat dihubungi, Kamis (7/11/2024).
Baca Juga: Survei: Mayoritas Masyarakat Indonesia Dukung Naturalisasi untuk Skuat Timnas Indonesia
Ia menambahkan bahwa meskipun investasi AS di Indonesia diprediksi tetap mengalir deras. Sektor-sektor yang kritikal dan strategis, seperti nikel, akan terhambat.
Hal itu mengingat pengolahan nikel di Indonesia ditengarai dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang punya afiliasi dengan Cina. Baik perusahaan swasta dari Cina atau perusahaan pemerintah Cina yang beroperasi di Indonesia.
"Dalam konteks ini karena Presiden sudah pasti Trump, (investasi) akan tetap deras tetapi tidak untuk sektor-sektor yang strategis," tandasnya.
Dalam ranah politik dan keamanan, Rochdi memprediksi bahwa pemerintahan Trump akan mengintensifkan hubungan politik dan militer dengan Indonesia. Tetapi dengan pendekatan yang lebih jelas dan tegas, terutama terkait hubungan dengan China.
"Kalau secara politik itu tetap saja Amerika akan berupaya untuk menarik Indonesia dalam orbitnya, kan begitu. Trump akan lebih jelas black and whitenya, itu pasti," ucapnya.
Baca Juga: Pemerintah Prabowo Targetkan Pertumbuhan Ekonomi 8 Persen, Ekonom UGM: Ambisius
"Kemudian kerja sama militer akan semakin kuat dan sebagainya dengan negara-negara yang dia tandai sebagai negara yang memiliki sejarah resistensi terhadap Cina itu cukup kuat dalam 10 tahun terakhir," imbuhnya.
Apalagi diakui atau tidak dalam 10 tahun terakhir, Indonesia agak cenderung ke Cina. Pendekatan itu akan berbeda kemudian dengan negara-negara yang terbukti 10 tahun terakhir lebih menunjukkan resistensinya kepada Cina, misalnya Malaysia, Vietnam dan Filipina.
"Kalau kemarin demokrat itu kan masih bermain dengan isu-isu ekonomi dengan sanksi dan lain sebagainya. Kalau Amerika dengan Trump enggak, lebih jelas clear cut saja. Dia akan menarik bounderies mana Cina mana dia," tegasnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Eks Pimpinan KPK: Ustaz Khalid Basalamah Bukan Saksi Ahli, Tapi Terlibat Fakta Kuota Haji
- Jahatnya Sepak Bola Indonesia, Dua Pemain Bidikan Persija Ditikung di Menit Akhir
- 5 Rekomendasi Bedak Tahan Air dan Keringat Murah: Anti Luntur Sepanjang Hari
- Klub Impian Masa Kecil Jadi Faktor Jay Idzes Terima Pinangan Aston Villa
- 6 Mobil Bekas 7 Seater Termurah: Nyaman untuk Keluarga, Harga di Bawah Rp 70 Juta
Pilihan
-
Olahraga Padel Kena Pajak 10 Persen, Kantor Sri Mulyani Buka Suara
-
Sering Kesetrum Jadi Kemungkinan Alasan Ade Armando Dapat Jatah Komisaris PLN Nusantara Power
-
Sosok Chasandra Thenu, Selebgram Ambon Akui Dirinya Pemeran Video Viral 1,6 Menit
-
Harga Emas Antam Kembali Longsor, Kini Dibanderol Rp 1.907.000/Gram
-
Azizah Salsha, Istri Pratama Arhan Dihujat Habis-habisan Promosi Piala Presiden 2025
Terkini
-
Cuan Jumat Berkah! Tersedia 3 Link Saldo DANA Kaget, Klaim Sekarang Sebelum Kehabisan
-
Pendapatan SDGs BRI Capai 65,46%, Wujudkan Komitmen Berkelanjutan
-
Kelana Kebun Warna: The 101 Yogyakarta Hadirkan Pameran Seni Plastik yang Unik dan Menyentuh
-
BRI Dukung UMKM Sanrah Food Berkembang dari Warung ke Ekspor Global
-
Langgar Aturan Imigrasi, 14 WNA Dideportasi Imigrasi Yogyakarta