SuaraJogja.id - Pemda DIY melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY mendesak UGM segera melaporkan kasus dugaan kekerasan seksual guru besar Fakultas Farmasi ke pihak kepolisian dan DP3AP2 DIY.
Hal ini penting mengingat hingga saat ini pun Pemda belum menerima laporan resmi dari kampus tersebut.
"Sampai saat ini, kami belum mendapatkan laporan kronologis yang rinci dari pihak UGM. Belum ada aduan yang masuk ke UPT PPA terkait kasus ini. Kami sedang meminta laporan resmi dari Ibu Wakil Rektor dan Satgas PPKS UGM," papar Kepala DP3AP2 DIY, Erlina Hidayati Sumardi di Yogyakarta, Senin (14/4/2025).
Menurut Erlina, bila tidak segera dilaporkan, baik ke pihak kepolisian ataupun DP3AP2, maka kasus yang ramai diperbincangkan di media sosial tersebut dikhawatirkan semakin berdampak buruk pada korban. Sebab hak-hak perlindungan korban tidak dipenuhi.
Erlina mengaku sudah menjalin komunikasi dengan UGM.
Namun koordinasi terkendala karena Ketua Satgas PPKS UGM, Yayi Suryo Prabandari belum juga kembali dari Norwegia.
Akibatnya rapat bersama yang sebelumnya diagendakan pun tertunda dan baru dijadwalkan setelah 15 April 2025 besok.
"Akibatnya sampai sekarang belum ada pendampingan dari kami terhadap para korban karena belum ada laporan yang masuk, baik ke UPT PPA maupun ke kepolisian," jelasnya.
Erlina mendapatkan informasi, baru Satgas PPKS UGM yang melakukan pendampingan internal terhadap korban.
Baca Juga: Komunikasi Pemerintah Disorot: Harusnya Rangkul Publik, Bukan Bikin Kontroversi
Namun, belum ada laporan resmi yang menjelaskan sejauh mana proses pendampingan tersebut berjalan.
Padahal sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), setiap kasus kekerasan seksual harus ditindaklanjuti melalui pelaporan dan pendampingan.
Karenanya DP3AP2 DIY meminta UGM lebih komunikasi dalam melakukan koordinasi yang lebih baik antara pihak kampus dengan lembaga pemerintah.
Apalagi selama ini banyak kampus dan sekolah yang hanya menindaklanjuti kasus kekerasan seksual di tingkat internal.
Kalau kasus tersebut masih bersifat ringan, maka bisa saja diselesaikan di tingkat kampus.
Namun bila melibatkan banyak korban dan membutuhkan perlindungan hukum, maka mestinya penanganan kasus bisa dilakukan secara bersama-sama. Sehingga hak-hak korban bisa dipenuhi, termasuk perlindungan hukum.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- 7 Sunscreen Anti Aging untuk Ibu Rumah Tangga agar Wajah Awet Muda
- Mobil Bekas BYD Atto 1 Berapa Harganya? Ini 5 Alternatif untuk Milenial dan Gen Z
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Pabrik VinFast di Subang Resmi Beroperasi, Ekosistem Kendaraan Listrik Semakin Lengkap
-
ASUS Vivobook 14 A1404VAP, Laptop Ringkas dan Kencang untuk Kerja Sehari-hari
-
JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
Terkini
-
Bejat! Gadis Asal Magelang Diduga Diperkosa Kakak Beradik di Kulon Progo
-
Kecelakaan Lalu Lintas Masih Tinggi, Kasus Narkoba Naik, Ini Kondisi Keamanan Sleman 2025
-
BRI 130 Tahun: Dari Pandangan Visioner Raden Bei Aria Wirjaatmadja, ke Holding Ultra Mikro
-
2 Juta Wisatawan Diprediksi Banjiri Kota Yogyakarta, Kridosono Disiapkan Jadi Opsi Parkir Darurat
-
Wali Kota Jogja Ungkap Rahasia Pengelolaan Sampah Berbasis Rumah Tangga, Mas JOS Jadi Solusi