SuaraJogja.id - Kasus keracunan kembali terulang belum lama ini. Terbaru ada sebanyak 127 warga Desa Karangturi, Klaten, Jawa tengah menjadi korban keracunan makanan usai menyantap nasi kotak dalam hajatan wayangan pada hari Sabtu (12/4/2025) kemarin.
Nahas bahkan satu orang warga harus meninggal dunia karena diduga juga mengidap penyakit bawaan atau komorbid.
Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) UGM Sri Raharjo, menyebut peristiwa keracunan makanan sudah sering kali dialami warga masyarakat akibat mengonsumsi makanan dalam berbagai acara hajatan.
Menurutnya, jumlah kasus keracunan makanan seperti ini setiap tahun sesungguhnya banyak terjadi. Hanya saja ada pihak yang melaporkan dan tidak dilaporkan.
Baca Juga: Guru Besar UGM Dipecat Karena Kekerasan Seksual, Kok Masih Digaji? UGM Buka Suara
"Sebagian ada yang dipublikasikan oleh media dan ada yang tidak. Sayangnya kasus keracunan semacam ini jarang sekali yang dilanjutkan pemberitaannya hingga hasil uji laboratorium terkait jenis bakteri atau toksinnya yang mungkin menjadi penyebab," kata Sri, Kamis (17/4/2025).
Kondisi itu kemudian salah satu faktor yang membuat kasus keracunan kembali berulang.
"Hal inilah yang kemudian menjadi salah satu kendala mengapa upaya untuk meminimalkan terulangnya kasus keracunan makanan tidak efektif," imbuhnya.
Terkait kasus keracunan massal di Klaten, kata Sri, disebabkan oleh beberapa faktor secara bersamaan. Pertama terkait dengan kondisi mutu dan keamanan bahan pangan segar yang diolah.
Kedua terkait dengan cara mengolah makanan yang dikonsumsi. Di antaranya kondisi para masak, peralatan dan cara pemakaiannya, kondisi lingkungan, serta waktu pengolahan dan konsumsinya.
Baca Juga: UGM Dituding Tak Berani Jujur Soal Ijazah Jokowi, Amien Rais: Ada Tekanan Kekuasaan
Dari sajian makan menurut pemberitaan berupa nasi, rendang daging sapi, krecek, acar, kerupuk dan snack.
Jika dilihat potensi bahaya makanan, menurut Sri Raharjo, rendang daging sapi dan krecek berisiko lebih tinggi dibanding sajian acar, kerupuk dan snack.
Dia mempertanyakan kondisi daging sapi itu, apakah masih segar dan terjaga kebersihannya, dingin atau beku.
Jika tidak, disebutnya dimungkinkan berpotensi memiliki tingkat cemaran bakteri atau toksin cukup tinggi di atas batas normalnya yang dianggap aman.
Dosen Departemen Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM itu menggambarkan jika untuk hajatan tersebut dibuat 200-300 box, dan tiap kotak berisi sekitar 50 gram daging maka membutuhkan 10-15 kg daging segar.
Daging sebanyak itu dimasak beserta bumbunya mungkin menggunakan peralatan masak ukuran rumah tangga, dan biasanya tidak rampung dalam sekali masak. Kemungkinannya, kata dia, dimasak 3-5 kali.
Hal ini berarti masakan yang pertama dilakukan awal pagi dimisalkan sekira pukul 07.00 di hari yang sama atau mungkin dimasak sehari sebelumnya.
Kondisi ini tentu berisiko karena ada jeda waktu lebih dari 10 jam hingga dikonsumsi.
"Kalaupun tersedia alat masak yang besar dan dapat dipergunakan untuk memasak 10-15 kg daging sekali masak maka inipun berisiko panas tidak merata untuk mematangkan beberapa potong daging," ujarnya.
"Sehingga tidak cukup untuk mematikan bakteri atau melemahkan toksin yang mungkin sudah mencemari daging dengan level yang cukup tinggi akibat kondisi daging segar yang kurang terjaga," imbuhnya.
Sri Raharjo pun membayangkan setelah selesai masak daging dan krecek yang kemudian dimasukkan ke dalam nasi kotak maka sajian tentunya baru dikonsumsi oleh warga pada malam hari sekitar jam 19.00-20.00 WIB.
Jika memang begitu, ada interval waktu 12 jam hingga makanan dikonsumsi warga.
"Tentu dimakan di malam hari karena hajatan wayangan. Jika proses memasak dalam jumlah besar, dimungkinkan panasnya tidak tuntas mematangkan masakan, dan berisiko masih menyisakan sedikit bakteri atau toksin penyebab sakit," paparnya.
Melihat kemungkinan jeda waktu 12 jam itu, kata Sri, cukup waktu bagi bakteri untuk berkembang biak lagi mencapai jumlah yang membahayakan.
Mereka yang mengonsumsi rendang daging atau krecek boleh jadi tidak mengalami sakit perut, muntah, ataupun diare karena kondisi kesehatannya baik.
Sedangkan warga yang menjadi korban keracunan bisa jadi ketika mengonsumsi kondisi kesehatannya kurang baik alias daya tahan tubuhnya melemah.
Diperlukan pemahaman yang benar terkait cara mengolah makanan dalam jumlah besar. Hal itu untuk meminimalisir kemungkinan peristiwa serupa kembali terjadi.
Penyiapan secara gotong royong oleh warga bisa menjadi salah satu cara. Termasuk untuk memperhatikan peralatan pengolahan dan cara pemakaiannya secara tepat, serta kewaspadaan jika masakan yang sudah siap saji baru dikonsumsi lebih dari 10 jam.
"Hal-hal semacam ini penting untuk diperhatikan, dan dilakukan. Para warga pun diharapkan untuk selalu menjaga kondisi kesehatannya. Secara bersama kita upayakan meminimalkan risiko kemungkinan terjadinya keracunan makanan," kata dia.
Berita Terkait
Terpopuler
- 6 Mobil Bekas untuk Keluarga di Bawah Rp50 Juta: Kabin Luas, Cocok untuk Perjalanan Jauh
- 5 Mobil Eropa Bekas yang Murah dan Tahun Muda, Mulai dari Rp60 Jutaan
- 5 Rekomendasi Mobil SUV Bekas Bermesin Gahar tapi Murah: Harga Rp60 Jutaan Beda Tipis dengan XMAX
- Pemain Keturunan Medan Rp 3,4 Miliar Mirip Elkan Baggott Tiba H-4 Timnas Indonesia vs Jepang
- 5 Rekomendasi Motor Listrik Anti Hujan Terbaik 2025: Irit, Stylist, Gemas!
Pilihan
-
6 Rekomendasi HP Murah Rp 1 Jutaan dengan NFC Terbaru Juni 2025
-
Timnas Indonesia Cuma Jadi Samsak Uji Coba, Niat Jepang Hanya Ekspermien Taktik dan Pemain
-
Daftar 10 Merek Mobil Buatan Pabrik Indonesia Terlaris di Luar Negeri, Toyota Masih Juara?
-
Partainya Lebih Dipilih Jokowi, DPW PSI Jateng: Kader Berbunga-bunga
-
3 Rekomendasi HP Murah Memori 512 GB dengan Performa Handal, Terbaik Juni 2025
Terkini
-
Sleman Banjir Wisatawan, Mei 2025 Catat Rekor Kunjungan, Ini 3 Destinasi Favoritnya
-
Geger! Penyadapan KPK Tanpa Izin Dewas? Ini Kata Ahli Hukum Pidana
-
UGM Temukan Cacing Hati di Hewan Kurban, Tapi Ada Penurunan Drastis, Apa Penyebabnya?
-
Relokasi Jukir dan Pedagang ke Menara Kopi Terancam Gagal: Izin Keraton Jogja Belum Turun
-
Pabrik Garmen Belum Pulih Pascakebakaran, Pemkab Sleman Kejar Solusi Hindari PHK