Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 07 Mei 2025 | 11:33 WIB
Menu Makan Bergizi Gratis di Jogja yang kedapatan ulat. [Kontributor/Putu]

SuaraJogja.id - Pemda DIY buka suara terkait permasalahan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang bermasalah di DIY.

Sebab meski merupakan program pemerintah pusat, MBG menyasar para siswa di Yogyakarta.

Evaluasi pun dilakukan menyusul ditemukannya kasus menu MBG yang basi dan ada ulat didalamnya di SMKN 4 Yogyakarta.

Selain itu kasus sejumlah sekolah di Kotagede yang terhenti dapat MBG akibat kendala teknis di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).

Baca Juga: Lampu Hijau dari Keraton, Polda DIY Segera Pindah Markas ke Lahan 7,5 Hektare

"[Masalah MBG] ini sudah jadi informasi publik. Jadi ya kita nggak boleh saling menyalahkan satu sama lain. Kita harus berbenah, memperbaiki mekanisme. Maka ya, yuk, kita evaluasi. Kita perbaiki bareng-bareng," papar Sekda DIY, Beny Suharsono dikutip Rabu (7/5/2025).

Menurut Beny, komunikasi secara terbuka dan evaluasi bersama perlu dilakukan. Ia mengingatkan semua pihak, termasuk sekolah untuk tidak takut melaporkan permasalahan MBG di lapangan.

Jangan sampai kendala pelaksanaan MBG disimpan sendiri. Selain sulit mengevaluasi program, justru siswa dan sekolah yang akan dirugikan.

"Kalau benar informasinya [ada masalah MBG], maka itu bisa jadi bahan evaluasi bersama. Jangan sampai kita menerima dampak lalu dipendam, kasihan. Pertama, kasihan siswanya. Kedua, kasihan tenaga pendidiknya," tandasnya.

Terkait laporan menu MBG yang basi, Beny menegaskan evaluasi tidak hanya ditujukan kepada SPPG, tapi juga penyedia lain dalam sistem distribusi makanan. Mestinya ada kontrol soal sterilisasi makanan, termasuk dari ahli gizi.

Baca Juga: Kantor Wakil Rakyat Dikunci, Aspirasi Pendidikan Terkunci? Hardiknas Berujung Ricuh di Yogyakarta

"Kalau dulu itu, istilahnya ada tukang icip-icip. Nah, proses-proses seperti itu juga harus jadi bagian dari evaluasi bersama," paparnya.

Beny menyebutkan, tantangan dalam pelaksanaan program MBG sangat besar meski baru dalam tahap ujicoba.

Apalagi kebutuhan makanan bergizi harus tersedia setiap hari secara berkelanjutan bagi ribuan siswa.

Ia pun menegaskan dari awal sudah ada peringatan bilamana program MBG menyangkut kepercayaan publik. Karenanya bila tidak ditangani secara profesional maka akan merusak kepercayaan masyarakat.

Contohnya tantangan teknis dalam produksi dan distribusi makanan yang membutuhkan waktu panjang. Ia menyebut makanan harus mulai dimasak sejak dini hari bagi ribuan siswa setiap harinya.

"Masak mulai jam 3 atau mungkin jam 4 pagi. Padahal makanan itu disajikan mulai jam 10 siang. Nah, itu kan sudah ada rentang waktunya. Kalau ini berproses, berarti ada proses memasak yang butuh waktu sekitar 5 sampai 6 jam," jelasnya.

Beny juga merespons keluhan soal beban guru yang semakin banyak karena menyiapkan MBG. Padahal seharusnya guru hanya fokus pada fungsi edukasi, bukan logistik makanan.

Alih-alih membebani guru, mestinya ada sekretariat yang bisa membantu guru dalam mendistribusikan MBG.

Sehingga sekolah bisa mengatur pendistribusian MBG tanpa mengganggu tugas utama guru.

"Tugas guru dari awal itu kan murni untuk melaksanakan tugas edukasi. Kalau ada tambahan, mestinya ya harusnya ada sekretariat yang bisa bantu guru dan kepala sekolah. Tapi kalau sampai guru berubah fungsi jadi pengelola, ya itu harus jadi bahan evaluasi juga," ungkapnya.

Beny menambahkan, program MBG saat ini masih dalam tahap ujicoba. Karenanya sangat wajar jika ditemukan sejumlah masalah yang harus diperbaiki.

Beny memastikan semua masukan dari sekolah akan dijadikan bahan evaluasi untuk perbaikan pelaksanaan program ke depan. Ia berharap kepercayaan publik terhadap program MBG tetap terjaga.

"Ini jadi bahan evaluasi kami bersama-sama dengan Dinas Pendidikan untuk pelaksanaan ke depan. Supaya kepercayaan publik tumbuh. Karena ini baru saja tahap uji coba," ungkapnya.

Secara terpisah Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY, Suhirman, mengungkapkan dari pertemuannya yang dilakukan dengan pihak sekolah, program MBG di SMKN 4 Yogyakarta akan tetap dilanjutkan. Meskipun program ini memberatkan sekolah karena menambah beban kerja pihak sekolah.

"Kami nanti akan mempertemukan pihak sekolah dengan SPPG supaya hal-hal yang masih kurang bisa dilengkapi bersama, agar program MBG ini bisa berjalan dengan baik," paparnya.

Suhirman menambahkan, salah satu kendala utama pelaksanaan program MBG di sekolah adalah kekurangan tenaga.

Dengan jumlah siswa yang cukup besar, pendistribusian makanan dan pengembalian wadah setelah makan membutuhkan waktu dan tenaga lebih.

Sekolah membutuhkan waktu agak lama untuk mendistribusikan makanan. Karenanya dia mengusulkan penggunaan sistem piket atau jadwal bergilir agar pekerjaan tidak menumpuk pada orang yang sama setiap harinya. Suhirman juga menyarankan agar sekolah bisa memaksimalkan tenaga non-guru.

"Kalau di sekolah, kan sebenarnya ada tenaga lain selain guru. Kami sarankan untuk bisa memaksimalkan tenaga-tenaga tersebut," ungkapnya.

Suhirman menyatakan, manfaat program MBG jauh lebih besar dibandingkan beban tambahan yang ditimbulkan.

Sekolah sudah diberikan program makan bergizi gratis, karena itu seharusnya sekolah juga bisa mengimbangi pelaksanaannya.

Untuk mengatasi masalah serupa, Suhirman menyebutkan bahwa dinas siap menjadi penghubung antara sekolah dan pelaksana teknis seperti SPPG.

Ia menyarankan agar sekolah-sekolah langsung berkoordinasi dengan dinas jika ada persoalan.

"Kalau ada permasalahan, sebaiknya langsung ke dinas. Nanti kami bisa bantu buat pernyataan atau klarifikasi," imbuhnya.

Sebelumnya sejumlah siswa di SMKN 4 Yogyakarta diberitakan menemukan ulat di nasi menu MBG yang mereka terima. Selain itu beberapa kali lauk dan sayur yang mereka dapat basi dan sudah tidak layak makan.

Selain basi dan ada ulat, siswa mereka kadang tidak mendapatkan menu yang lengkap. Di tempat makan yang didapat, mereka hanya mendapatkan nasi dan sayur tanpa lauk dan buah.

Siswa juga beberapa kali mendapatkan buah yang tidak layak makan atau asam sehingga mereka terpaksa membuangnya.

Kondisi itu membuat sejumlah anak-anak menjadi trauma. Mereka menolak mengkonsumsi MBG dan memilih membeli jajan sendiri.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More