Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora
Minggu, 08 Juni 2025 | 13:38 WIB
Suasana Jabal Rahmah saat wukuf di Arafah dalam rentetan ibadah haji. (Pinterest)

SuaraJogja.id - Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi menghadapi sejumlah tantangan dalam menempatkan jemaah haji Indonesia di tenda-tenda Arafah.

Ketua PPIH Arab Saudi, Muchlis M Hanafi, mengungkapkan bahwa permasalahan tersebut disebabkan oleh kombinasi faktor teknis, sosial, dan budaya.

Hal ini berimbas pada kepadatan tenda serta distribusi logistik yang tidak optimal.

Proses puncak ibadah haji, yaitu Wukuf di Arafah, dijadwalkan berlangsung pada 9 Zulhijjah 1446 H atau bertepatan dengan 5 Juni 2025.

Baca Juga: Simbok Pejuang Receh: Kisah Haru Calon Haji Tertua Sleman, Puluhan Tahun Berjualan Demi Panggilan Ka'bah

Menjelang hari tersebut, para jemaah haji asal Indonesia mulai diberangkatkan dari hotel di Makkah menuju Arafah pada 4 Juni 2025.

Namun dalam pelaksanaannya, tidak semua jemaah langsung mendapatkan tempat di tenda-tenda Arafah. Beberapa di antaranya sempat belum tertampung.

"Atas nama Ketua PPIH Arab Saudi, saya memohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami oleh sebagian jemaah haji Indonesia," ujar Muchlis dalam keterangan resminya dikutip Minggu (8/6/2025).

Muchlis menjelaskan, ada sejumlah penyebab utama mengapa penempatan jemaah di Arafah mengalami hambatan.

Pertama, terdapat beberapa tenda yang sebenarnya masih memiliki kapasitas kosong, namun tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal karena berbagai alasan teknis dan administratif.

Baca Juga: Jemaah Haji 2025 Lewat YIA, Pemkab Harapkan Bisa Gerakan Ekonomi Kulon Progo

"Contohnya, sebuah tenda berkapasitas 350 orang sudah terisi 325 jemaah dari satu kelompok, tetapi tidak bisa diisi oleh jemaah dari kelompok lain, meskipun berasal dari markaz yang sama," ungkapnya.

Kedua, sistem keberangkatan jemaah yang berbasis hotel menyulitkan pengaturan dan distribusi penempatan secara merata.

Pada dasarnya, penempatan jemaah di hotel diatur berdasarkan markaz dan syarikah. Namun pada kenyataannya, ada jemaah yang memilih pindah hotel meskipun berada di luar markaz atau syarikah semula, dan hal ini tidak selalu disebabkan oleh alasan menyatukan pasangan suami istri.

"Karena sistem keberangkatan dari Mekkah ke Arafah menggunakan skema hotel, bukan berdasarkan markaz atau syarikah, maka beberapa tenda penuh lebih cepat, bahkan sebelum seluruh jemaah yang dijadwalkan tiba," jelas Muchlis.

Ketiga, jumlah petugas tidak sebanding dengan banyaknya jemaah.

PPIH membagi tugas layanan ke dalam tiga wilayah kerja (daker): Daker Bandara untuk Arafah, Daker Mekkah untuk Muzdalifah, dan Daker Madinah untuk Mina.

"Dengan jumlah petugas yang terbatas, kami harus menangani lebih dari 203 ribu jemaah yang tersebar di 60 markaz di Arafah. Ini membuat pengaturan penempatan menjadi sangat menantang. Banyak petugas kelelahan karena harus bekerja ekstra," kata Muchlis.

Keempat, mobilitas jemaah yang tinggi dan sulit dikendalikan.

Banyak jemaah berpindah tenda secara mandiri agar bisa berkumpul dengan keluarga atau kelompok bimbingan dari daerah yang sama.

"Perpindahan ini membuat beban tenda menjadi tidak merata dan menyulitkan proses pengawasan serta layanan," lanjutnya.

Distribusi Konsumsi Terganggu, PPIH Lakukan Langkah Mitigasi

Akibat penempatan yang tidak sesuai rencana, distribusi makanan juga mengalami kendala.

Selama berada di Arafah, jemaah haji Indonesia seharusnya menerima lima kali makan pada 8–9 Zulhijjah 1446 H.

Namun ketidaksesuaian data dengan kondisi lapangan membuat sebagian jemaah tidak menerima makanan tepat waktu.

"Distribusi konsumsi terhambat karena data yang ada di markaz atau syarikah tidak cocok dengan situasi di lapangan," jelas Muchlis.

Untuk mengatasi situasi tersebut, PPIH Arab Saudi langsung mengambil langkah cepat.

Salah satunya dengan melakukan pengecekan ulang terhadap kapasitas tenda dan memvalidasi jumlah jemaah yang telah menempati tenda.

Tim petugas melakukan penyisiran menyeluruh dan menemukan adanya kasur kosong yang ternyata telah ditempati jemaah secara tidak terdata.

"Setelah pemetaan ulang, kami menemukan masih ada kapasitas tambahan di beberapa tenda," ujar Muchlis.

Langkah lain yang diambil adalah mengalihkan tenda petugas menjadi tenda jemaah.

Tiga tenda di Markaz 105 (Syarikah Rifadah) yang awalnya diperuntukkan bagi petugas, dialihkan untuk menampung jemaah yang belum mendapatkan tempat.

PPIH juga berkoordinasi dan bernegosiasi dengan pihak syarikah agar menyiapkan tenda tambahan guna mengatasi kelebihan jemaah.

Selain itu, tenda utama milik Misi Haji Indonesia turut dimanfaatkan untuk penempatan jemaah.

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Hilman Latief, secara langsung menjalin komunikasi intensif dengan Kementerian Haji Arab Saudi (Kemenhaj).

Hasilnya, sekitar 2.000 jemaah dapat ditempatkan di tenda cadangan resmi yang disediakan oleh otoritas Saudi.

"Melalui berbagai upaya tersebut, kepadatan tenda di Arafah berhasil diurai, dan pada saat puncak wukuf, seluruh jemaah sudah menempati tenda masing-masing dengan tenang dan khusyuk," tutup Muchlis.

Artikel yang tayang di Suarajogja ini sudah terbit terlebih dulu di Suara.com dengan judul: Banyak Jemaah Haji Indonesia Tak Dapat Tenda di Arafah, Begini Kata Ketua PPIH Arab Saudi

Load More