Bonnie menilai bahwa sebagai Menteri Kebudayaan yang tengah menginisiasi proyek penulisan ulang sejarah Indonesia, Fadli Zon seharusnya tidak memperkuat budaya penyangkalan, terutama terhadap kekerasan seksual yang dialami perempuan Tionghoa dalam kerusuhan rasial 1998.
"Kalau tujuan menulis sejarah untuk mempersatukan, mengapa cara pandangnya justru mempersoalkan istilah 'massal' dalam kekerasan seksual, padahal laporan TGPF jelas menyebutkan ada lebih dari 50 korban pemerkosaan," tegasnya.
Bonnie juga menekankan, sejarah yang baik bukan hanya berisi kisah-kisah kepahlawanan, melainkan juga memuat pengalaman kolektif yang pahit sebagai pelajaran bagi generasi masa kini dan masa depan.
Menurutnya, upaya menyangkal peristiwa kelam seperti kerusuhan Mei 1998 justru akan menambah luka bagi para korban, keluarga, dan masyarakat yang terlibat dalam tragedi tersebut.
Baca Juga: Trauma Korban '98 Dibunuh Dua Kali? Sejarawan Kecam Pernyataan Fadli Zon Soal Pemerkosaan Massal
"Penyangkalan terhadap peristiwa pemerkosaan massal dalam kerusuhan rasial 1998 hanya akan memperparah trauma yang dialami para penyintas dan keluarga mereka," ungkap Bonnie.
Saat ini, Kementerian Kebudayaan sedang mengerjakan proyek penulisan ulang sejarah nasional yang ditargetkan selesai pada Agustus 2025.
Namun, dalam draf awal konsep penulisan sejarah tersebut, beberapa catatan penting tentang pelanggaran HAM berat justru tidak dimasukkan. Beberapa peristiwa yang dihapus antara lain:
-Pemerkosaan perempuan Tionghoa dalam Peristiwa Mei 1998
-Penembakan misterius (Petrus)
Baca Juga: RUU TNI Intervensi Ranah Sipil? Pakar Hukum UMY Ingatkan Ancaman Kemunduran Demokrasi
-Penghilangan paksa aktivis 1997-1998
-Tragedi Trisakti dan Semanggi I & II
-Pelanggaran HAM di Aceh dan Papua
Bonnie menegaskan, Kementerian Kebudayaan sebagai mitra Komisi X DPR RI harus menghentikan proyek penulisan ulang sejarah jika proyek tersebut hanya bertujuan untuk kepentingan politik semata.
Ia menolak keras jika sejarah ditulis secara selektif dan tidak menyeluruh hanya untuk menyenangkan penguasa.
"Jangan menulis sejarah dengan pendekatan kekuasaan yang bersifat parsial dan politis. Jika itu yang terjadi, sebaiknya proyek penulisan sejarah ini dihentikan saja," sebut Bonnie.
Berita Terkait
Terpopuler
- 7 Mobil Keluarga 3 Baris Bekas di Bawah Rp50 Juta: Irit dan Nyaman, Pilihan Cerdas 2025!
- 37 Kode Redeem FF Max Terbaru 22 Juni: Klaim Diamond, Mytos Fist, dan Bundle Apik
- Luput dari Sorotan, Pemain Keturunan Serba Bisa 21 Tahun Bisa Langsung Masuk Timnas Indonesia Senior
- 5 Pilihan HP OPPO RAM 8 GB Mulai Rp1 Jutaan: Nge-game Kencang, Jernih Buat Foto
- Pemain Keturunan Rp17,3 Miliar Berdarah Curacao Eligible Bela Timnas Indonesia di Ronde 4
Pilihan
-
Breaking News! Persija Kenalkan Striker Baru Kelahiran Minahasa!
-
Selamat Tinggal, Keluarga Eks Timnas Indonesia Buangan STY Sampaikan Kabar Duka
-
Timnas Indonesia Gagal ke Piala Dunia karena Israel, Bagaimana Nasib Ronde 4?
-
3 Rekomendasi HP Murah Rp 1 Jutaan dengan Kamera Beresolusi Tinggi, Bisa Lebih dari 100MP?
-
IHSG Bergerak Menguat di Rabu Pagi, Simak Saham-saham Pilihan
Terkini
-
DPR Geram: Penjualan Pulau Anambas Ancaman Kedaulatan, Aparat Jangan Bertele-tele
-
Dulu Rekrut Anggota JAD, Kini Bantu Jahit Baju: Kisah Penebusan Dosa Seorang Mantan Napi Teroris
-
Sains dan Seni Bersatu, Pameran SciArt 8.0 di Benteng Vredeburg Nyalakan Cahaya Sains Lewat Lukisan
-
Sebut Pemerkosaan Tragedi Mei 1998 hanya Rumor, Fadli Zon Dipanggil DPR RI
-
Helikopter Siaga, Begini Skema Evakuasi Korban Kecelakaan di Tol Jogja-Solo