Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora
Kamis, 26 Juni 2025 | 20:19 WIB
Ilustrasi malam tahun baru Islam yakni satu suro yang bertepatan juga dengan Jumat Kliwon.

Berbeda dengan perayaan tahun baru Masehi yang penuh gemerlap pesta dan kembang api, Tahun Baru Jawa justru disambut dengan keheningan.

Malam 1 Suro adalah malam prihatin, bukan malam untuk bersenang-senang.

Menggelar pesta, hajatan, atau bahkan pernikahan pada malam ini dianggap tidak menghormati kesakralan waktu dan bisa mengundang petaka.

Energi malam itu adalah untuk kontemplasi, bukan euforia.

Baca Juga: Peringati Malam 1 Suro, Ribuan Warga Mubeng Beteng Keraton Jogja

3. Dilarang Berkata Kasar, Bergunjing, dan Berpikiran Kotor

Pada malam dengan getaran spiritual yang tinggi, setiap ucapan dan pikiran diyakini memiliki bobot yang lebih besar.

Seorang pemerhati budaya Jawa pernah berkata, "Ucapan adalah doa, apalagi di malam sakral seperti ini. Apa yang keluar dari mulut dan hati bisa menjadi kenyataan"

Oleh karena itu, menjaga lisan dari sumpah serapah, menjaga telinga dari gunjingan, dan menjaga hati dari pikiran negatif adalah sebuah keharusan. Ini adalah laku batin untuk menjaga kesucian diri saat memasuki tahun yang baru.

4. Dilarang Pindah Rumah atau Memulai Usaha Baru

Baca Juga: Tonton Wayang Kulit Malam Satu Suro di Parangkusumo Bantul, Anies Baswedan: Saya Suka Bima dan Werkudoro

Menurut perhitungan primbon Jawa, Malam 1 Suro dianggap sebagai hari yang "berat" dan "tenang", tidak cocok untuk memulai sesuatu yang bersifat jangka panjang seperti pindah rumah, membuka usaha, atau menandatangani kontrak penting.

Memulai sesuatu pada hari yang energinya difokuskan untuk introspeksi dan "berdiam diri" dipercaya akan membuat hal tersebut sulit berkembang atau penuh rintangan. Sebaiknya, tunggulah hari baik lainnya setelah melewati masa transisi tahun baru ini.

5. Dianjurkan Melakukan Laku Prihatin dan Introspeksi

Sebagai ganti dari larangan-larangan di atas, masyarakat justru dianjurkan untuk melakukan berbagai laku spiritual.

Beberapa di antaranya adalah tirakat (menahan hawa nafsu), lek-lekan (tidak tidur semalaman) sambil berdoa atau berzikir, atau melakukan tapa bisu (tidak berbicara) sambil berjalan mengelilingi tempat-tempat yang dianggap sakral seperti keraton atau petilasan.

Bagi masyarakat modern di perkotaan, laku ini bisa diwujudkan dalam bentuk yang lebih sederhana: mematikan gawai sejenak, meditasi, menulis jurnal refleksi, atau sekadar berdiam diri merenungi perjalanan hidup selama setahun ke belakang.

Load More