"Sebagian besar pekerja di Indonesia bekerja tanpa perjanjian kerja atau hanya dengan kontrak jangka pendek," tutur Qisha.
Bahkan di antara pekerja formal pun, mayoritas masih terikat kontrak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang membuat posisi mereka tidak stabil atau rentan.
"Pekerja PKWT harus lebih sering mencari kerja dan berganti pekerjaan. Sedangkan di Indonesia, biaya ekonomi mencari kerja itu sangat tinggi," ungkapnya.
Tidak sampai di situ, rendahnya cakupan jaminan sosial ketenagakerjaan juga menjadi persoalan tersendiri.
Data Februari 2024 menunjukkan bahwa hanya 46,91 persen pekerja formal dan 10,22 persen pekerja informal yang menjadi peserta aktif BPJS Ketenagakerjaan.
"Permasalahan coverage jaminan sosial pekerja masih merupakan tantangan besar di pasar kerja Indonesia," ucap Qisha.
Ia menekankan bahwa memiliki status sebagai pekerja formal pun tidak otomatis menjamin hak-hak dasar terpenuhi.
"Pekerja tidak tetap dengan kontrak PKWT cenderung lebih rendah kepemilikan jaminan sosialnya dibandingkan pekerja tetap dengan PKWTT," paparnya.
Qisha juga menyoroti belum adanya skema unemployment benefit universal di Indonesia.
Baca Juga: KKN UGM Dievaluasi Total Pasca Insiden Maut di Maluku: Masih Relevan atau Harus Dihapus?
"Skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) hanya berlaku bagi peserta BPJS Ketenagakerjaan. Maka, kondisi menganggur menjadi 'mahal' bagi beberapa pekerja, terutama mereka yang berpendidikan dan berkeahlian rendah," ujarnya.
Dengan berbagai kerentanan tersebut, Qisha menegaskan bahwa penurunan angka TPT dan peningkatan jumlah pekerja tidak cukup dijadikan tolok ukur perbaikan pasar tenaga kerja di Indonesia untuk saat ini.
"Pemangku kebijakan sudah selayaknya melihat lebih jauh permasalahan ketenagakerjaan di Indonesia lebih dari hanya sekedar turunnya angka TPT atau naikknya jumlah orang bekerja," tegasnya.
Dia menegaskan bahwa perlu ada kebijakan yang menyasar lebih ke akar. Terkhusus mengenai perlindungan pekerja, terpenuhinya hak-hak pekerja, dan adanya keterlibatan pekerja dalam pembuatan kebijakan ketenagakerjaan.
"Selain itu, pemangku kebijakan juga perlu memastikan terjalinnya diskusi tripartite antara pemberi kerja, pekerja, dan pemerintah yang adil dan efektif," kata dia.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- Owner Bake n Grind Terancam Penjara Hingga 5 Tahun Akibat Pasal Berlapis
- Promo Super Hemat di Superindo, Cek Katalog Promo Sekarang
- Tahu-Tahu Mau Nikah Besok, Perbedaan Usia Amanda Manopo dan Kenny Austin Jadi Sorotan
- 5 Fakta Viral Kakek 74 Tahun Nikahi Gadis 24 Tahun, Maharnya Rp 3 Miliar!
- 7 Fakta Pembunuhan Sadis Dina Oktaviani: Pelaku Rekan Kerja, Terancam Hukuman Mati
Pilihan
-
Cuma Satu Pemain di Skuad Timnas Indonesia Sekarang yang Pernah Bobol Gawang Irak
-
4 Rekomendasi HP Murah dengan MediaTek Dimensity 7300, Performa Gaming Ngebut Mulai dari 2 Jutaan
-
Tarif Transjakarta Naik Imbas Pemangkasan Dana Transfer Pemerintah Pusat?
-
Stop Lakukan Ini! 5 Kebiasaan Buruk yang Diam-diam Menguras Gaji UMR-mu
-
Pelaku Ritel Wajib Tahu Strategi AI dari Indosat untuk Dominasi Pasar
Terkini
-
DANA Kaget Banjir Rejeki: Tips & Trik Jitu Klaim Saldo Gratis Hingga Jutaan Rupiah di Sini
-
Waspadai Kendal Tornado FC, PSS Sleman Janjikan Tampil Trengginas di Kandang
-
Efisiensi Anggaran "Memangkas" Kebudayaan? Komikus Yogyakarta Angkat Bicara Lewat Karya
-
Inja Ngaku Tak Percaya Cetak Dua Gol: Janji Beri yang Terbaik untuk PSS Sleman Lawan Kendal Tornado
-
Rahasia di Balik Cacing Tanah: Inovasi IoT Mahasiswa UGM Bisa Ubah Sampah Jadi Pupuk Premium