Muhammad Ilham Baktora
Senin, 14 Juli 2025 | 17:49 WIB
Dosen FKKMK UGM, Dyah Ayu Mira Oktarina menyampaikan kasus kanker di Indonesia di Yogyakarta, Senin (14/7/2025). [Kontributor/Putu]

SuaraJogja.id - Kewaspadaan terhadap penyakit kanker di Indonesia nampaknya perlu ditingkatkan. Sebab lebih dari 59 persen pasien kanker meninggal dunia akibat akses layanan yang timpang antara daerah perkotaan dan pedesaan.

Data GLOBOCAN 2022 yang dirilis oleh International Agency for Research on Cancer (IARC) mencatat, 408.661 kasus kanker baru muncul di Indonesia.

Dari jumlah itu terjadi 242.988 kematian dalam setahun.

"Kita berada di urutan keempat dunia dalam jumlah kasus kanker, tapi jumlah itu berbeda-beda per kota dan provinsi. Di kota besar, update registry sudah cepat, pasien bisa didiagnosis dini. Tapi di daerah, fasilitas terbatas sehingga diagnosis terlambat," ujar dosen FKKMK UGM, Dyah Ayu Mira Oktarina disela Summer Course on Interprofessional Healthcare di Yogyakarta, Senin (14/7/2025).

Menurut Dyah, kanker telah menjadi penyebab kematian utama secara global, termasuk Indonesia.

Ketidaksetaraan fasilitas kesehatan di Indonesia memperburuk permasalahan ini, terlebih keterlambatan diagnosis menjadi masalah utama di daerah terpencil.

Di kota-kota besar mungkin tersedia multidisciplinary team yang isinya dokter, perawat, ahli nutrisi, psikolog dalam penanganan kanker. Hal ini membuat diagnosis bisa lebih cepat dan akurat.

"Tapi di wilayah yang jauh dari pusat kesehatan, tidak ada tim seperti itu. Akibatnya keterlambatan terjadi, dan pasien baru diketahui saat kanker sudah masuk stadium lanjut," tandasnya.

Persoalan ini diperparah dengan adanya efisiensi anggaran pemerintah di sektor kesehatan.

Baca Juga: Kasus Leptospirosis Mengintai Jogja, Pemilik Hewan Peliharaan hingga Pemancing Diharap Waspada

Upaya preventif pun akhirnya jadi jalan tengah agar masyarakat bisa mendeteksi penyakit kanker secara dini.

Terapi kanker modern seperti pengobatan personal berbasis karakteristik genetik pasien, serta terapi paliatif yang mengintegrasikan aspek medis, psikososial, dan spiritual pun dikembangkan para pakar kesehatan.

Selain itu edukasi gaya hidup sehat, vaksinasi, serta deteksi dini ditegaskan sebagai langkah utama dalam pencegahan kanker, walau pelaksanaannya masih menghadapi kendala lapangan.

Edukasi belum menyentuh banyak kelompok rentan. Vaksinasi HPV untuk pencegahan kanker serviks pun belum merata. Masih ada tantangan sosialisasi dan logistik," ungkapnya.

Sementara Wakil Dekan Akademik dan Kemahasiswaan FKKMK UGM, Ahmad Hamim Sadewa mengungkapkan kesenjangan infrastruktur kesehatan semakin memperbesar angka kematian akibat kanker.

"Masih banyak wilayah yang belum punya akses terhadap alat diagnosis mutakhir seperti PET scan. Padahal alat ini bisa mempercepat deteksi dini dan mengarahkan terapi yang tepat. Pemerintah perlu memastikan teknologi itu tidak hanya tersedia di kota besar," tandasnya.

Ia menyebut dalam rencana nasional, pemerintah menargetkan ketersediaan alat diagnosis kanker canggih seperti PET scan paling lambat Desember 2025 di rumah sakit rujukan terpilih. Namun, implementasi masih belum merata hingga ke luar Pulau Jawa.

Padahal anggaran BPJS di Indonesia saat ini paling banyak terserap untuk penyakit kanker selain jantung. Pemerintah setiap tahun mengeluarkan anggaran hingga triliunan rupiah untuk klaim BPJS untuk kedua penyakit itu.

"Kalau kebijakan hanya menyasar pusat-pusat kota, maka yang sakit tetap akan menderita paling parah di pelosok," ujar dia.

Secara global, kanker telah menjadi penyebab kematian yang menyaingi penyakit jantung.

Data GLOBOCAN mencatat 19,9 juta kasus kanker baru di seluruh dunia pada 2022, dengan 9,7 juta kematian.

Di Indonesia, risiko kumulatif seseorang terkena kanker sebelum usia 75 tahun mencapai 14 persen, sementara angka kejadian kanker nasional sebesar 136,9 per 100.000 penduduk.

"Yang penting adalah responsnya. Kita harus memastikan pasien dari Papua hingga Aceh mendapatkan hak yang sama dalam diagnosis dan terapi. Tidak boleh ada perbedaan hanya karena lokasi geografis," tandasnya.

Ketua tim Internasional FKKMK UGM, Dwi Aris Agung Nugrahaningsih menambahkan, kerjasama dengan Fakultas Kedokteran Gigi, Fakultas Farmasi, dan Fakultas Psikologi dilakukan untuk membahas manajemen kanker dari sisi medis, psikologis, hingga spiritual.

Melibatkan 107 peserta dari 30 universitas, termasuk dari Thailand, Belanda, Ethiopia, India, China, dan berbagai universitas di Indonesia, sejumlah isu dibicarakan, termasuk kesetaraan akses layanan kanker di seluruh Indonesia.

Meski tantangan masih besar, para akademisi dan profesional kesehatan optimistis transformasi layanan kanker dapat dicapai melalui kolaborasi. Selain itu melalui pendidikan interprofesi, dan kebijakan publik yang progresif.

"Strategi kebijakan kesehatan publik yang mendukung pengelolaan kanker secara efektif dibutuhkan," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More