Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Kamis, 21 Agustus 2025 | 20:56 WIB
Situasi lingkungan di Pondok Pesantren HPA Internasional (HPAIC) Merapi di Wonokerto, Turi, Sleman, Kamis (21/8/2025). [Hiskia/Suarajogja]

SuaraJogja.id - Kasus dugaan penganiayaan antar santri di Pondok Pesantren HPA Internasional (HPAIC) Merapi mencuat ke publik.

Hal itu usai keluarga korban tak terima dengan penanganan yang dilakukan selama ini.

Apalagi kemudian sang ibu mengunggah permasalah tersebut ke sosial media pribadinya dengan berbagai bukti yang dimiliki. Ia menilai ponpes selama ini melakukan pembiaran terhadap tindakan penganiayaan tersebut.

Agus Giyanto, pengawas Yayasan Pak Haji Ismail yang menaungi pondok, menepis tudingan adanya pembiaran terhadap kasus kekerasan di ponpes.

Menurutnya, insiden yang terjadi pada 2022 sudah pernah ditangani.

Saat itu, pelaku dan korban dipanggil pihak keamanan santri dan kasus diselesaikan secara damai tanpa keberatan dari pihak mana pun.

Adapun kejadian terbaru pada 24 Juni lalu, kata Agus, langsung diproses sesuai aturan pondok.

Termasuk mengeluarkan terduga pelaku dari ponpes langsung setelah peristiwa itu diketahui.

"Sesuai prosedur ketika kejadian itu terjadi santri itu tersebut langsung diproses, yang melakukan pencakaran itu langsung keluar SP3 atau dikembalikan kepada orang tuanya malam hari itu juga," kata Agus saat dihubungi wartawan, Kamis (21/8/2025).

Baca Juga: Santri Diduga Dianiaya di Ponpes Sleman, Orang Tua Kecewa dan Lapor Polisi Usai Dianggap Bertengkar

Dalam kesempatan ini Agus menyebut bahwa insiden tersebut tidak murni penyerangan sepihak.

Melainkan dipicu oleh cekcok antara kedua santri.

Ia menjelaskan, sebelum terjadi pencakaran, korban dan pelaku sempat berselisih di masjid.

"Jadi itu ada pemicunya. Jadi ada perbuatan yang menimbulkan cekcok kemudian dari cekcok itu timbul pertengkaran," ungkapnya.

Kronologi Versi Pondok Pesantren

Pihak pondok pesantren memiliki versi berbeda terkait dugaan penganiayaan yang menimpa seorang santri putri berinisial KE itu.

Mereka menilai peristiwa itu berawal dari masalah pribadi antara korban dan pelaku.

Agus menjelaskan, kronologi bermula ketika terduga pelaku duduk di sudut masjid bersama seorang temannya.

Tepatnya di sudut itu biasanya diletakkan meja lipat kecil untuk membaca Al-Qur’an. Saat itu, korban datang untuk mengambil meja tersebut.

"Ketika mengambil itu posisinya di bawah dan harus nungging gitu kan. Kenapa kok nunggingnya itu diarahkan ke mukanya si pelaku," ucap Agus.

Dari situlah pelaku merasa risih, lalu menyentuh pantat korban. Di sisi lain, korban yang tidak terima kemudian menegur pelaku.

Perdebatan pun tak terhindarkan, hingga keduanya saling menyalahkan. Menurut pihak pondok, ada saksi yang melihat langsung kejadian tersebut.

Perdebatan di masjid ternyata berbuntut panjang.

Korban diduga menyembunyikan sandal pelaku, yang memicu kekesalan baru.

Pelaku kemudian membalas dengan menyembunyikan sandal korban.

"Si pelaku nyembunyinnya enggak banget-banget gitu. Kalau si yang korbannya itu nyembunyiinya sampai dilempar ke lapangan bawah itu. Jadi waktu ketemu itu dia [korban] ngejek itu tambah jengkel lagi kan," tuturnya.

Tak berhenti di sana, usai cekcok di masjid, usai salat isya, insiden kembali pecah.

Usai beribadah, pelaku dan korban bertemu lagi di kamar.

Mereka kemudian sempat adu mulut berlanjut hingga terjadi aksi pencakaran dan penjambakan.

"Cekcok lagi di situ, akhirnya dilerai sama temennya, mereka pisah," ujarnya.

"Tapi tidak diduga sama temen-temennya ternyata si pelaku ini nyerang lagi sampai yang pencakaran dan penjambakan itu. Itu ada saksinya," imbuhnya.

Korban KE kemudian dibawa ke Unit Kesehatan Santri (UKS) untuk mendapat perawatan. Sementara pelaku langsung dipanggil untuk dimintai keterangan oleh pengurus ponpes.

Miskomunikasi Orang Tua

Keesokan harinya, Agus menyebut sudah membawa korban ke puskesmas. Hasil pemeriksaan saat itu menyatakan korban sehat secara fisik maupun psikologis, hanya mengalami luka ringan.

Pihak ponpes menilai ketegangan antara orang tua korban dan pihak ponpes sebenarnya dipicu oleh miskomunikasi.

Hal ini terjadi sebab sejak awal saat kabar peristiwa kekerasan antarsantri pertama kali diteruskan ke orang tua.

Agus bilang, informasi kejadian mula-mula justru sampai lebih dulu ke orang tua pelaku, bukan ke orang tua korban.

"Nah kenapa kok terjadi orang tua itu merasa tidak terima itu sebetulnya hanya miskomunikasi," ucapnya.

Menurutnya, pengurus pondok mengirimkan kabar sekaligus foto kondisi korban kepada ibu pelaku dengan maksud transparansi.

"Jadi mengabarkan bahwa ini putrinya itu sudah melakukan perbuatan seperti ini. Kemudian dikirimlah foto si korban itu dengan luka cakaran itu kepada ibunya pelaku," jelasnya.

Setelah menerima kabar itu, ibu pelaku langsung meminta maaf kepada ibu korban. Namun, respons yang muncul justru berbeda.

"Kemudian ibunya pelaku minta maaf ke ibunya korban. Nah dari permintaan maaf itu karena kejadiannya cepat, ibu korban menyatakan, 'loh kenapa kok aku tidak dikabari oleh pihak pondok tetapi kenapa harus tahu dari orang lain' begitu," ungkapnya.

Pondok menilai, pernyataan orang lain itu sebenarnya hanya salah paham.

Sebab ibu pelaku bukanlah pihak asing, melainkan orang tua santri yang juga terlibat dalam kasus tersebut.

Singkat cerita, pihak ponpes sempat menawarkan pertemuan kedua belah pihak dengan opsi mediasi.

Namun penawaran itu ditolak oleh orang tua korban.

Kendati demikian Agus menyebut ponpes tetap kooperatif.

Mereka bahkan mengantar korban melakukan visum ke RSUD Sleman, dengan seluruh biaya ditanggung keluarga pelaku.

"Jadi kalau disebut pembiaran, itu seperti apa? Pondok sudah sesuai prosedur," tandasnya.

Pemeriksaan polisi pun, pihak ponpes terbuka untuk memberikan keterangan yang dibutuhkan.

Polisi pun sempat memintai keterangan saksi, korban, dan pelaku secara bergantian.

Pondok menegaskan tidak ada upaya menutup-nutupi dalam kasus ini.

"Kami pun sama sekali tidak menghalang-halangi, malah kita sambut dengan baik. Kita terbuka. Jadi kalau pembiaran itu ya kalau secara prosedur sama sekali tidak ada pembiaran," pungkasnya.

Load More