Muhammad Ilham Baktora
Rabu, 03 September 2025 | 07:59 WIB
Staf Khusus Mendikdasmen Bidang Pembelajaran dan Sekolah Unggul, Arif Jamali Muis saat menyampaikan paparan di Yogyakarta, Jumat (29/8/2025). [Kontributor/Putu]

SuaraJogja.id - Staf Khusus Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Bidang Pembelajaran dan Sekolah Unggul, Arif Jamali Muis, mengingatkan keberhasilan pendidikan di Indonesia tidak hanya ditentukan oleh kurikulum semata.

Namun lebih dari itu oleh sikap dan cara pandang guru dalam menghadapi perubahan.

Menurutnya, masih banyak guru yang enggan keluar dari zona nyaman dan menolak gagasan baru, termasuk pendekatan deep learning atau pembelajaran mendalam.

Sikap defensif ini bisa berdampak panjang terhadap kualitas generasi mendatang.

Jika siswa hanya dijejali teori tanpa pemahaman nyata, mereka tumbuh menjadi orang pintar yang tidak memahami realitas kehidupan.

Saat menjadi pemimpin pun akhirnya tidak membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat.

"Kalau orang pintar tidak mengerti realita, kebijakan yang mereka buat justru bisa merugikan rakyat," ujar Arif dalam seminar In Deep Learning & TKA di Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Arif menegaskan pentingnya pendidikan bermutu untuk semua anak Indonesia.

Ia tidak sepakat dengan anggapan sekolah favorit harus dihapuskan.

Baca Juga: Sekda Sleman Klarifikasi "Guru Cicipi Dulu Makanan Bergizi Gratis": Ini Penjelasan Lengkapnya

Menurutnya, justru semua sekolah perlu ditingkatkan kualitasnya agar menjadi favorit di mata masyarakat.

Sebab persoalan utama pendidikan bukanlah pada kurikulum yang sering berganti, melainkan pada metode pembelajaran yang tidak berubah.

"Perangkat kurikulum boleh berganti dari KBK, KTSP, Kurikulum 2013, hingga Kurikulum Merdeka, tapi kalau pendekatan pembelajaran di kelas tetap sama, hasilnya juga sama saja," jelasnya.

Oleh karena itu, Arif mengatakan perlunya penerapan pembelajaran mendalam. Konsep ini, kata Arif, mengutamakan kesadaran, makna, dan kegembiraan dalam belajar.

Siswa tidak boleh sekadar hadir secara fisik, tetapi pikirannya kosong . Materi juga harus dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari agar bermakna, serta disajikan dengan cara yang menggembirakan.

"Sehingga siswa terdorong untuk terus belajar," tandasnya

Arif menambahkan, dari penelitian yang dilakukan bersama sejumlah dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD) terhadap 35 ribu guru, ditemukan dua klaster besar.

Pertama, guru yang memiliki pengetahuan tinggi tentang pembelajaran mendalam, namun sikapnya rendah.

Kedua, guru dengan pengetahuan sedang, tetapi sikapnya positif.

Kondisi ini berbahaya karena sikap guru berpengaruh langsung terhadap pembentukan cara berpikir siswa.

Tanpa kesediaan guru untuk mengubah pendekatan, siswa akan terus terjebak pada pola belajar hafalan yang tidak menghubungkan pengetahuan dengan realitas sosial.

"Persoalan sebenarnya bukan pada pengetahuan, tetapi pada sikap. Banyak guru menolak karena sudah terbiasa dengan zona nyaman. Bahkan sebelum memahami, mereka sudah bersikap defensif terhadap kebijakan baru," ujar dia.

Arif menambahkan pendidikan yang tidak membekali siswa dengan pemahaman realitas akan menciptakan generasi yang pintar secara akademik, tetapi gagal dalam membuat kebijakan yang adil ketika kelak memegang kekuasaan.

Sebaliknya, jika pembelajaran mendalam diterapkan secara konsisten, siswa akan tumbuh menjadi generasi yang mampu mengaitkan ilmu dengan kehidupan nyata.

Ketika kelak menjadi pengambil keputusan, mereka akan merancang kebijakan yang berpihak pada kepentingan rakyat.

"Kalau mereka menjadi pemimpin, orang-orang pintar itu akan membuat riset, membuat kebijakan, tetapi tidak berpihak pada rakyat. Karena mereka tidak paham realitas yang dihadapi masyarakat," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More