SuaraJogja.id - Ratusan warga dan wisatawan memadati kawasan Keraton Yogyakarta hingga Masjid Gede atau Masjid Keraton dalam perayaan Garebeg Maulud Dal 2025, Jumat (5/9/2025).
Mereka sengaja hadir untuk melihat suasana baru garebeg selain ngalab berkah atau mendapatkan berkat uba rampe dari gunungan yang dibagikan.
Salah satu momen yang mencuri perhatian adalah tampilnya sejumlah prajurit perempuan Langenkusumo. Mereka merupakan pasukan wanita yang pernah menjadi bagian penting dalam sejarah keraton.
Prajurit Langenkusumo dikenal sebagai korps perempuan kesatuan perempuan perkasa yang sudah ada sejak awal berdirinya Keraton Yogyakarta pada 1767.
Awalnya, kesatuan ini berfungsi sebagai pengawal putra mahkota. Namun ketika Sri Sultan Hamengku Buwono II naik takhta, fungsi mereka semakin meluas.
Para prajurit wanita tak hanya menjaga keamanan internal keraton. Namun pada waktu itu juga menunjukkan keahlian dalam berbagai seni bela diri dan keterampilan militer.
Selain prajurit perempuan, tahun ini Gunungan Bromo ikut muncul. Kalau sebelumnya Keraton mengeluarkan tujuh gunungan, yaitu Gunungan Kakung, Estri, Gepak, Darat, dan Pawuhan yang dibagikan di Masjid Gedhe.
Selain itu, dua Gunungan Kakung lainnya dibawa ke Pura Pakualaman dan Kompleks Kepatihan.
Namun, tahun ini terdapat keistimewaan khusus. Pada Garebeg Maulud di tahun Dal, Keraton menambahkan satu gunungan yang jarang sekali muncul, yakni Gunungan Bromo.
Baca Juga: Aliansi Jogja Memanggil Desak Negara Berbenah, Zainal Arifin Mochtar: Ini Momentum, Jangan Hilang
"Gunungan Bromo adalah simbol khas tahun Dal, yang muncul delapan tahun sekali. Kekayaan tradisi sekaligus menjadi pengingat bahwa budaya kita mengajarkan tertib, sabar, dan saling menghargai," kata Kepala Dinas Kebudayaan (disbud) DIY, Dian Lakhsmi Pratiwi, Jumat Siang.
Menurut Dian, beberapa prosesi Garebeg kali ini mengalami penyesuaian agar makna budaya lebih terasa. Salah satunya adalah parden atau uba rampe dari Keraton tidak langsung dibagikan, melainkan diterima dulu oleh empat utusan Pemda DIY di Siti Hinggil Keraton.
Mereka kemudian mengikuti doa bersama di Masjid Keraton Yogyakarta sebelum arak-arakan menuju Kepatihan. Di Kepatihan, parden tersebut baru dibagikan secara simbolis kepada masyarakat.
"Budaya Jawa bukan budaya siapa cepat dia dapat. Prinsipnya setiap orang punya hak, tapi juga ada kewajiban menghormati hak orang lain. Dengan prosesi ini, kami ingin mengajarkan bahwa menerima sesuatu pun harus tertib dan penuh makna," paparnya.
Masyarakat yang biasanya menyaksikan Garebeg identik dengan berebut gunungan kini diajak memahami filosofi di baliknya. Gunungan bukan sekadar hasil bumi, melainkan simbol syukur Sultan kepada rakyat.
Dengan penyajian baru yang lebih runtut, diharapkan publik tidak hanya menyaksikan prosesi, tetapi juga menyerap nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Tag
Berita Terkait
Terpopuler
- 5 Mobil Keluarga 7 Seater Mulai Rp30 Jutaan, Irit dan Mudah Perawatan
- Lupakan Louis van Gaal, Akira Nishino Calon Kuat Jadi Pelatih Timnas Indonesia
- Mengintip Rekam Jejak Akira Nishino, Calon Kuat Pelatih Timnas Indonesia
- 21 Kode Redeem FC Mobile Terbaru 19 Oktober: Klaim 19 Ribu Gems dan Player 111-113
- Bukan Main-Main! Ini 3 Alasan Nusakambangan, Penjara Ammar Zoni Dijuluki Alcatraz Versi Indonesia
Pilihan
-
Uang Bansos Dipakai untuk Judi Online, Sengaja atau Penyalahgunaan NIK?
-
Dedi Mulyadi Tantang Purbaya Soal Dana APBD Rp4,17 Triliun Parkir di Bank
-
Pembelaan Memalukan Alex Pastoor, Pandai Bersilat Lidah Tutupi Kebobrokan
-
China Sindir Menkeu Purbaya Soal Emoh Bayar Utang Whoosh: Untung Tak Cuma Soal Angka!
-
Dana Korupsi Rp13 T Dialokasikan untuk Beasiswa, Purbaya: Disalurkan Tahun Depan
Terkini
-
Kasus Korupsi Kuota Haji Kemenag Memanas, KPK Sasar Pengelola Travel Umroh di Jogja
-
Malioboro Bebas Emisi, Bentor segera Dihapus, Becak Listrik jadi Pengganti
-
UGM Gebrak Dunia Industri, Rektor Ova Emilia Ungkap Strategi Link and Match yang Tak Sekadar Jargon
-
Waspada! Gelombang ISPA Terjang DIY: Lebih dari 11.000 Kasus Akibat Cuaca Ekstrem
-
Jangan Sampai Hilang! Sleman Digitalisasi Naskah Kuno: Selamatkan Warisan Budaya untuk Generasi Mendatang